Jika kriteria bagi harta yang dizakatkan adalah kesempurnaan, yakni harta yang secara sah dimiliki seseorang, bagaimana dengan harta yang sumbernya tidak jelas, yang tidak jelas siapa pemilik sahnya? Harta yang tidak jelas siapa pemiliknya, yang merupakan hasil dari korupsi, kolusi dan tindakan terlarang lainnya tidak bisa dizakatkan.
Kriteria kesempurnaan tadi berpengaruh terhadap keadaan psikologis seseorang, oleh karena itu, jika harta yang dimiliki seseorang adalah harta yang haram, maka ujian psikologis ini tidak bermakna, dengan kata lain, zakat tidak berpengaruh kepada seseorang itu.
Jika dalam cerita Qabil dan Habil, meskipun Qabil memberikan harta yang sempurna, tetapi kualitasnya tidak dapat diterima; maka apalagi jika harta yang dimiliki itu haram. Adapun mengenai kualitasnya, walaupun harta yang haram itu tetap bernilai sama, secara fisik dengan uang pada umumnya, tetapi secara syariat dan secara filosofis, harta ini berbeda derajat.
Larangan untuk berzakat dengan harta yang haram juga merupakan anjuran implisit supaya seseorang tidak mencari nafkah melalui jalur yang haram. Sebab, secara filosofis, jika seseorang mencari nafkah lewat jalur yang haram, maka yang akan terjadi adalah ia kehilangan kemanusiaannya.
Adapun, secara syariat, harta tersebut harus dikembalikan kepada pemilik sahnya. Jika pemilik sahnya tidak ditemukan, maka lebih baik harta ini digunakan bagi kemaslahatan masyarakat. Meskipun secara spiritual, harta ini masih tetap haram, tetapi jika ada keperluan yang darurat mengenai kemaslahatan masyarakat, dan menimbang kalua-kalau harta ini malah lebih jauh diselewengkan oleh pemiliknya, maka opsi seperti ini lebih baik.
Syarat bagi seseorang untuk berzakat ialah hartanya sempurna, hartanya tumbuh dan berkembang, telah mencapai nisab dan haul, serta memiliki kualitas yang bagus, serta seseorang sudah baligh.
Setiap syarat ini harus dipenuhi, mengingat tujuan dari perintah Islam agar penganutnya beribadah tidak terbatas pada satu sisi saja. Seseorang harus baligh karena kesadaran manusia hadir di sini, yang menyebabkannya memiliki naluri untuk bertanggung jawab, ini adalah aspek psikologis.
Harta seseorang harus mencapai nisab dan haul. Ini merupakan pertimbangan secara ekonomis; kualitas harta haruslah bagus, ini adalah aspek sosiologis karena berhubungan dengan mereka yang menerima harta yang dizakatkan.
Penekanan Islam terhadap etika seperti ini tidak lain dari pemahaman Rasulullah mengenai kondisi manusia itu sendiri. Islam hadir untuk menyelamatkan manusia dari kehancurannya, yakni amoralitas.
Islam juga memperhatikan aspek sosial manusia karena kenyataannya manusia hidup di dunia social.
Islam memperhatikan aspek ekonomi, yang diwakilkan oleh Rasulullah sendiri yang bekerja sebagai seorang pedagang.
Islam memperhatikan aspek psikologis, setiap ajarannya selalu memiliki tujuan psikologis tertentu jika kita renungkan maknanya.
Harta yang haram tidak bisa dizakatkan karena alasan psikologis. Bayangkan jika Islam memperbolehkan orang mencuci harta haramnya dengan zakat.
Ia tidak pula berfungsi secara ekonomis; jika uang korupsi itu dizakatkan kepada rakyat kembali, bukankah ini penipuan? Sebab uang yang dikorupsi dengan yang dizakatkan tentu jumlahnya lebih besar.
Secara syariat, harta haram tentu diancam dengan dosa dan neraka. Secara etis dan sosiologis, peredaran harta haram justru akan menghancurkan suatu masyarakat tertentu, karena ini menandakan adanya proses ekonomi dan birokrasi yang kotor.