Ketika berdiskusi dengan beberapa orang mengenai fenomena beragama, kami bersepakat untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai idola. Nabi Muhammad adalah pelopor beragama secara inklusif.
Eksklusivisme terjadi ketika seseorang tidak pernah mencoba untuk beranjak dari lingkungan sekitarnya. Begitu pula dengan beragama, jika seseorang tidak pernah melakukan dialog atau bertemu yang berbeda, sudah barang tentu ia akan memandang agama secara eksklusif. Hal ini tidak hanya terjadi di agama Islam saja, tetapi juga di agama-agama atau kepercayaan lainnya. Dalam bahasa sederhana, orang yang eksklusif ini adalah orang yang ngopinya kurang kenthel, dolannya kurang jauh, dan pulangnya kurang malam.
Saya tidak ingin berdebat mengenai apakah Nabi Muhammad SAW mengonsumsi kopi pahit atau teh manis. Ungkapan di atas hanya merupakan penggambaran orang yang kurang melakukan interaksi dan menambah pengalaman. Nabi Muhammad SAW menjadi orang yang sangat terbuka adalah karena kesehariannya yang tidak mengabaikan keadaan sosial dan selalu terbuka dengan siapa saja. Karena selalu mengamati gejala sosial, Nabi Muhammad SAW selalu bisa memberi solusi terhadap berbagai masalah keumatan di masa itu.
Inklusifnya seorang Nabi Muhammad tentu saja, selain karena bimbingan Allah SWT, juga buah dari sejarah panjang hidupnya. Saat kecil ia menjalani kehidupan sebagai penggembala. Ia juga menjadi pedagang yang daya jelajahnya sampai ke negeri Syam (kini Suriah), salah satu kota perdagangan Arab di masa itu. Interaksi dengan banyak orang membuat Nabi Muhammad SAW menjadi manusia yang mengerti realitas perbedaan.
Hijrah adalah titik di mana Nabi Muhammad SAW memperlihatkan cara hidup di tengah masyarakat yang plural. Yatsrib yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah Al-Munawwaroh merupakan sebuah daerah agraris yang dihuni oleh orang-orang dari berbagai latar belakang. Ada banyak suku dan agama yang menjadi identitas masyarakat Madinah pada waktu itu.
Dalam mengelola masyarakat yang plural, Nabi Muhammad tidak pernah memaksakan kehendaknya. Bahkan dalam merumuskan kesepakatan bersama, Nabi Muhammad melibatkan semua unsur primordial yang ada di Madinah. Kesepakatan bernama piagam Madinah itu kemudian menjadi undang-udang yang oleh sejarawan disebut sebagai konstitusi tertulis pertama umat manusia.
Hijrah dan keberagaman tidak bisa dipisah satu sama lainnya. Ketika orang menyatakan dirinya ingin berhijrah, pada saat itu pulalah ia bertekad menjadi pribadi yang lebih terbuka dan siap melihat realitas keberagaman yang menjadi sunnatullah di dunia ini. Apabila mengaku berhijrah tapi perilakunya seperti kafir jahiliyah yang melakukan berbagai upaya diskriminasi, tentu dipertanyakan konsep hijrah seperti apa yang dianutnya.
Dalam buku Islam Kosmopolitan, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menggambarkan bagaimana kondisi ideal yang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama mengenai kehidupan beragama di tengah masyarakat. Ia menawarkan konsep universalisme Islam yang menarik nilai-nilai Islam sebagai sebuah etika sosial masyarakat. Islam tidak hanya dipahami sebagai sebuah agama, tetapi lebih kepada nilai yang bisa masuk ke berbagai ruang dan waktu. Islam tidak ditarik menjadi sebuah simbol atau cashing, tetapi menjadi motor yang menggerakkan banyak aspek kehidupan.
Konsep inilah yang diajarkan Nabi Muhammad selama periode setelah hijrah di Madinah. Di masa ini, ayat-ayat Al-Quran yang turun kebanyakan memuat ajaran-ajaran akhlak, hukum terapan, dan kisah-kisah inspirasi. Salah satu ayat yang menjadi dalil manusia untuk merawat keberagaman ini adalah surat Al-Hujurat ayat 13.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”