Yang Dapat Kita Petik dari Perbedaan NU dan Muhammadiyah di Bulan Ramadhan

Yang Dapat Kita Petik dari Perbedaan NU dan Muhammadiyah di Bulan Ramadhan

Selalu ada yang bisa kita petik dari perbedaan yang ada. Tidak terkecuali dari NU dan Muhammadiyah yang mewakili wajah Islam Indonesia.

Yang Dapat Kita Petik dari Perbedaan NU dan Muhammadiyah di Bulan Ramadhan
Keduanya merupakan ulama besar dan pendiri dua organisasi besar di Indonesia: Muhammadiyah dan NU. Pict by Muslimdaily.net

Konsep perbedaan tidak hanya berkutat pada perbedaan satu agama dan agama lain, etnis, ras, atau perihal disabilitas. Perbedaan tidak terhindarkan terjadi dalam satu agama itu sendiri. Seperti halnya Islam yang memiliki bermacam madzhab dan golongan. Sebagaimana riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata, Nabi ﷺ bersabda “…Dan sungguh Bani Israil sudah berpecah belah menjadi 72 golongan, sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; semuanya di neraka, kecuali satu golongan.”

Para Sahabat bertanya: “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Maka beliau SAW menjawab: “Yaitu mereka yang berada di ajaranku dan para Sahabatku”.

Sudah sangat jelas bahwa perbedaan dan adanya beberapa golongan di umat Islam sudah diprediksi Rasulullah sejak dulu, dan menjadi realitas saat ini. Sebagaimana umat Islam di Indonesia yang didalamnya ada beberapa organisasi kemasyarakatan seperti halnya Nahdlatul Ulama (NU) dengan pengikutnya yang massif, yakni mencapai 49,5% Muslim Indonesia dan Muhammadiyah yang mewakili lebih dari 30% populasi Muslim Indonesia. Dalam banyak hal, dari keduanya sering kita jumpai perbedaan. Terlebih lagi saat bulan Ramadhan. Dalam banyak kesempatan, kedua ormas ini berbeda dalam menetapkan tanggal 1 Ramadhan.

Tanggal 1 Ramadhan menurut warga Nahdlatul Ulama jatuh tepat di tanggal 3April 2022. Bukan tanpa alasan warga NU menyatakan hal demikian, mereka berlandaskan kepada metode rukyatul hilal, dimana metode ini merupakan metode menentukan bulan baru dengan mengamati visibilitas hilal saat matahari terbenam pada tanggal 29 dalam kalender Qomariyah. Dengan kata lain, rukyat hanya dilakukan manakala telah terjadi konjungsi bulan-matahari dan pada saat matahari terbenam, hilal telah berada di atas ufuk dan dalam posisi dapat terlihat.

Berbeda dengan rukyatul hilal yang dilakukan warga NU, metode hisab yang menentukan awal puasa dengan mengandalkan perhitungan matematis dan astronomis. Perhitungan tersebut akan menentukan posisi bulan yang digunakan sebagai dasar penetapan awal Ramadhan. Metode inilah yang kemudian digunakan Muhammadiyah untuk menentukan bulan baru.

Lantas mengapa Muhammadiyah menghitung dengan metode hisab yang berbeda dengan NU? Muhammadiyah memilih hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal, karena menganggap kriteria ini lebih memberikan kepastian dari pada kriteria imkanur rukyat (kemungkinan hilal terlihat) maupun kriteria yang lainya. Hal ini jadi landasan masyarakat Muhammadiyah menunaikan puasa lebih awal satu hari daripada keputusan Nahdlatul Ulama dan termasuk juga keputusan pemerintah. Bukan hanya tahun ini saja, bahkan beberapatahun sebelumnya pun sama. Dua organisasi masyarakat tersebut menuai perbedaan dalam penentuan datangnya bulan Ramadhan.

Ada perbedaan dalam keputusan, maka terjadi juga perbedaan dalam tanggapan. Manusia yang seharusnya menggunakan akal yang telah diberikan oleh Allah yang Maha Memberi, adalah manusia yang seharusnya menerima perbedaan dalam hal fiqh. Biarkan orang menganut apa yang mereka percayai dan jangan mengurusi apa yang seharusnya tidak diurusi. Namun, orang-orang yang masih mewarisi sifat jahiliyah adalah mereka yang mempermasalahkan hal remeh temeh, mendebatkan apa yang seharusnya tidak mereka perdebatkan.

Bagaimana Muslim di Indonesia akan mengalami kemajuan, jika yang terus-terusan mereka hadapi adalah masalah keyakinan saudaranya sendiri. Yang sudah jelas bahwa Nabi Muhammad SAW menyatakan itu jauh sebelum kita ada. Pandangan penulis tentang masalah ini seharusnya manusia Muslim dimanapun berada harus saling menghormati keyakinan orang lain sebagaimana keakinan mereka ingin dihargai. Sesederhana itu.

Lagi pula, dalam hal penentuan awal Ramadhan misalnya, mengapa kita mempermasalahkan satu perbedaan diantara dua puluh sembilan persamaan? Mengapa kita tidak memikirkan masalah yang lebih penting dipikirkan? Seperti halnya, mengapa Muslim mengalami kemunduran sampi sejauh ini? Seperti apa identitas Muslim saat ini? Mengapa nilai-nilai profetik tidak kunjung menjadi identitas Muslim di Indonesia?

Astaghfirullah, semoga Allah mengampuni kita semua atas perselisihan dari perbedaan. Karena kembali lagi, Muslim adalah satu, perbedaan di dalamnya adalah kewajaran. Orang yang mencari panggung dan keuntungan di atasnya lah yang seharusnya enyah. Wallahu a’lam bisshawab.

*Artikel ini adalah konten kerjasama Islamidotco dengan Sharia International Center IAIN Salatiga