Masyhur kita mengenal kisah Sayyidinā Umar di zaman jahiliyah yang ingin membunuh Nabi Muhammad saw. Akan tetapi usahanya digagalkan oleh Nu‘aym al-Nukhman dengan memberi tahu bahwa kerabat Umar sudah ada yang masuk Islam. Mereka adalah Fatimah bint Khattāb, saudari perempuan Umar dan Sa‘īd bin Zayd suami fatimah yang masih sepupunya.
Sa‘īd bin Zayd merupakan putra dari Zayd bin Nufayl, masih saudara kandung Khattab bin Nufail ayah dari Sayyidina Umar. Kelak Sa‘īd bin Zayd termasuk orang yang diberitahukan Nabi sebagai orang kesepuluh dari al-Mubashshirūna bi al-Jannah.
Dalam kitab Tabaqāt al-Kubra karya Ibn Sa’d, Juz III hal 290 mengkisahkan pengembaraan Zayd bin Nufayl sampai ke pelosok Syām demi mencari agama hanifiyyah. Ia bertanya kepada orang Yahūdī dan Nasrānī mengenai agama yang dianut tapi tak kunjung membuatnya kagum.
Kemudian salah seorang laki-laki Nasrānī bertanya kepada Zayd bin Nufayl, “Apakah kamu mencari agama Ibrāhīm?” “Apa agama Ibrāhīm itu?” sahut Zayd. laki-laki Nasrānī-pun mengatakan “Agama Ibrāhīm adalah agama yang hanya menyembah Allah tanpa menyekutukannya dan tidak memakan sesembahan berhala”. Zayd bin Nufayl mengatakan “Itulah agama yang aku kenal dan aku sedang memeluknya”
Setelah itu ia kembali ke Makkah dan bertemu dengan ‘Āmir bin Rabī‘ah. Ia berkata “Wahai ‘Āmir, aku telah meninggalkan kaumku, mengikuti agama Ibrāhīm dan menyembah apa yang telah disembah Ismā‘īl. Mereka shalat menghadap kiblat ini (ka‘bah). Aku menanti sosok Nabi yang diutus dari keturunan Ismā‘īl dan aku belum menjumpainya. Aku beriman kepadanya dan mempercayainya. Aku bersaksi bahwa ia adalah seorang Nabi. Jika umurmu panjang dan engkau menjumpainya, sampaikan salamku kepadanya”
Diriwayat yang lain dari Hujayr bin Abī Ihāb berkata “Saat aku disamping berhala, aku melihat Zayd bin Nufayl telah kembali dari Syām dan sedang menanti tergelincirnya matahari, kemudian ia menghadap ka‘bah, melakukan shalat satu raka‘at dua kali sujud. Kemudian Zayd berkata “Ini adalah kiblat Ibrāhīm dan Ismā‘īl” seraya menunjuk ke arah ka‘bah. “Aku tidak menyembah batu dan juga tidak memohon kepadanya, aku tidak memberi sesembahan dan tidak memakannya, aku tidak mempercayai ramalan, dan aku tidak akan shalat kecuali di Bayt al-haram ini sampai aku mati”.
Hujayr bin Abī Ihāb mengatakan bahwa Zayd bin Nufayl juga melakukan haji dan berwukuf di ‘Arafah. Ia juga bertalbiyah “Labbayka lā Sharīka laka wa lā naddu laka” (aku sambut panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMu, dan tidak ada tandingan bagiMu). Setelah itu ia berjalan kembali dari ‘Arafah seraya bertalbiyah “Labbayka muta‘abbidan laka marqūqan” (aku sambut panggilanmu, sebagai hamba rinduku padaMu). Hanya saja sampai ajal menjemput, Zayd bin Nufayl tidak sempat menemui Rasulullah.
‘Āmir bin Rabī‘ah sebagai pemegang wasiat Zayd bin Nufayl untuk menyampaikan salamnya kepada Rasulullah akhirnya tertunaikan. Rasulullah-pun mengatakan “ Kelak ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam satu umat”. Diriwayat yang lain Rasulullah mengatakan “Aku telah melihatnya di Surga”
Jika, Zayd bin Nufayl mendapat jaminan surga dan diakui Nabi sebagai bagaian dari umatnya, bagaimana dengan Bapak dan Ibu Nabi yang juga pemeluk agama hanafiyah ??