Jika perempuan setara dengan laki-laki, lalu apa gunanya fungsi menyusui? Pertanyaan ini sering disangkut-pautkan dengan konsep feminisme sebagai gerakan penghancuran Islam dari dalam. Tuduhan-tuduhan semacam itu membuat saya sering tersenyum geli mendengarnya. Apalagi jika yang mengatakannya adalah seorang perempuan. Lengkap sudah kegelisahan saya.
Banyak yang kurang memahami bahwa penyetaraan lelaki dan perempuan tidak terkait dengan peran-peran sosial yang berlangsung di tengah masyarakat. Adanya pergeseran nilai dari masa ke masa bukan berarti membuat agama berada dalam situasi berbahaya. Sebaliknya, agama bisa menginspirasi kehidupan sosial menuju kehidupan yang adil dan harmonis.
Saya mencontohkan mengenai pilihan seorang perempuan yang berkarir, baik sebagai seorang guru, karyawan, buruh, dan lain sebagainya. Adakah yang salah? Bagi orang-orang yang memandang perempuan sebagai manusia kelas dua yang tidak diberi ruang untuk bekerja, pilihan karir kerap dipermasalahkan. Mereka mengutip sebuah ungkapan bahwa ibu adalah sekolah bagi anaknya. Jika ibunya sibuk kerja, bagaimana seorang anak bisa mendapat pendidikan yang selayaknya didapat dari seorang ibu? Ujung-ujungnya apabila ada seorang anak yang nakal, yang disalahkan adalah ibunya.
Pandangan semacam ini sangat perlu diluruskan karena bisa melegitimasi perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Sementara Islam sebagai agama yang egaliter tidak pernah menempatkan keutamaan umatnya berdasar jenis kelamin, tetapi berdasar ketakwaan (Al-Hujurat ayat 13).
Perempuan memiliki status yang setara dengan lelaki dalam semua aspek kehidupan sosial. Hal ini tercermin pada banyak ajaran Islam yang mewajibkan pendidikan bagi semua umatnya. Tujuan pendidikan tentu saja untuk membentuk watak kritis dan jernih dalam memandang persoalan. Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana banyak informasi penting dan ajaran agama yang disampaikan Nabi Muhammad kepada istri-istrinya. Sebagai contoh, satu periwayat hadis terbanyak adalah Asiyah, istri Nabi yang usianya paling belia.
Sosok sayidah Aisyah inilah yang mestinya menjadi role model bagi perempuan masa kini yang berupaya untuk hijrah. Aisyah merupakan antitesis perempuan jahiliyah yang dianggap bodoh, tidak punya power, dan hanya menjadi pembocor rahasia strategi perang. Aisyah adalah sosok yang cerdas dan memiliki aura kepemimpinan. Perang jamal adalah salah satu bukti seorang perempuan bisa menjadi orang yang tangguh dan memimpin.
Saya sangat kecewa apabila saat ini narasi-narasi yang menggiring perempuan ke masa pra-Islam dimunculkan oleh orang-orang yang justru menamakan dirinya memperjuangkan Islam. Apalagi jika narasi-narasi tersebut dibalut dengan bungkus bernama hijrah. Padahal, hijrah adalah tonggak sejarah yang memulai babak baru dari peradaban manusia secara umum. Sebuah keadaan yang awalnya diliputi kegelapan karena kebodohan menjadi keadaan yang terang benderang karena cahaya ilmu.
Jika setuju dengan ungkapan perempuan adalah sekolah bagi anaknya, tentu kita mendorong agar para perempuan memiliki akses yang sama dengan lelaki dalam pendidikan dan ruang-ruang partisipasi lainnya. Tidak terkecuali dengan dunia kerja yang saat ini banyak diisi oleh kaum hawa. Tak perlu menarik perempuan ke dalam rumahan untuk menjalani ‘kodratnya’ sebagai agen 3 M (manak, masak, dan macak), karena anggapan tersebut tidak lagi relevan. Apalagi menempatkannya sebagai hiasan rumah yang sangat merendahkan harkat dan martabatnya.
Apabila ada orang memaknai hijrah sebagai sebuah ‘kesadaran’ perempuan yang awalnya memiliki cita-cita kemudian menjadi makhluk yang penuh dengan kepasrahan yang tidak butuh pendidikan, maka hijrah yang demikian bukanlah hijrah sebagaimana Nabi Muhammad ajarkan. Cara pandang seperti itu justru khas kaum jahiliyah yang tidak ingin kaum perempuan berdaulat atas dirinya sendiri. Sementara sejak awal perjuangan Nabi memiliki semangat untuk menempatkan perempuan pada posisi yang sangat istimewa. Ketika ditanya siapa yang harus dihormati, Nabi menjawab ‘Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu’. Melihat ajaran Islam terkait perempuan dari perspektif hijrah itu indah, bukan?