Islamisme, Islam politik, Islam fundamentalis–terserah kalian mau menyebutnya apa–memang cukup mengkhawatirkan. Mereka gencar sekali memprivatisasi ruang publik kita. Mulai dari pakaian hingga lahan parkir di-“syariah”-kan sedemikian rupa.
Lalu muncul reaksi terhadap itu. Kebaya dan sanggul dipakai kembali sebagai bentuk perlawanan, selain juga joget-joget seni tradisi di jalanan (flash mob). Bagi para pendukungnya, inilah kebudayaan Indonesia yang sebenarnya.
Saya sendiri sangat menghargai bentuk perlawanan terhadap agresi Islamisme itu, tetapi apakah efektif? Saya rasa tidak, atau kalau mau lebih sopan, belum cukup. Yang terjadi hanyalah sebatas perlawanan simbolis yang anakronistik.
Disebut anakronistik karena simbol-simbol tersebut diambil begitu saja dari pengalaman para pendukungnya di masa lalu yang tiada lain adalah era Orde Baru. Kebaya, sanggul, atau pertunjukan seni tradisi yang sekarang kembali dipakai ramai-ramai adalah produk kebudayaan Orde Baru, khususnya pada periode awal ketika Soeharto belum naik haji. Ketika itu, ketika Seharto masih kejawen, berbagai simbol itu marak ditampilkan di acara-acara resmi dan, jangan lupa, di TVRI.
Karena anakronistik, maka perlawanan simbolis terhadap agresi Islamisme tersebut adalah perlawanan orang-orang yang kalah. Apa makna baru dari pemakaian simbol-simbol itu selain hanya merupakan reaksi terhadap Islamisme? Tetapi, ini yang terpenting, lalu apa respons terhadap gagasan pokok Islamisme itu sendiri?
Beberapa orang mencari pada liberalisme. Namun liberalisme yang mana? Sudah berapa buku yang dibaca mengenai liberalisme sehingga dengan itu bisa yakin bahwa ia bisa mengahadang Islamisme?
Beberapa yang lain mencari pada Pancasila. Namun Pancasila yang mana? Sudah berapa buku yang dibaca mengenai Pancasila dan silang sengkarut pemikiran di belakangnya sehingga dengan itu bisa yakin bahwa ia bisa menghadang Islamisme?
Yang jarang dipahami adalah bahwa Islamisme pada dasarnya adalah gejala sosio-psikologis. Hari ini ada kebutuhan besar di sebagian kalangan masyarakat untuk mengadirkan suatu “metafisika” yang bisa menjawab masalah-masalah keseharian mereka secara holistik-komprehensif–sesuatu yang sejauh ini tampaknya sulit dijawab hanya oleh liberalisme atau Pancasila.
Lalu dalam perkembangannya, kebutuhan ini ditangkap oleh para politisi, maka jadilah itu barang: Islamisme, Islam politik, Islam fundamentalis, dst..