Pada November 2023, saya mengunjungi Indonesia dan menjadi pembicara di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali tentang ulasan dari buku saya, “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan” yang telah diterjemahankan ke bahasa Indonesia. Buku ini berisi analisis akademis mengenai krisis politik dan sosio-ekonomi yang dihadapi oleh banyak masyarakat Muslim saat ini.
Keramahan dan kehangatan orang-orang di Indonesia kemudian mendorong saya untuk mengunjungi negara tetangganya, Malaysia. Namun, saya tidak menyangka bahwa tur buku saya di Malaysia akan berakhir dengan konfrontasi dengan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai polisi di Bandara Kuala Lumpur.
Saya tiba di Malaysia pada awal Januari 2024 untuk mempromosikan buku yang sama, yang diterjemahkan ke bahasa Melayu dengan judul “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan”.
Kedatangan saya menarik perhatian yang tidak beralasan. Beberapa kelompok konservatif dan Islamis di Malaysia rupanya telah keliru melabeli saya di media sosialsebagai “liberal”-sebuah istilah yang digunakan oleh badan federal Malaysia yang mengelola urusan Islam untuk merujuk pada mereka yang menentang Islam Sunni, agama resmi di negara itu. Acara peluncuran buku saya kemudian dibatalkan.
Meski demikian, saya tetap mengisi beberapa acara diskusi lainnya. Lalu dua orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai petugas polisi datang ke acara terakhir saya dan menginterogasi penerbit saya. Saat itu saya tetap melanjutkan acara diskusi tersebut.
Keesokan harinya, petugas yang sama menginterogasi saya dan mencoba menyita paspor saya di Bandara Internasional Kuala Lumpur ketika saya akan terbang ke Pakistan. Karena khawatir akan keselamatan diri, saya membatalkan serangkaian acara diskusi yang diagendakan di Lahore dan Islamabad, lalu saya kembali ke Amerika Serikat (AS).
Insiden yang saya alami di Malaysia tersebut menjadi pemberitaan di sana, namun inspektur jenderal polisi Malaysiamenyangkal bahwa otoritasnya mengirim petugas untuk menghadang saya. Kelompok hak asasi manusia (HAM) di Malaysia telah menyerukan untuk dilakukannya investigasi yang lebih menyeluruh terhadap kasus saya.
Sebagai seorang akademisi bidang agama dan politik dalam perspektif komparatif, saya tidak melihat apa yang saya alami sebagai contoh intoleransi agama yang terisolasi di negara-negara mayoritas Muslim. Sebaliknya, kejadian ini menunjukkan sesuatu yang lebih luas.
Penelitian saya menunjukkan bahwa ada peningkatan tren global yang menentang perbedaan pendapat dan pandangan agama minoritas. Menganalisis tren ini sangat penting untuk memahami mengapa para pemimpin populis sayap kanan sekarang memerintah di berbagai negara, seperti di Turki, Rusia, Israel dan India, dan bagaimana mereka dapat berkuasa di tempat-tempat lain, termasuk AS.
Semua negara tersebut baru-baru ini mengalami kombinasi dari tiga gerakan: konservatisme agama, nasionalisme, dan populisme.
Agama dan nasionalisme: Musuh lama, kawan baru
Dalam sejarah Kristen dan Muslim, nasionalisme muncul sebagai reaksi terhadap penegakkan agama. Para ahli nasionalisme seperti Benedict Anderson menjelaskan asal-usul nasionalisme di Eropa setelah abad ke-16 melalui perluasan bahasa-bahasa daerah, gereja-gereja nasional, dan negara-bangsa yang mengorbankan bangsa Latin, Vatikan, dan dinasti-dinasti yang ditahbiskan secara ilahi.
Demikian pula, di banyak negara mayoritas Muslim, terdapat ketegangan antara kelompok Islamis dan nasionalis. Kelompok Islamis mendorong pendidikan agama tradisional dan hukum Islam, serta menekankan identitas Islam global. Sementara itu, kaum nasionalis memodernisasi sekolah-sekolah, membuat hukum sekuler, dan menekankan identitas nasional.
Ketegangan ini terus berlanjut sepanjang abad ke-20 di Turki. Kelompok nasionalis yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Ataturkmendirikan republik sekuler pada tahun 1920-an. Ada perjuangan serupa di Mesir antara kelompok Islamis Ikhwanul Muslimindan perwira militer nasionalis yang membangun republik di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser pada tahun 1950-an.
Namun, saat ini, kekuatan agama dan nasionalis sering kali menjadi sekutu politik. Selama satu dekade, aliansi semacam ini telah terjalin di Rusia, antara Patriark Ortodoks Kirill dan Presiden Vladimir Putin. Aturan yang menghukum penghinaan terhadap perasaan keagamaan telah diperluas, dan nilai-nilai Kristen Ortodoksdikembalikan ke dalam kurikulum sekolah.
Para analis mendefinisikan dukungan kuat Kirill untuk invasi Putin ke Ukraina sebagai cerminan ideologi nasionalis yang mereka anut.
Di Turki, otoritas keagamaan utama adalah Diyanet, sebuah badan pemerintah yang mengontrol masjid dan membayar gaji para imamnya. Meskipun Diyanet didirikan oleh Ataturk untuk melayani kebijakan nasionalis sekuler, Diyanet telah menjadi pilar pentingdari pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang memadukan Islamisme dan nasionalisme. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan mewakili Islamisme, sementara mitra koalisinya selama satu dekade, Partai Aksi Nasionalis (AKP), memiliki agenda nasionalis yang eksplisit.
Di dunia Arab, ada pertikaian antara Mesir nasionalis sekuler Nasser dan negara Islam Arab Saudi pada tahun 1950-an dan 1960-an. Sekarang tidak lagi. Mesir, yang telah beralih ke Islamisme dengan konstitusi yang mengacu pada syariah sebagai sumber hukum sejak 1980, dan Arab Saudi, yang baru-baru ini menjadi dianggap makin kurang Islamis dan menjadi lebih nasionalismelalui reformasi Putra Mahkota Mohammed bin Salman, kini menjadi sekutu regional.
Era pemimpin populis
Apa yang menjelaskan transformasi dalam hubungan antara agama dan nasionalisme? Saya percaya bahwa populisme adalah perekat yang menyatukan keduanya.
Kelompok populis sering mengklaim bahwa mereka membela “rakyat” dari para elite dan minoritas, terutama para imigran.
Baru-baru ini, para pemimpin nasionalis populis telah menggunakan simbol-simbol agama untuk memobilisasi pengikut mereka. Misalnya, pada tahun 2016, Putinmendirikan Katedral Ortodoks di Paris di tepi Sungai Seine, dekat Menara Eiffel.
Pada tahun 2020, Erdogan mendeklarasikan Hagia Sophia sebagai masjid lagi. Hagia Sophia pernah menjadi gereja selama lebih dari satu milenium hingga penaklukan Ottoman di Istanbul pada 1453 dan menjadi masjid selama sekitar 500 tahun hingga Ataturk menjadikannya museum.
Baru-baru ini, pada tanggal 22 Januari 2024, Perdana Menteri India Narendra Modi meresmikan kuil Hindu di Ayodhya, lokasinya di sebuah masjid yang telah dibangun pada tahun 1528 tetapi dihancurkan dengan kejam pada 1992 oleh para radikal Hindu, setelah satu abad kontroversi atas tanah tersebut.
Mantan Presiden AS Donald Trump, meskipun ia tidak mendirikan gereja, ia pernah menunjukkan foto dirinya sedang memegang Alkitab pada saat yang genting, yaitu selama protes Black Lives Matter pada Juni 2020-yang menandai adanya politik agama dalam menantang para pengunjuk rasa.
Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan bahwa para pemimpin populis hendak menggabungkan agama dan nasionalisme untuk melayani agenda politik mereka. Namun, bagi minoritas agama, simbolisme ini dapat membuat mereka merasa sebagai warga negara kedua.
Masa depan minoritas agama
Di beberapa negara, aliansi antara kekuatan agama dan nasionalis populis telah mengancam hak-hak minoritas.
Salah satu contohnya adalah di Malaysia, sebuah negara yang memiliki keragaman etnis dan agama. Orang Melayu Muslim menjadi mayoritas, sementara komunitas Buddha, Kristen, dan Hindu hanya mencakup sepertiga dari total populasinya.
Seperti yang saya pelajari selama kunjungan saya baru-baru ini, Islam menjadi pusat perdebatan politik tentang nasionalisme di Malaysia. Misalnya, pada 13 Januari 2024, Mahathir Mohamad, mantan perdana menteri Malaysia, mengatakan bahwa warga etnis Tionghoa dan India di Malaysia tidak sepenuhnya “setia kepada negara” sehingga ia menawarkan asimilasi sebagai solusi.
Asimilasi etnis minoritas ke dalam mayoritas mungkin tidak dibatasi oleh bahasa dan budaya, karena konstitusi negara ini menghubungkan Islam dan identitas Melayu, yang menyatakan: “Orang Melayu berarti orang yang menganut agama Islam, terbiasa berbicara dalam bahasa Melayu, sesuai dengan adat Melayu.”
Bagi orang Melayu dan mualaf, meninggalkan Islam secara resmi bukanlah sebuah pilihan-baik pengadilan sipil maupun pengadilan syariat telah menolak hal tersebut dalam berbagai kasus.
Hubungan yang kuat antara agama dan nasionalisme Melayu telah membantu otoritas Islam, seperti pengadilan syariat dan polisi syariat, untuk memperluas pengaruh mereka. Namun, Peningkatan Islamisasipemerintah Malaysia, bagaimanapun juga, merupakan kekhawatiran bagi minoritas non-Muslim.
Sementara itu, minoritas Muslim khawatir akan hak-hak mereka di beberapa negara non-Muslim yang diperintah oleh kaum nasionalis populis.
Menurut lembaga pengawas demokrasi Freedom House, di India, pemerintah Modi telah menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap minoritas Muslim yang berjumlah sekitar 200 juta orang. Kebijakan-kebijakan ini termasuk penghancuran properti-properti Muslim sampai-sampai buldoser menjadi simbol “Hindu-nasionalis” dan anti-Muslim di India.
Di AS, kebijakan anti-imigran Trump mencakup apa yang disebut “larangan Muslim”, yakni perintah eksekutif yang melarang warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim tertentu untuk memasuki AS. Saat berkampanye untuk Pemilihan Umum (Pemilu) AS 2024 mendatang, Trump bersumpah untuk mengembalikan larangan tersebut dan memperluasnya.
Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman banyak negara di seluruh dunia, kecenderungan untuk memajukan agenda nasionalis-religius telah membatasi suara-suara minoritas. Kecenderungan ini merupakan tantangan besar bagi cita-cita demokrasi dan kesetaraan warga negara di seluruh dunia.
Kekhawatiran ini juga bersifat personal bagi saya. Sebagai seorang Muslim Amerika, saya ingin tetap menikmati kewarganegaraan yang setara di AS dan mendiskusikan tentang Islam di negara-negara mayoritas Muslim tanpa dilecehkan oleh polisi.
Artikel ini sebelumnya dimuat di The Conversation dan diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Rahma Sekar Andini.