Yang Berubah dari Ramadhan Tahun Ini, Menelusuri Perubahan dari Otoritas Agama ke Influencer Konten Puasa

Yang Berubah dari Ramadhan Tahun Ini, Menelusuri Perubahan dari Otoritas Agama ke Influencer Konten Puasa

Yang Berubah dari Ramadhan Tahun Ini, Menelusuri Perubahan dari Otoritas Agama ke Influencer Konten Puasa

Tahun ini Ramadan tak lagi diisi guyonan soal iklan sirup atau kaleng makanan. Media sosial telah menambahkan banyak warna di bulan puasa tahun ini, bahkan bisa dibilang mempengaruhi. Walaupun, ramadan masih disesaki dengan narasi konsumsi, namun berpuasa di ruang digital telah dipengaruhi banyak persepsi, narasi, hingga tradisi-tradisi baru.

Syahdan, eksistensi pemengaruh tentu vital. Bahkan, mereka bisa bersaing dengan otoritas agama tradisional. Kok bisa? Berpuasa kita tidak saja soal spiritual, namun juga dipengaruhi pola dan apa yang kita konsumsi di ruang digital. Di Ramadan kali ini, keberagamaan kita mulai berinteraksi lebih dalam lagi dengan beragam konten di media sosial.

Siniar-siniar di Youtube, foto berisi doa berbuka hingga niat zakat fitrah, hingga video konten “A Day of My Life” yang berisi kegiatan-kegiatan Ramadan pun tak pernah berhenti berjejal di linimasa kita. Seorang warganet, bahkan, meunggah kegiatannya berbuka di berbagai masjid atau musola di sekitar kota Jakarta.

Konten warganet tidak sekedar buat happy-happy saja, namun di saat bersamaan, informasi terkait tempat, makanan, hingga vibes-nya juga berkelindan dengan spiritualitas. Para pemengaruh yang memiliki banyak followers dianggap bisa mengintervensi pilihan dan selera masyarakat Muslim hari ini.

Wajah berpuasa di bulan Ramadan pun tak lagi sama.

Banyak otoritas agama lamban melakukan adaptasi, bahkan masih bersikeras sikap antipati, atas teknologi media sosial ini. Sebagian mereka pun hari ini mulai ditinggalkan atau tidak lagi menjadi sumber “utama” dalam keberagamaan umat. Konten-konten mereka menjadi “rujukan” keberagamaan kita, termasuk dalam berpuasa.

Beragama hari ini tidak akan bisa dilepaskan dari budaya pop, termasuk media sosial.

Maka, bukan hal aneh, jika para pemengaruh, baik beragama Islam atau tidak, banyak melakukan kolaborasi dengan para pendakwah populis membuat konten-konten di bulan Ramadan ini. Entah disadari atau tidak, dunia digital bernuansa bulan Ramadan sudah berkelindan dengan ragam aktivitas berpuasa di siang hari dan menghidupkan malam harinya.

***

Di masyarakat perkotaan, ibadah puasa beberapa tahun terakhir menjadi sangat komunal.

Dulu, beragam peribadatan dan tradisi di bulan puasa biasanya dilakukan secara personal.

Hari ini, berpuasa dikelilingi beragam tren baru “diciptakan” atau “dipopulerkan” lewat kerja mesin algoritma media sosial. Pemengaruh pun memiliki peran krusial di sini.

Beberapa tahun terakhir, menahan rasa lapar dan haus dari terbit fajar hingga terbenam matahari tidak hanya dipengaruhi beragam iklan.

Berbagai sudut kota, terpampang di pagar masjid atau langgar, hingga berseliweran di Youtube, beragam pariwara diciptakan untuk mempengaruhi konsumsi kita sepanjang bulan puasa. Namun, internet pun datang mengubah tren konsumsi di bulan puasa ini.

Tren buka puasa bersama, misalnya, dipengaruhi dengan review para pemengaruh makanan (baca: food reviewer). Pilihan tidak saja dipengaruhi penilaian enak atau tidak makanan di sana, namun juga sisi lain juga turut mempengaruhi pilihan Muslim perkotaan, seperti hidden gem, instagramable, hingga nanti mau bikin konten velocity atau mengikuti tren tukar takjil.

Berbuka pun tak sekedar makan atau minum untuk membatalkan puasa. Tahun lalu, kita disuguhi banyak para pasangan wanita bersepakat untuk menyuruh sang suami atau kekasih berpakaian sama, tanpa mereka ketahui sebelumnya.

Tahun ini, tren melakukan I’itikaf di masjid-masjid pun semakin populer di masyarakat perkotaan. Jika sebelumnya seorang content creator membuat konten khusus terkait berbuka puasa berbagai masjid di kota Jakarta, maka ada juga seorang pemengaruh membuat konten khusus terkait I’itikaf di berbagai masjid.

Selain dunia digital, perubahan lanskap kota dan kemudahan akses transportasi turut mempengaruhi tren I’itikaf. Bentuk pemukiman kota yang tidak mengenal ikatan primordial, seperti kekeluargaan, hubungan erat tetangga, hingga masjid sebagai medium atau ruang sosial, maka masyarakat Muslim perkotaan lebih “terbuka” dengan ragam pilihan, termasuk ikatan mazhab atau organisasi keagamaan.

***

Keterbukaan di atas memungkinkan pemengaruh menjadi medium baru bagi masyarakat perkotaan dalam referensi beragama.

Kesalehan pun menjadi narasi utama di sini. Sebab, pemengaruh harus tetap memiliki kedekatan dengan model-model, akrab dengan narasi, hingga menggunakan kata-kata kunci dalam kesalehan ala masyarakat perkotaan.

Para pemengaruh yang memiliki banyak pengikut dan bisa menjadi “mata uang” mereka dalam menerima banyakendorse dan adsense dari sana.

Jika tidak, mereka akan gagal mendapatkan atensi publik urban hingga tidak jarang lagi tak laku dan tidak memiliki banyak pengikut.

Koneksi antara otoritas keagamaan dan pemengaruh bertumpu pada dua hal berbeda, walaupun kadang sering berkelindan.

Jika otoritas keagamaan bersandar pada hubungan guru-murid atau sanad keilmuan, maka pemengaruh ditopang pada atensi dan selera publik. Maka, jika mengulik relasi pemengaruh dengan para fansnya, maka mereka tidak benar-benar terhubung.

Publik memiliki kebebasan dan keleluasaan dalam memilih hingga berpindah jika sang pemengaruh tidak lagi selaras dengan selera mereka. Namun, jika masih selaras, maka informasi yang didapatkan dari pemengaruh bisa lebih cepat diadaptasi oleh masyarakat Muslim, khususnya di ranah perkotaan.

Pemengaruh sudah berkelindan lama dan mengubah banyak hal dalam puasa kita. Entah kita sadar atau tidak, perubahan itu sudah menjadi bagian dari keberagamaan kita. Lebaran sudah dekat, lihat saja bagaimana dunia digital akan berkelindan di dalamnya. Begitu…