Pada tanggal 28 Januari 1985, atau tiga tahun sebelum komika Coki Pardede lahir dan dua belas tahun sebelum youtuber Indah G menangis di sebuah rumah bersalin, lebih dari 45 penyanyi dan penulis lagu terkemuka dari era tersebut berkumpul di A&M Studios, Los Angeles.
Mereka berkumpul untuk menciptakan sebuah karya yang tidak hanya akan mengguncang industri musik, tetapi juga hati jutaan orang di seluruh dunia–kecuali Coki Pardede dan mungkin juga Indah G.
Ya, lagu itu adalah “We Are the World,” sebuah anthem amal yang dirilis pada 7 Maret 1985.
39 tahun kemudian, sejak lagu itu rilis, dalam sebuah konten Youtube bersama Indah, Coki mempertanyakan relevansi lagu itu terhadap kondisi konflik sosial yang ada di dunia. Coki mengatakan, dunia justru semakin hancur setelah lagu itu keluar. Mendengar celotehan Coki, Indah tertawa bahak-bahak dengan frekuensi cukup tinggi.
Lagu We Are the World dasarnya memang tidak untuk memperbaiki kondisi sosial yang mestinya menjadi tanggungjawab rais, penguasa, ulil amri, atau pemerintah. Lagu, sebagaimana fungsi dasarnya, adalah medium hiburan dan permenungan. Ia bukan regulasi atau seperangkat undang-undang yang memungkinkan kesejahteraan sosial menjadi lebih merata.
Tapi, lagu juga memiliki daya magisnya sendiri. Tak butuh waktu lama untuk “We Are the World” menjadi sensasi di semesta budaya populer. Dalam waktu tiga hari, lagu ini terjual sebanyak 800.000 kopi dan berhasil mengumpulkan lebih dari $60 juta untuk bantuan kelaparan di Afrika. Keberhasilan ini juga memicu munculnya upaya amal lainnya yang dipelopori oleh para musisi.
Pemantik Ide
Inspirasi untuk “We Are the World” berasal dari Harry Belafonte, seorang penyanyi, aktor, dan aktivis Amerika.
Belafonte melihat potensi musik sebagai alat penggalangan dana yang kuat, apalagi setelah terinspirasi lagu “Do They Know It’s Christmas?” yang dirilis pada tahun 1984 dan menampilkan bintang-bintang seperti Bono, Boy George, Phil Collins, George Michael, dan Sting. Lagu itu sendiri bertujuan untuk membantu mereka yang terkena dampak kelaparan di Ethiopia.
Belafonte kemudian mendekati Lionel Richie, seorang penyanyi, penulis lagu, dan produser, dengan ide untuk mengorganisir proyek serupa yang lebih luas cakupannya untuk Afrika. Richie pun setuju dan segera menghubungi Quincy Jones, seorang produser legendaris, yang juga memberikan lampu hijau untuk proyek ini.
Pada awalnya, Richie berencana untuk menulis lagu bersama Stevie Wonder, namun karena Wonder sibuk dengan produksi albumnya, Richie kemudian bekerja sama dengan Michael Jackson. Duo ini lalu mulai menulis lagu yang mereka harapkan akan menjadi anthem bagi kemanusiaan.
Benar saja, lagu itu langsung menjadi hit. Dalam terbitan 25 Maret 1985, majalah TIME menyebutkan daftar statistik yang menunjukkan bahwa singel itu bakal meraup “sukses besar dalam satu dekade terakhir.”
Sebagi ilustrasi, dengan adanya lagu “We Are the World“, Toko Tower Records di Sunset Boulevard di West Hollywood sampai menjual 1.000 kopi dalam dua hari, dibandingkan dengan sekitar 100-125 kopi dalam seminggu.
Yang lebih menarik, majalah Time edisi yang sama menyatakan “yang paling menonjol dari lagu itu adalah bagaimana para musisi dari faksi-faksi yang bersaing di dunia bisnis ini terlihat mengesampingkan perbedaan gaya dan temperamen. Mereka bersatu untuk berbagi dan menyebarkan sedikit kesopanan.”
Singkirkan Egomu!
Untuk membuat proyek ini berhasil, diperlukan keterlibatan banyak penyanyi terkenal. Ken Kragen, manajer dari beberapa penyanyi termasuk Richie, mengambil tugas untuk merekrut paduan suara bintang.
Rekaman dijadwalkan tepat setelah American Music Awards, yang dipandu oleh Richie malam itu. Para penyanyi yang tiba di studio disambut dengan tanda besar yang bertuliskan, “Check your ego at the door,” sebuah pengingat bahwa proyek ini lebih besar dari individualitas mereka.
Banyak penyanyi yang hadir sudah saling mengenal, menjadikan sesi rekaman ini lebih seperti sebuah pertemuan sosial. Namun, tugas untuk merekam lagu ini sangat menantang. Setiap penyanyi solo dan duet diberikan bagian-bagian spesifik untuk dinyanyikan. Dengan banyaknya artis yang terlibat, proses ini akhirnya memakan waktu berjam-jam.
Momen-momen di balik layar itulah yang kemudian diabadikan dalam sebuah film dokumenter berjudul “We Are the World: The Story Behind the Song“, dipandu oleh Jane Fonda.
Kesuksesan Bersejarah
“We Are the World” bisa dibilang melampaui batas imajinasi pengarangnya. Lagu ini disebut-sebut menjadi salah satu singel terlaris dalam sejarah musik, menduduki posisi puncak di Billboard’s Hot 100 selama empat minggu berturut-turut, mendapat sertifikasi quadruple platinum, dan memenangkan Grammy Awards kategori rekaman terbaik serta lagu terbaik.
Lebih dari sekadar sebuah lagu, “We Are the World” menjadi inspirasi bagi proyek-proyek amal musik lainnya.
Pada bulan September 1985, misalnya, festival musik Farm Aid debut, yang diorganisir oleh Willie Nelson, Neil Young (yang juga berpartisipasi dalam rekaman “We Are the World”), dan John Mellencamp untuk membantu petani yang kesulitan di Amerika Serikat.
Pada tahun 1986, lagu hit “That’s What Friends Are For,” yang dibawakan oleh Stevie Wonder, Elton John, Gladys Knight, dan Dionne Warwick, juga berhasil mengumpulkan dana untuk penelitian AIDS.
Legasi Abadi
Pada tahun 2024, film dokumenter kedua tentang sesi rekaman berjudul “The Greatest Night in Pop,” disutradarai oleh Bao Nguyen, dirilis di Netflix. Film ini membawa penonton ke balik layar malam bersejarah tersebut, menyertakan cuplikan suara yang direkam oleh jurnalis David Breskin, yang hadir di acara tersebut atas nama majalah Life.
“We Are the World“ tidak hanya menjadi simbol solidaritas dan kemanusiaan, tetapi juga mengingatkan kita bahwa melalui musik, orang dapat bersatu untuk tujuan yang lebih besar.
Kecuali Coki, bagi kebanyakan orang lagu ini adalah bukti nyata bahwa ketika suara-suara paling potensial berkumpul jadi satu dengan ketulusan hati, dunia bisa berubah menjadi lebih baik.