Suatu hari, saat tengah berjalan-jalan Ibrahim bin Adham berpapasan dengan seorang musafir yang bertanya kepadanya. “Apakah engkau seorang budak?,” tanya musafir.
“Benar, aku memang seorang budak,” jawab Ibrahim.
“Bisakah kau tunjukkan padaku perkampungan yang terdekat dari sini?”
“Di sana,” jawab Ibrahim sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah pemakaman umum.
Musafir yang merasa telah dipermainkan oleh Ibrahim, spontan mengayunkan tongkatnya ke kepala Ibrahim hingga berdarah.
Namun alih-alih memberikan perlawanan, Ibrahim justru berkata,“Pukullah, silakan pukul sepuasmu kepala yang penuh dosa ini.”
Si musafir tak menghiraukan apa pun yang dikata dan dilakukan Ibrahim, hingga seorang penduduk yang menyaksikan perbuatannya memberi tahu ihwal siapa sesungguhnya orang yang telah dipukul kepalanya hingga berdarah tersebut. Ia sangat terkejut dan dengan gemetar bergegas menemui Ibrahim kembali.
“Wahai waliyullah, mohon ampunilah kekurangajaranku. Sungguh aku tidak tahu siapa sebenarnya dirimu. Mengapa engkau berkata padaku bahwa dirimu seorang hamba?”
“Kamu tak bertanya aku hamba siapa bukan? Aku memang seorang hamba, yaitu hamba Allah. Selepas memukulku aku mendoakanmu supaya kamu dimasukkan surga-Nya.”
“Mana mungkin?,” si musafir tak bisa menyembunyikan keheranannya.
“Ya, saat kamu memukulku aku bersabar. Bukankah Allah telah berjanji bahwa surga-Nya disediakan untuk orang yang sabar? Bagaimana mungkin aku tidak mendoakanmu agar dimasukkan surga-Nya, sedangkan engkau telah menjadi sarana-Nya untuk membuatku bersabar?”
Subhanallah…