Alasan Dewan Perwakilan Rakyat urung mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) adalah, kata mereka, adanya sejumlah pasal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Saya pun bertanya-tanya, apa yang bertentangan dengan nilai-nilai agama di sini? Jika kita berbicara tentang agama, tentu kita berpikir tentang tafsir atas suatu hukum. Di Islam dikenal ada empat sumber hukum: Alquran, Hadis, Ijma’ (kesepakatan ulama), dan Qiyas (kontekstualisasi fikih lampau dengan fenomena baru yang muncul).
Nah, jika kita berbicara tentang RUU PKS, berada di wilayah mana kah agama ‘menolak’ RUU PKS?
Saya melihat pihak-pihak yang membenturkan persoalan agama dengan suatu produk hukum yang melindungi perempuan adalah mengada-ada. Apalagi Islam memiliki semangat untuk melindungi yang lemah dan dilemahkan. Perempuan secara akses memang berada di posisi dilemahkan. Sistem patriarki membuatnya harus tunduk pada berbagai norma sosial—yang seringkali dibalut agama.
Jika kita melihat berbagai statement terkait penolakan terhadap RUU PKS, ada dua arus besar yang diperdebatkan.
Pertama, soal istilah kekerasan atau perkosaan yang merujuk pada hubungan seksual yang tidak dikehendaki. RUU PKS menyasar pada berbagai bentuk relasi, termasuk rumah tangga. Para penolak menyebut mana mungkin di sebuah lembaga pernikahan terjadi kekerasan atau bahkan perkosaan?
Pendapat ini tercermin dalam sebuah acara di stasiun televisi nasional beberapa bulan lalu. Tengku Dzulkarnain tidak setuju apabila seorang istri menolak ajakan bersetubuh dari suami, sekali pun seorang istri berada dalam posisi kelemahan dan soal lainnya.
“Kalau dianggap kekerasan, lalu suami harus setor ke mana?” ujar Tengku Dzulkarnain. “Si istrinya tinggal diam saja… Tidur aja… Enggak sakit” sambungnya.
Komentar-komentar seperti itu sangat man-oriented. Phallocentrism, mengutip istilah Sigmund Freud. Phallocentrism menempatkan lelaki pada posisi paling berkuasa, sementara perempuan hanya menjadi objek. Inilah yang membuat saya bertanya-tanya, sejauh mana agama begitu dibuat melenceng dari tujuan awalnya oleh para pendompleng agama itu?
Baca juga: Lelaki Muslim harus mendukung RUU-PKS
Sebelum Islam lahir, perempuan dianggap sebagai aib. Kita bisa menyimak kisah di mana Umar bin Khattab—salah seorang sahabat Nabi—yang pernah membunuh anak perempuannya hidup-hidup. Perempuan di masa jahiliyah jika dibiarkan hidup, mereka tidak ubahnya seperti harta benda. Bisa dimiliki sebanyak-banyaknya. Bisa diwariskan sebagaimana ladang dan perhiasan.
Islam hadir melakukan sebuah revolusi peradaban dengan mengharuskan perempuan dinikahi. Yang awalnya tak terhingga, kemudian dibatasi menjadi empat. Spirit monogami bahkan diajarkan oleh Nabi Muhammad dengan menikahi Khadijah selama 25 tahun.
Dalam surat An-Nisa’ ayat kesembilan belas Allah SWT mengajarkan agar menggauli istri dengan cara-cara yang baik. Kekerasan, terutama kepada perempuan, adalah musuh bagi ajaran Islam. Kita bisa melacaknya melalui Maqashid Syariah atau tujuan-tujuan syariat. Ada lima prinsip. Dua di antaranya adalah hifz al-milk atau menjaga hak milik dan hifz an-nafs atau menjaga jiwa.
Bagi saya, tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri. Perkawinan tidak lantas membuat seorang pria memilikinya sehingga memperlakukan sekenanya. Karenanya, perbuatan seksual yang melibatkan dua insan harus melalui restu pemiliknya. Memaksa perempuan adalah bentuk pembegalan yang sangat ditentang oleh agama.
Prinsip hifz an-nafs merujuk pada persoalan kedua yang diperdebatkan di RUU PKS, yaitu aborsi.
Bagi penolak, menjaga agar anak ‘yang tak berdosa;’ ini lahir, adalah bentuk implementasi ‘hifz an-nafs’. Jiwa anak tersebut harus diselamatkan. Tetapi bagaimana dengan praktiknya pada kasus perkosaan? Ada banyak orang memilih bunuh diri karena tidak sanggup menerima berbagai bentuk cercaan dari lingkungan sekitar.
Masyarakat kita masih mempraktikkan rape culture yang cenderung menyalahkan korban. Jika dipaksa lahir, sang bayi yang awalnya disebut tidak berdosa tersebut, kemudian mendapat label ‘anak haram’ karena tidak memiliki ayah.
Pengalaman sosial semacam itu tentu harus ditanggapi, terutama oleh negara yang mayoritas penduduknya adalah Islam. Bagaimana Islam bisa menjawab tantangan demikian?
RUU PKS memberi peluang bagi para korban perkosaan untuk menyelamatkan jiwanya dengan opsi aborsi jika diperlukan. Ingat, RUU ini hanya memberi opsi, bukan mengharuskan. Lingkupnya pun tidak hanya umat Islam saja, tetapi seluruh umat beragama yang hidup di Indonesia.
Jika perdebatan soal agama masih menjadi sandungan terhadap pengesahan RUU PKS, maka pada dasarnya kita mundur jauh ke belakang. Mengapa? Karena Islam sebenarnya memiliki kemampuan untuk menjawab berbagai persoalan di tengah masyarakat, termasuk dalam melakukan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Hanya saja umatnya seringkali masih berpikir seperti era sebelum Nabi Muhammad SAW menyuarakan Islam.
Ya, banyak umat Islam yang wataknya justru jahiliyah. Parahnya, mereka merasa paling islami. Wallahua’lam.