Dalam satu grup WhatsApp, saya membagikan berita dari situs detik dan investigasi majalah Tempo. Selain dua informasi yang dibuat oleh dua media online dan cetak ini bisa dipertanggungjawabkan, niat saya menyebarkan dua berita itu adalah untuk memberikan perspektif lain atas informasi hoaks yang selama ini beredar.
Informasi hoaks ini yang kerapkali menyudutkan apapun yang dilakukan pemerintah di bawah kepresidenan Jokowi. Namun, alih-alih membacanya terlebih dahulu dengan seksama, dengan membaca judulnya saja, ia telah membangun asumsi secara kuat tidak percaya kepada dua media tersebut. Alasannya pun sepele, dua media tersebut sudah dikooptasi oleh negara dan ia tidak percaya dengan institusi kepolisian.
Baginya, ia justru lebih percaya media sosial, yang dianggap lebih valid. Padahal, media sosial tidak sepenuhnya berisi kebenaran, karena tidak adanya proses klarifikasi, cek fakta, dan adanya pertanggungjawaban informasi yang disuguhkan. Otoritas orang yang menyampaikan informasi tersebut juga harus menjadi catatan tersendiri.
Karena itu, bagi saya, pernyataan ini bukan hanya mengagetkan, tapi membenarkan asumsi polarisasi yang selama ini terjadi akibat pilpres. Memang, media sosial selama ini menjadi alat gerakan sosial untuk menundukkan rezim yang berkuasa sekaligus menjadi artikulasi utama untuk menarik emosi orang terlibat.
Revolusi Arab Spring di Timur Tengah, gerakan kuning di Malaysia, Umbrella Movement di Hongkong, dan sebelumnya Cicak Versus Buaya di Indonesia adalah contohnya bagaimana media sosial digunakan dalam gerakan sosial untuk melawan rejim otoriter dan mengubah kebijakan. Namun, dalam konteks Pilpres, apalagi kerusuhan yang terjadi di sekitaran Bawaslu karena tidak menerima hasil KPU, konteks itu, harus dilihat kasus perkasus.
Apalagi, jika terlalu memegang teguh referensi kepercayaan kepada media sosial dan sirkulasi dan reproduksi yang berkembang itu justru lebih banyak berisi ujaran kebencian, fitnah, sekaligus kabar bohong. Kondisi ini tidak hanya menguatkan asumsi hoaks terhadap pemerintahan sebagai kebenaran tunggal, melainkan juga adanya kecenderungan orang untuk mendengarkan apa yang ingin didengarkan dan membaca berita apa yang ingin diharapkan.
Akibatnya, sejumlah tuduhan kecurangan yang tidak dapat dibuktikan dan hasil pilpres yang dimenangkan Jokowi dengan selisih 16 juta suara, tidak pernah masuk dalam alur logikanya untuk menjelaskan. Sementara informasi yang berisi penjernihan dan klarifikasi tidak akan mau diterima. Pola ini kemudian membentuk mekanisme penyaringan dalam dirinya bahwasanya rejim berkuasa saat ini adalah salah. Apapun yang dilakukan.
Sebaliknya, ketika elit politik yang didukungnya berbicara pasti dianggap sebagai kebenaran. Kasus Ratna Sarumpaet tidak pernah masuk dalam ingatannya karena dianggap sebagai batu sandungan dalam membangun narasi yang sebelumnya sudah sesuai dengan yang diinginkan.
Bagi saya, kondisi ini sangat berbahaya di tengah elit politik yang terus-menerus memprovokasi dan apa yang keluar dari pernyataannya meskipun hoaks sekalipun menjadi kebenaran. Di sisi lain, upaya klarifikasi untuk membedakan mana ucapan kebenaran untuk membela, ujaran kebencian sekaligus ungkapan kebohongan tidak pernah dilakukan. Ini karena, ia telah melakukan proses penyaringan secara ketat atas berita dan informasi apa yang ingin diterima.
Saya yakin ini bukan persoalan kasuistik, melainkan terjadi di sebagian besar masyarakat Indonesia. Politik sirkulasi informasi sebagai kebenaran tunggal meskipun itu hoaks dan ujaran kebencian jauh lebih menguat dan personal karena masuk melalui WhatsApp grup. Sementara itu, karakter dari media sosial ini adalah bersifat semi-privat, hanya orang-orang yang masuk dalam grup itu saja yang dapat berinteraksi dan berbalas pesan. Jika tidak dihentikan, situasi ini akan berlangsung terus-menerus, meskipun Pilpres sudah selesai dan presiden dan wakil presidennya sudah dilantik.
Jika tidak ada upaya penanggulangan dan memutuskan mata rantai informasi semacam itu, kita sedang menanam bibit kebencian yang terus-menerus dipupuk. Hasil panennya akan dituai saat elit politik dan booth-booth media sosialnya membutuhkan. Dalam konteks ini, meskipun cukup bisa diredam, kerusuhan di Jakarta kemarin merupakan contoh dari hal tersebut.
Untungnya, pemerintah bersifat preventif dengan melakukan pelambatan akses media sosial tersebut. Jika saja itu dibiarkan dengan dalih kebebasan demokrasi, membayangkan kerusuhan Indonesia agar seperti yang terjadi di Syiria merupakan prediksi yang tidak sekedar isapan jempol.
Terus terang, saya tidak tahu bagaimana memadamkan percikan-percikan api semacam ini di tengah sensitivitas demokrasi yang harus memaksa negara untuk memberikan kebebasan masyarakatnya untuk berpendapat sebagai bagian dari demokrasi. Sementara itu, tradisi membaca buku sebagai bekal untuk menyeleksi informasi saja sangat rendah.
Kondisi ini diperkuat dengan makin solehnya masyarakat Indonesia dengan memegang teguh kepada ritual agamanya, tetapi, di sisi lain, yang terjadi justru membuatnya menjadi buruk dalam melakukan muamalah yang terkait dengan interaksi antar warga Indonesia sebagai bagian dari membangun kebaikan dan solidaritas sosial.