Saya sejauh ini memiliki keyakinan kalau tidak ada satupun putra-putri Indonesia yang berniat hendak menghancurkan negerinya sendiri. Dengan kata lain, setiap warga negara Indonesia pastilah ingin negeri ini menjadi negeri yang adil, makmur, sejahtera, selaras dengan amanat nasional berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia perjuangan dan hati nurani rakyat.
Dan, bicara soal hati nurani rakyat, siapa lagi yang lebih otoritatif ketimbang Pak Wiranto, Menkopolhukam di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo itu. Ya, komitmen Pak Wiranto terhadap masa depan bangsa ini tidak perlu kita ragukan lagi.
Betapa tidak, tidak peduli meski usianya tak seprima ketika muda, Pak Wiranto senyatanya masih bisa tampil memukau di layar kaca pertelevisian kita. Kali ini dia bicara tentang situasi aktual unjuk rasa berlarut-larut yang mengguncang sejumlah daerah di tanah air.
Bukan tanpa alasan, massa yang semakin hari semakin massif berunjuk rasa di beberapa kota di berbagai penjuru Indonesia ini menyoroti kinerja Pemerintah dan DPR, khususnya, yang dianggap tidak becus memegang amanah rakyat.
Aksi demonstrasi bahkan semakin meriah ketika berkompi-kompi anak STM dikabarkan ikut turun ke jalan. Bagi mereka turun ke jalan adalah wahana fantasi. Mereka bahkan tampak menikmati dan bersenang-senang menjalankan misi heroik tersebut.
Yah, kendati dalam aksi itu, seperti dikatakan Agus Mulyadi, menyuruh anak STM membaca UU dan RUU yang diperjuangkan adalah mustahil, berharap mereka berada satu barisan bersama polisi tentu saja jauh lebih mustahil.
Kembali ke Pak Wiranto. Menurut Pak Wiranto, aksi demonstrasi akhir-akhir ini telah ditunggangi oleh “kelompok lain”.
Secara sederhana, kelompok lain yang dimaksud di sini tentu saja mereka-mereka yang tidak menghendaki sistem demokrasi yang ada hari ini. Bentuknya bisa beraneka ragam: mulai dari Perda Syariah, NKRI Bersyariah, dan pada puncaknya Khilafah Islamiyah—menurut tafsir sebagian kelompok.
Padahal kalau dipikir-pikir lagi, “kelompok lain” itu kurang lebih ya masih sama dengan apa yang dulu pernah diinisiasi oleh Pak Wiranto sendiri ketika menyikapi panasnya tensi politik menjelang Sidang Istimewa (SI) MPR tahun 1998.
Terus terang, situasi ini mengingatkan saya pada sebuah scene dalam serial The Game of Thrones ketika Cersei Lannister mengaktivasi kelompok paramiliter agama mayoritas di sebuah negeri untuk kepentingan politiknya.
Tidak hanya itu, kelompok paramiliter yang dikenal sebagai The Faith Militant ini bahkan diberi fasilitas persenjataan untuk melancarkan misi politik Cersei Lannister tersebut. Kelak, The Faith Militant justru berbalik arah. Mereka habis-habisan melawan kerajaan atas nama Tuhan dan pesan ayat-ayat suci.
Dalam konteks kehidupan Indonesia hari ini, representasi The Faith Militant itu mudah sekali kita temui, apalagi kalau bertepatan bulan suci Ramadhan, atau kalau tidak ya beririsan sama masa depan “akidah” umat Islam.
Nah, belakangan ini mereka dengan terang-benderang turut berselebrasi layaknya massa pengunjuk rasa aliansi Mahasiswa.
Bedanya, jika gerakan yang digagas oleh Mahasiswa dan aliansi rakyat pada umumnya adalah sorotan kepada kebijakan DPR dan lemahnya pemerintahan, maka mereka yang mengaku paling membela agama Tuhan di garda depan ini menuntut penegakan syariat Islam sebagai basis konstitusi NKRI.
Dan, kiranya itulah yang dimaksud oleh Pak Wiranto sebagai “kelompok lain” penunggang demonstrasi akhir-akhir ini. Mereka digagas oleh Pak Wiranto, dan kini justru berbalik “melawannya”.
Pendek kata, kita harusnya bersyukur punya Pak Wiranto. Energinya dalam mengurus negeri tak pernah lapuk oleh ruang dan waktu. Pengabdiannya kepada negeri ini pun telah terakreditasi dengan cukup.
Kita bisa dengan mudah menemui banyak kisah heroik tentangnya. Mulai dari suara baritonnya yang selalu hadir di setiap momen penting bangsa ini, kemudian kisah masa kecil Pak Wiranto yang pernah bersimpang jalan dengan maut tapi tetap selamat, sampai Pak Wiranto yang nyamar menjadi seorang kernet metromini merupakan bukti bahwa dia memang telah sepenuhnya mengadikan dirinya untuk Indonesia.
Bahwa kemudian apa yang menjadi keputusan Pak Wiranto belakangan ini justru menjadi blunder politiknya sendiri, itu tentu saja lain lagi. Yang jelas, dia pasti punya niatan baik. Soal kebaikan itu apakah untuk kepentingan Pak Wiranto atau kepentingan umum, kita tidak layak mengritisinya.
Sebab, kita tidak perlu kiranya meragukan kecintaan Pak Wiranto pada NKRI. Bukan apa-apa, namun karena dia adalah NKRI itu sendiri. Intinya, zaman boleh berubah, tapi Wiranto tetap digdaya.