Waria atau wanita pria tentu sudah jadi istilah yang tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan, bisa jadi kita sudah sering melihat mereka di tengah masyarakat. Tak sedikit dari waria ini yang beragama Islam. Bahkan, ada juga sudah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Pertanyaan yang cukup menggelitik adalah, apakah waria beribadah haji akan dapat dikatakan sah dan diterima ibadahnya? Lalu, apakah mereka harus menunaikan ibadah dengan berpakaian sebagai laki-laki atau perempuan?
Keberangkatan haji seorang waria pernah tercatat pada September 2016. Adalah Sutrisnawati, waria usia 52 tahun asal Lumajang yang menunaikan ibadah hajinya bersama Kelompok Terbang (Kloter) 58/Lumajang. Dirinya berangkat haji menggunakan KTP laki-laki karena petugas imigrasi telah memeriksanya dan menyatakan dirinya laki-laki. Namun sepulangnya dari Tanah Suci, Sutrisnawati mengaku masih kerap menggunakan pakaian wanita. Walau demikian, ia tetap berharap dirinya diberi kesalehan dan kemantapan untuk menjadi laki-laki.
Pada 2012, jamaah haji waria juga tercatat berasal dari Jember. Sutika bin Marwapi namanya. Waria yang berprofesi sebagai pedagang di pasar itu berangkat dengan Kloter Terbang 69/Jember. Jadi, bagaimana sebenarnya Islam memandang ibadah hajinya waria ini?
Perlu diketahui bahwa waria beribadah haji akan turut dikenakan syarat yang sama sebagaimana calon jamaah haji lainnya. Dalam permasalahan ini, Islam mengenal dua istilah yaitu Khuntsa serta Mukhannats. Secara mendasar, keduanya memiliki artian yang berbeda walau memang sedikit mirip. Dua istilah inilah yang harus dipahami waria dan petugas imigrasi sebelum keberangkatan haji.
Istilah Khuntsa merujuk pada keadaan di mana seseorang terlahir dengan kelamin ganda, di mana seseorang memiliki kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus. Kondisi ini terbilang sangat jarang terjadi namun tetap dapat ditemukan di tengah masyarakat. Islam telah memiliki sikap sendiri sejak awal terkait Khuntsa. Apabila organ kelamin laki-lakinya lebih dominan baik dari segi bentuk dan fungsi, maka ia akan dinyatakan sebagai laki-laki. Demikian pula apabila organ kelamin perempuannya yang lebih mendominasi, maka ia akan dinyatakan sebagai perempuan.
Khuntsa sendiri masih terbagi dua. Pertama ada khuntsa ghairu musykil alias waria yang dapat dengan mudah dikenali jenis kelaminnya. Termasuk di antaranya adalah perubahan organ-organ tubuh setelah melalui masa baligh/dewasa. Apabila jenis kelamin yang dominan adalah laki-laki, maka ia akan dihukumi sebagai laki-laki. Begitu pula apabila jenis kelamin yang dominan adalah perempuan maka hukum yang berlaku padanya adalah perempuan.
Kedua ada khuntsa musykil atau waria yang sulit untuk dikenali apa sebenarnya jenis kelaminnya. Waria seperti ini biasanya tidak bisa diketahui dengan pasti apakah dirinya adalah laki-laki atau perempuan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa khuntsa musykil disamakan dengan perempuan dalam hal syarat wajib naik haji. Termasuk di antaranya adalah menggunakan pakaian berjahit, berlari kecil saat menjalankan thawaf serta tidak boleh menunaikan haji tanpa muhrim.
Masalah yang sering terjadi dengan waria beribadah haji biasanya adalah mereka lebih mengarah pada mukhannats. Istilah satu ini berbeda dengan khuntsa, di mana mukhannats lebih merujuk pada laki-laki yang berperilaku seperti layaknya perempuan. Termasuk di antaranya adalah dalam hal cara berbicara, kelemah-lembutan hingga gerak gemulainya.
Mukhannats sendiri terbagi dua. Pertama, orang yang memang terlahir sebagai wanita sehingga ia tidak terhitung melakukan perbuatan dosa. Kedua, orang yang sebenarnya tidak terlahir sebagai wanita melainkan laki-laki tulen, namun menyerupai wanita dalam hal cara berbicara dan gerakannya. Orang-orang seperti inilah yang disebutkan dalam Hadist Riwayat Bukharim “Dari Ibnu Abbas, Nabi melaknat laki-laki yang menyerupai wanita (mukhannats) dan perempuan yang menyerupai laki-laki”.
Agar dapat menghindari munculnya permasalahan serta perdebatan terkait waria beribadah haji, hal yang penting untuk dilakukan adalah memastikan organ kelamin jamaah sebelum berangkat. Mengingat waria pada umumnya adalah laki-laki yang berperilaku seperti perempuan, maka perlakuan pada mereka seharusnya disesuaikan etika laki-laki. Pada dasarnya mereka adalah laki-laki, sehingga pergaulan dengan perempuan harus sama seperti adab pergaulan laki-laki dengan perempuan dengan adanya batasan-batasan tertentu.