Sejak mewabahanya covid-19 di Indonesia, pemerintah sigap untuk memberlakukan physical distancing dan mengeluarkan instruksi untuk bekerja, belajar dan beribadah dari rumah termasuk ritual Ramadhan seperti Tarawih berjamaah. Instruksi ini mengubah banyak pola aktivitas warga, terutama di kota-kota besar yang ditengarai masuk kategori zona merah penyebaran covid-19, sehingga memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun tidak demikian yang saya rasakan di desa.
Di desa, situasinya jauh berbeda. Selain sekolah-sekolah dan instansi pemerintahan yang “libur”, kehidupan di desa tampak tidak ada perubahan yang berarti. Paling-paling pembatasan jam buka toko-toko dan minimarket maksimal sampai jam 20:00 malam dan patrol dari Polsek yang berkeliling hampir tiap malam. Memakai masker menjadi pemandangan yang makin sering dijumpai. Selebihnya kehidupan desa berjalan wajar-wajar saja.
Tanpa berpolemik soal konspirasi, bayangan covid-19 tampak cukup jauh dari kepala warga desa. Mbak sayur keliling masih ndasar dagangannya, penjual pentol juga masih lewat. Pada pagi dan sore hari, anak-anak yang bersepeda dan remaja tanggung yang sedang demen-demennya mblayer motor dengan knalpot blombongan terlihat ramai melintas tiap pagi dan sore. Usut punya usut, itu lah kegiatan mereka untuk mengisi “libur sekolah” selama pandemi.
Masjid di desa saya sempat meliburkan Jumatan, ketika pemerintah mulai sigap menginstruksikan physical distancing di awal Maret. Keputusan tidak Jumatan ini diambil melalui musyawarah Takmir, pemerintah desa, tenaga medis dan kepolisian. Akan tetapi libur Jumatan ini hanya betah selama dua kali Jumat. Menjelang Jumat ketiga, Takmir masjid kembali bermusyawarah dan memutuskan untuk tetap melaksanakan Jumatan dengan protocol ketat dan pengawasan dari kepolisian, serta durasi khotbah Jumat yang diperpendek.
Memasuki bulan Ramadhan, kegiatan amaliyah rutin tetap dilaksanakan. Termasuk Tarawih berjamaah di mushalla-mushalla dusun. Bedanya hanya pada adanya protokol untuk cuci tangan, menggunakan masker, membawa sajadah sendiri-sendiri, dan shaf yang direnggangkan berjarak dua orang. Kapasitas mushalla yang kecil dan shaf yang melebar, membuat jamaah meluber sampai halaman.
Saya sendiri dan keluarga memilih untuk tetap Tarawih di rumah. Tapi udara tetap riuh dengan suara jamaah shalat Tarawih dan disambung dengan Tadarus al-Quran yang kadang sampai larut malam.
Kadang saya heran sendiri, kenapa warga desa masih kekeuh untuk melaksanakan aktivitas ibadah berjamaah. Pada akhirnya saya menyadari, ada aspek-aspek tertentu di desa yang membuat rutinitas Ramadhan ini mustahil ditinggalkan meski di tengah wabah.
Jika melihat dari sudut pandang orang yang teredukasi tentang ngerinya ancaman pandemi ini, anda mungkin akan gampang menyebut warga desa saya sebagai bebal, tidak taat aturan, dan lainnya. Eits, tunggu dulu. Persoalannya tidak sesederhana itu. Ada beberapa hal yang perlu ditilik dari sini, yang perlu kita sikapi tanpa memasang label ‘bebal’ terlebih dahulu kepada warga desa.
Pertama, urusan shalat di mushalla ini kemungkinan berkaitan dengan kesejahteraan warga dalam hal tempat tinggal. Tidak semua warga beruntung memiliki tempat shalat yang memadai di rumah. Jangankan ruang/tempat shalat. Banyak dari rumah warga yang terdiri dari dua atau bahkan tiga KK yang tinggal dalam satu rumah. Keberadaan mushala/masjid menjadi penting, karena kebanyakan warga memang tidak memungkinkan shalat di rumah. Entah karena tidak nyaman, atau tidak adanya ruang shalat untuk berjamaah di rumah.
Bisa dibayangkan, dalam satu rumah ditinggali setidaknya 8 atau 9 orang yang terdiri dari suami-istri, anak-menantu serta cucu-cucunya. Untuk sehari-hari tinggal di dalam rumah saja sudah tidak memungkinkan bergerak leluasa.
Saya yakin warga desa cukup melek soal hukum fikih. Atau paling tidak, mereka bisa mengerti jika dijelaskan oleh otoritas Kiai bahwa ada keringanan ibadah terkait wabah. Namun pada praktiknya, jauh lebih sulit bagi warga kampung untuk menerima masjid atau langgar-langgar dibiarkan kosong tanpa kegiatan rutin. Pada akhirnya ini bukan urusan yang bisa diselesaikan dengan fikih semata. Ini persoalan tradisi, yang melibatkan perasaan dan kebiasaan.
Umat Muslim sedunia saja tergetar hatinya kala melihat Ka’bah begitu lengang tanpa thawaf dan shalat berjamaah. Dalam skala kecil, itu pula yang dirasakan warga ketika melihat mushalla. Membayangkan libur shalat berjamaah saja tidak. Begitu pula pasti ada perasaan yang hilang dan jadi pemandangan yang aneh ketika Ramadhan datang, tapi Tarawih tidak dilaksanakan dengan berjamaah.
Belum lagi posisi mushalla sebagai episentrum kegiatan warga. Sense of belonging warga terhadap mushalla sangat lah besar. Mushalla tidak hanya sebagai tempat untuk mengakomodasi shalat berjamaah. Lebih dari itu, mushalla adalah tempat pendidikan komunal bagi orang tua untuk membiasakan anak-anak dan remaja supaya mau shalat berjamaah.
Kehidupan kampung sangat lah berbeda. Jika orang di kota sudah cenderung melek dengan pendidikan dan paham literasi sehingga mampu beribadah dan mendidik anak serta keluarga secara mandiri, kehidupan warga kampung masih sangat bergantung pada Kiai sebagai tokoh masyarakat yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kegiatan keagamaan. Sehingga ada semacam tanggung jawab kultural bagi Kiai kampung supaya ritual keagamaan tetap berjalan supaya ritme religiusitas di kampung tetap terjaga. Termasuk pada unsur pendidikan anak-anak ini.
Sibuknya kegiatan mengaji, Tarawih berjamaah dan tadarus di mushalla mau tidak mau memaksa anak-anak dan remaja untuk ikut meramaikan. Mula-mula mereka ikut karena hanya ingin berramai-ramai dengan teman sebayanya. Hanya guyon, dan bercanda di mushalla. Tidak masalah, karena dengan demikian mereka pelan-pelan akan akrab dengan mushalla. Baru kemudian nanti salah satu diberdayakan untuk sekadar adzan, dan syukur menjadi sarana mereka rajin berjamaah di mushalla.
Saya pernah bertanya kepada salah seorang Kiai, kenapa masjid/mushalla masih memutuskan untuk Jumatan dan Tarawih di tengah situasi Covid-19 ini. Padahal para Kiai juga sudah tahu ada rukhshah (kelonggaran) dalam ibadah di tengah situasi pandemi.
Jawaban yang saya terima kurang lebih begini: ketika meliburkan Jumatan, mengaji atau Tarawih berjamaah, yang terjadi justru warga (terutama anak-anak dan remaja) malah keluar rumah untuk jalan-jalan dan nongkrong di pintu-pintu gang. Sudah begitu, tidak bisa dipastikan mereka Tarawih atau tidak. Salah-salah malah ketika kegiatan di mushalla longgar, realitanya jadi kesempatan mereka untuk nongkrong dan main-main. Sama halnya anak-anak yang bersepeda dan motor-motoran ketika sebenarnya mereka diwajibkan belajar di rumah.
Dalam pandangan Kiai sebagai penanggung jawab berlangsungnya keagamaan di kampung, situasi tersebut bisa-bisa malah lebih banyak madharatnya. Pembatasan aktivitas tidak didapat, syiar dan pendidikan di bulan Ramadhan pun tak dapat diraih. Cukup sulit, kan?