Dalam literatur keislaman, ada beberapa cara pandang dalam melihat dakwah Nabi Muhammad SAW dan turunnya kitab Suci Al-Quran. Salah satunya adalah melihat pembagian waktu atau periode. Dakwah Nabi selama 23 tahun terbagi atas 13 tahun di Makkah, dan 10 tahun di Madinah. Periode ini ditandai dengan sebuah peristiwa yang menginspirasi kaum muslimin sepanjang masa: hijrah.
Hijrah adalah sebuah penanda babak baru persebaran agama Islam di dunia. Peristiwa ini dijadikan sebagai awal perhitungan kalender Islam yang masih digunakan hingga saat ini. Oleh banyak orang, peristiwa hijrah dipahami sebagai peralihan dakwah Islam dari keadaan sulit menuju keadaan yang lebih baik.
Di masa kini, hijrah menjadi tagline berbagai kalangan untuk menggambarkan sebuah situasi peralihan individu seseorang. Misalnya saja ketika ada seorang artis yang awalnya tidak berkerudung, lalu setelah berkerudung dilabeli dengan sebutan ‘sudah hijrah’. Begitu pula banyak figur publik yang awalnya belum ikut kajian keislaman, setelah ikut kajian dan berubah tampilannya menjadi berjenggot dan bercelana cingkrang, langsung dilabeli hijrah. Namun, apakah sesempit itu makna hijrah?
Hijrah yang banyak digembar-gemborkan di media adalah hijrah di ranah simbolik. Yang diubah barulah simbol beragama, bukan esensinya. Misalnya saja terkait jilbab. Bagi ulama yang mewajibkan berjilbab, tuntunannya adalah menutup aurat. Kata ‘aurat’ sendiri biasa diartikan sebagai ‘perhiasan’. Apa saja perhiasan bagi perempuan?
Tentu pembahasan ini sangat panjang. Tetapi saya mau memberikan satu perspektif baru terkait ajaran kesederhanaan dalam Islam. Mengapa sederhana? Agar tidak timbul kesombongan. Selain itu, Islam selalu menekankan pemeluknya agar bersikap egaliter dengan siapa pun. Menunjukkan kekayaan tetapi kikir dalam kehidupan sehari-hari adalah sifat-sifat orang jahiliyah yang ‘diperangi’ oleh Nabi semasa hidupnya. Alih-alih menjadi umat yang sederhana, saat ini muncul banyak varian jilbab yang harganya bisa dibuat daftar umrah resmi.
Terkait celana cingkrang, kita bisa melihat percakapan Nabi dengan sahabat Umar ibn Khattab. Ketika Nabi melarang umatnya ber-isbal, sahabat Umar bertanya apakah dirinya berdosa apabila memakai pakaian yang dilarang itu. Nabi menjawab tidak karena ia tahu sahabatnya itu tidak bermaksud sombong. Di kasus ini, esensinya adalah menghindari kesombongan. Apabila saat in banyak umat Islam yang mengikuti dawuh Nabi tersebut, tentu tidak masalah apabila diniatkan agar tidak sombong. Tetapi apabila menyebut pakaian semacam itu sunah dengan mendiskreditkan model lainnya, tentu hal ini tidak sesuai dengan maksud Nabi Muhammad.
Begitu pula dengan hijab atau jilbab. Beberapa waktu lalu kasus artis Rina Nose yang awalnya tidak berjilbab, kemudian ‘berhijrah’, lalu tidak berjilbab lagi membuat saya cukup miris. Bukan saja soal artis tersebut yang memilih tidak berjilbab lagi, lebih jauh adalah sikap orang-orang yang menghardiknya secara berlebihan.
Jika tujuan beragama adalah untuk membuat akhlak seseorang menjadi lebih baik, lalu di mana letak akhlak orang-orang yang menghujatnya dengan penuh kebencian? Padahal Nabi diutus utamanya untuk membenahi akhlak. ‘Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk mengajarkan akhlak yang mulia’.
Di sebuah forum, saya pernah mendapat pertanyaan seperti ini. “Mengapa kebanyakan kita mengkritik saudara-saudara yang sudah berhijab, tetapi justru diam saja dengan orang yang masih belum berhijab?”. Pertanyaan tersebut menarik, apalagi setelah ramai kasus larangan bercadar di UIN Yogyakarta. Bagi saya, mau berhijab atau tidak, itu pilihan masing-masing. Menyarankan orang untuk berhijab tentu sebuah pekerjaan yang mulia. Apalagi jika niatnya untuk menjaga kehormatan perempuan.
Yang menjadi masalah adalah ketika hijab dijadikan komoditas simbolik tanpa ada usaha untuk menginternalisasikan nilai-nilai kehormatan pada perempuan itu sendiri. Malahan, dengan berjilbab justru membuat seseorang memandang orang lain lebih rendah. Apakah cukup menyebut dirinya berhijrah menjadi lebih baik karena mengenakan jilbab? Dorongan menjadi lebih baik inilah yang dilakukan agar kata ‘hijrah’ tidak mengalami pendangkalan makna. [Bersambung]