Belajar sains dan teknologi di era mutakhir ini merupakan suatu keniscayaan. Pun dalam Islam, sudah seyogianya umat Islam berbondong-bondong untuk belajar sains. Pasalnya, sains erat sekali kaiatannya dengan kepentingan umat manusia.
Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab berjudul al-Mufasshal, semua ilmu pengetahuan pada dasarnya terpuji dan sangat mulia, termasuk ilmu sains. Yang oleh Imam al Ghazali dikatakan sebagai ilmu duniawiyah.
اَلْعُلُوْمُ الدُّنْيَوِيَّةُ التِيْ يَحْتَاجُهَا الْمُسْلِمُوْنَ اَوْ تَحَقَّقَ لَهُمْ مَصَالِحُ مَشْرُوْعِهِ فَإِنَّ تَعَلُّمَهَا مِنَ الْفُرُوْضِ الْكِفَايَةِ
“Ilmu-ilmu dunia (sains) yang dibutuhkan oleh umat Islam, atau nyata maslahah belajaranya, maka hukum belajarnya adalah fardhu kifayah.”
Terlebih di tengah umat Islam saat ini banyak sekali persoalan yang erat kaitannya dengan sains. Misalnya, daging buatan, bayi tabung, vaksin, dan global warming. Terkadang masyarakat membutuhkan jawaban, terlebih dari segi fikih.
Misalnya, banyak masyarakat muslim yang ingin mempunyai anak, dan ikut program bayi tabung. Lebih jauh lagi, persoalan daging buatan, yang saat ini tengah dikambangkan negara seperti Singapura, dan mengimpor ke Indonesia, banyak sekali masyarakat muslim yang ingin mengetahui hukum mengosumsi daging tersebut.
Pendek kata, masyarakat tak bisa dipisahkan dengan sains dan teknologi. Sudah menjadi semacam komioditas primer bagi umat manusia. Namun, harus diakui tak seberapa masyarakat yang ingin belajar sains. Pasalnya, ada stigma di tengah masyarakat, belajar sains itu tak mendapatkan pahala. Sains dinilai ilmu duniawi. Lebih jauh lagi, sains itu ilmu dari Barat. Mempelajarinya bid’ah. Dibandingkan sains, lebih baik belajar agama; shalat, haji, zakat, puasa, dan ngaji Al-Qur’an.
Untuk menjawab persoalan tersebut, redaksi telah mewawancarai Ustadz Alhafiz Kurniawan M. Hum, dari LBM (Lembaga Bahtsul Masa’il), Dai Muda Betawi. Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Pengasuh rubrik Hukum Islam dan Bahsul Masail Situs Resmi Nahdlatul Ulama terkait respon lembaga fatwa tentang fatwa belajar sains menurut hukum Islam, pada Senin (4/7).
Sejauh mana dorongan dari fikih Islam untuk belajar sains dan agama? Sekaligus bagaimana hukum belajar sains dari fikih?
Hukum sains dari kaca mata fikih ya. Jadi begini, sejauh ini tidak ada dalil shoreh yang melarang dan menganjurkan orang untuk belajar sains ya. Secara spesifik tidak ada dalil ya. Akan tetapi jika kita kembalikan pada kaidah hukum, bahwa selagi tidak ada larangan maka itu menjadi bagian muamalah yang boleh-boleh saja begitu.
Pada sisi lain, ada dalil yang bersifat umum yang menyuruh untuk menuntut ilmu secara umum. Terlebih jika ilmu tersebut mengandung manfaat bagi banyak orang, maka belajar sains itu suatu keharusan. Kendati dalam tersebut tidak secara spesifik menyebutkan menuntut ilmu sains, akan tetapi secara umum yaitu ilmu pengetahuan.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
“Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan.”
Tentu iya pelaku-pelaku sains itu orang yang terbaik. Artinya dengan sendirinya kalau muaranya impac-nya untuk mencarinya untuk memberikan manfaat untuk kemanusiaan melalui sains terus melalui bidang atau lapangan sains, tentu pelaku di dalamnya dan penuntutnya ilmunya itu orang terbaik dan calon orang yang terbaik menurut ukuran hadits Nabi yang mengatakan “orang yang terbaik adalah orang yang memberikan manfaat bagi orang lain. “
خير الناس انفعهم للناس
(sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya)
Ada beberapa sains yang erat kaitannya dengan ibadah, misalnya penentuan 1 Ramadhan dengan melihat hilal, atau arah kiblat, itu bagaimana hukumnya? Atau fardhu kifayah atau a’in.
Kalau kita teliti, Imam Ghazali menempatkan belajar ilmu syariat itu sebagai fardhu a’in ya, terutama ilmu syariat yang berkaitan dengan individu, baik itu shalat 5 waktu dan shalat yang mingguan misalnya shalat Jumat atau pun tahunan seperti zakat firah dan zakat. Itu sifatnya fardhu ain.
Adapun di luar ini, maka sifatnya adalah fardhu kifayah. Di luar pengetahuan tentang syariat itu sifatnya fardhu kifayah. Artinya tetap harus ada sekelompok orang yang dari unsur masyarakat itu sendiri yang menekuni bidang tersebut.
Nah kalau kaitannya tadi yang disebut secara spesifik ya terkait rukyat dan hilal. Di NU sendiri, itu tetap mengikuti perkembangan sains ya misalnya dengan membagi 3 kategori rukyat. Yaitu rukyat bil fi’li; rukyat dengan kasat mata. Sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga Falakiyah atau orang-orang yang pegiat falak dalam mengamati benda-benda langit.
Tetapi ada selanjutnya temuan sains atau modern ada rukyat bih tahqiq, yang dalam hal ini mengadopsi atau menggunakan alat bantu untuk melihat hilal, membantu kemampuan mata secara natural. Hal ini dalam melihat aktivitas benda-benda langit, yang dalam hal ini bulan.
Yang terakhir itu sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU di Lampung, yaitu tahqiq ba’da tahqiq. Ada tiga itu, yang ketiga yaitu menggunakan alat -alat juga tetapi juga memastikan dengan posisi bulan, matahari dan bumi dengan sekian jarak antara 3 benda (bumi, matahari dan bulan) itu tidak mungkin bagi orang untuk melihat bulan.
Tidak mungkin melihat bulan itu dikarenakan adanya pantulan yang keras dari matahari sehingga bulan itu hampir dipastikan tidak akan kelihatan, sehingga itu ketutup sama pantulan matahari. Kira-kira begitu. Itu yang disebut, dengan tahqiq ba’da tahqiq atau rukyat bi tafsir (saya agak lupa).
Itu diputuskan di Muktamar NU di Lampung –artinya dengan mengukur 3 benda ini, ukuran tertentu , itu hampir bisa dipastikan bulan itu terpantul keras oleh cahaya matahari sehingga nggak perlu rukyat. Itu bagian dari cara Islam mengafirmasi rekomendasi dunia sains itu sendiri.
Ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa belajar agama (shalat, zakat, puasa) mendapatkan pahala, sedangkan belajar sains itu tidak ada pahala, bahkan ada yang menyebutnya sebagai bid’ah. Bagaimana tanggapan Anda?
Gini ya. Seperti saya jelaskan tadi asas kebermanfaatannya, diukur dari dampak maslahah dan mafsadah yang ditimbulkan dari belajar tadi. Itu saya kira penting ya. Nah itu akan ada kita dapatkan mana aktivitas yang mengandung nilai pahala atau tidak.
Tapi yang jelas kalau kita katakanlah buka lembaran ushul fikih, maka kita akan ketemu dengan lembaran hukum taklifi dan wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum yang berasal dari langit, seperti ada wajib, haram, makruh, mubah, dan sunnah.
Itu kurang lebih ya penjelasannya. Sementara itu ada lagi hukum wadh’i ini sangat yang berkaitan erat dengan kondisi obyektif/ lapangan, yang mendukung pelaksanaan hukum taklifi tersebut. Artinya, di dalam ibadah shalat ada perintah dari Allah untuk shalat, puasa, zakat dll.
Tetapi harus ada hukum wadh’i yang juga harus kita pertimbangkan yang itu tidak ada di dalam kitab suci maupun hadits-hadits Nabi. Misalnya, kita ketemu syarat salat harus berpakaian, harus suci dari najis, itu tidak tersebut begitu. Sehingga dalam hal ini kita mengenal kaidah fikih;
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
“sesuatu yang wajib tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu wajb hukumnya”
Artinya pengetahuan tentang pelengkap pendukung terhadap aktivitas yang wajib, maka penyempurna itu juga hukumnya wajib. Anak tangga menuju kewajiban itu juga disebut dengan kewajiban. Karena tanpa anak tangga menuju kewajiban itu tidak akan terlaksana sebuah kewajiban.
Pendek kata, tanpa ada sains, tanpa ada teknologi, orang akan mengalami kerepotan. Misalnya, di tengah orang yang begitu banyak aktivitas haji, tanpa adanya teknologi yang paling sederhana sekali orang akan kerepotan sekali, misalnya kalau mereka mau mengambil wudhu, harus ke bawah ke sumur , begitu juga dengan mandi haji dan mandi Ihram akan kesulitan, jika tanpa teknologi. Itu sulit terlaksana, tanpa ada teknologi yang sederhana sekalipun.
Misalnya menurunkan tali untuk mengambil air ke sumur. Kemudian ujung tali dibuat ember atau kran untuk mengalirkan. Jadi dengan itu sudah membantu umat manusia, termasuk yang sedang melaksanakan haji. Itu dalam membayangkan sains dan teknologi yang sangat sederhana sekali ya. Tanpa itu kita akan menjadi sulit ya. Apalagi misalnya sekarang ini kita sudah dimudahkan oleh teknologi yang makin canggih dan mutakhir.
Dengan melihat fenomena ini jadi pertanyaan juga pada kita, di mana akal sehat orang yang mengaku diri mubalig atau penceramah agama yang mengharamkan ilmu sains. Akal sehat akan sulit menerima pandangan yang menganggap sains itu haram dan terlarang.
Apakah dari Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU sendiri sudah ada fatwa resmi tentang hukum belajar sains?
Dalam bentuk fatwa ya? Kalau di LBM yang dibahas fenomena-fenomena yang berkaitan dengan perkembangan sains terkini itu saja sih. Dia bukan membahas terkait pendidikan sains atau hukum belajar sains secara umum. Tetapi merespons fenomena sosial yang berkaitan dengan sains, apakah itu pendidikan atau dunia seni, misalnya hukum belajar fotografi, mendengarkan suara radio, itu kan bagian dari sains.
Nah itu yang banyak dibahas. Atau juga yang dibahas hukum transplantasi organ-organ vital seperti jantung, ginjal, dan hati. Bagaimana hukum transplantasi organ babi ke manusia. Itu yang dibahas. Itu semua erat kaitannya dengan sains. Lebih kepada fenomena-fenomena saintis yang terbesar di pelbagai lapangan yang dibutuhkan masyarakat. Pun dalam dunia kecantikan dan pendidikan yang erat dengan sains sudah banyak pembahasan. Terlebih juga dengan bagian kesehatan.
Ada sebagian orang sains dan agama sesuatu yang tidak bisa dipertemukan. Sains metodologinya ilmiah. Sedangkan agama itu iman kepercayaan pada Ilahi. Seolah dua kutub yang tak bisa bertemu. Apakah sains dan agama tidak bisa terintegrasi?
Ya ini masuk dalam mata kuliah saya di UI Depok. Termasuk relasi Islam dan sains, di samping relasi Islam dan Perempuan, Relasi Islam dan Demokrasi. Dari beberapa kepercayaan yang ada di Islam, maupun di agama lain. Saya kira itu semua ada yang sifat ibadahnya ta’abbudi (yang tidak perlu dicari hikmahnya dan pembenarannya, tidak perlu dicari maknanya). Penjelasan terkait ibadah yang sifatnya ta’abbudi ini terdapat penjelasan panjang lebar dalam kitab al-Bujairimi ala Khatib karya Sulaiman al-Bujairimi.
Dalam kitab ini akan menjelaskan ibadah ta’abbudi terdapat banyak sekali dalam masalah manasik haji, misalnya; Tawaf 7 kali putaran. 7 kali bolak-balik Sai, atau seterusnya. Ya meskipun secara sosial bisa saja kita cari hikmahnya, misalnya Ali Syariati dalam buku Haji itukan dahsyat sekali menggali makna haji itu.
Tetapi sekali lagi, tidak ada jaminan bahwa tafsir itu sebagai tafsir tunggal yang benar mutlak 100 persen, itu yang dipakai ijtihadi ya. Sebagus-bagusnya Ali Syariati, itu bukan kebenaran mutlak yang bisa diterima sebagai kebenaran satu-satunya.
Nah adapun kebenaran saintis, dia punya ukuran-ukuran tersendiri, sehingga bersifat proporsional, bersikap tasamuh, tawasut atau moderat, memandang satu sama lain begitu. Artinya kita tak bisa memandang semua ajaran agama, baik itu Islam, atau agama lain itu dari kacamata sains sehingga perlu disainstifikasi atau perlu ditafsirkan secara saintis, dan harus masuk akal secara saintis. Itu tidak perlu bagi saya, jangan memaksakan diri juga. Ada memang bagian-bagian yang tidak bisa dinalar oleh sains, seperti yang ta’abbudi itu tadi.
Sebaliknya juga begitu, kalangan agamawan atau yang semangat dalam beragama mengukur segala aspek itu dari sudut pandang agama. Saya kira tidak bijak dan tidak elok, dan tidak moderat. Tidak elok menilai semua aspek saintis secara Islam—segala sesuatu harus di islamisasi—.
Misalnya membahas air, kenapa misalnya air itu mengandung ion-ion positif, ketika dibacakan kalimat tayyibah. Sebagai satu riset boleh-boleh saja, tetapi tidak perlu semua itu di Islamisasi atau ditinjau dari sisi agama.
Ini semua sudah clear, kalau kita buka pandangan Imam Al Ghazali dalam kitab Al Mustasyfa, Maqasih Falasifah,soal membagi ragam ilmu; ilmu ilahiyat (yang mengandung kebenaran teologis, yang punya sumber dan ukurannya tersendiri). Ada juga tayyibat, yang berkaitan dengan hukum-hukum alam yang mana itu juga punya logika sendiri.
Berikutnya juga ada ilmu mantiqiyat, hukum atau kaedah logika, yang masuk di situ ilmu logika formal dan matematika, ataupun masuk di dalamnya arsitektur yang ptresisi matematisnya jelas terkait bentuk, jenis bentuk, dan ragam bentuk. Artinya satu sama lain tidak perlu dipertentangkan. Satu dengan yang lain, harus sama-sama moderat. Yang dibutuhkan sikap moderatisme itu di masing-masing kalangan.
Agamawan yang berkutat banyak dalam lingkup ilahiyat (teologis), atau kalangan filsuf dalam logika, dan matematik atau pun mantiq. Begitu juga kalangan yang berkutat dalam ilmuwan yang berkaitan dengan saintis. Itu semuanya punya kaedah-kaedah tersendiri. Dan punya epistemologinya tersendiri. Yang satu sama lain, perlu memandang bidang lain secara bijak dan arif.
Tadi Anda jelaskan masalah moderat dalam memandang masalah satu dengan yang lain, apakah masuk dalam hal ini lembaga fatwa. Pasalnya, banyak sekali masalah yang erat kaitannya dengan masalah saintis, misalnya bayi tabung, daging buatan dan sebagainya. Apakah lembaga fatwa juga harus membuka diri dalam wacana sains ini?
Saya kira ada satu istilah yang penting yaitu “qiyas”. Analogi atau Qiyas itu suatu yang penting, yang banyak memberikan kontribusi pada pengetahuan manusia. Misalnya bagaimana orang mengukur kedalaman laut melalui resonansi suara. Atau jarak antara benda-benda langit, itukan diukur dengan kecepatan cahaya.
Qiyas atau analogi itu dalam agama juga dipakai misalnya untuk memutuskan hal-hal baru yang tidak ada dalam agama. Kembalikan ke hukum asalnya. Yang belajar ushul fiqih pasti akan memahami hal ini ya.
Nah untuk dalam syarat atau rukun qiyas, harus memahami furu’ yang sedang dia hadapi –kasuistik yang dia hadapi dia sudah memahami persoalan itu. Dan untuk mendapatkan gambaran utuh terkait masalah atau fenomena yang sedang dia hadapi, dia tidak bisa atau cukup mengandalkan pengetahuan sendiri, tetapi harus menghadirkan pakar yang diperlukan di bidangnya. Sehingga ushul fiqih menyebutnya dengan tahqiqul malak (untuk verifikasi) gunanya untuk terkonfirmasi atau tidak dalam persoalan furu’ tersebut.
Nah dari dulu memang lembaga fatwa yang kredibel itu, membuka diri dalam rangka kerja-kerja ijtihad untuk memverifikasi masalah kasuistik yang furuiyah atau partikular untuk ditarik kepada hukum yang asli dan universal.
Itu dibutuhkan keterbukaan terhadap yang lebih mendalami, makanya mengundang pakar, segala macam stakeholder terkait masalah yang sedang dihadapi. Sehingga kaedah yang mengatakan menghukumi sesuatu itu hanya bagian kecil dari pada memahami deskripsi atas persoalan yang furu’ tersebut.
Artinya memutuskan ini halal, sah, tidak sah, haram, itu hanya bagian kecil dari pemahaman atas masalah yang sedang dihadapi. Yang lebih dominan, lembaga fatwa itu diharapkan dia memenuhi kaedah dalam memahami fatwa itu. Ada macam-macamnya, misalnya rukun mufti, syarat mufti, dan banyak sekali di ushul fiqih. Yang penting dalam hal ini kemampuan dia memahami masalah partikular dari yang dihadapi masalah tersebut.