Pemain asal Asia di kancah liga top Eropa datang dan pergi. Semuanya memiliki ceritanya masing-masing. Tahun-tahun terakhir nama Son Heung-Min cukup mencuat dari pemain lainnya. Selain didapuk sebagai pemain terbaik asia beberapa tahun terakhir, Son memang menjadi bintang yang mampu menjadi tandem sekaligus pelapis yang mumpuni saat Harry Kane absen di skuad Totenham.
Fans Totenham di berbagai belahan dunia, terutama Asia, menjadi merasa ada ikatan pada klub yang kuat. Alasannya, kehadiran Son dianggap sebagai representasi kehadiran Asia di gelanggang sepakbola Eropa, pusat peradaban bola di dunia. Perekrutan pemain Asia, seperi Son, oleh tim Eropa sering dikaitkan dengan beberapa motif, walau kebanyakan kita bisa melihat sisi ekonomi lebih dominan.
Masih segar dalam ingatan kita, saat perekrutan Hidetoshi Nakata yang digadang-gadang sebagai titisan dari Kapten Tsubasa, tokoh kartun di Jepang. Jersey Perugia dan AS Roma meledak penjualannya di Jepang. Sejarah yang hampir sama juga terjadi pada pemain Korea Selatan lainnya, Park Ji-Sung, yang menyulut pembelian besar di Korea Selatan.
Kondisi perekrutan pemain asal asia oleh klub Eropa mungkin tidak bisa dilihat sebagai fenomena asianisasi, tapi hal ini bisa dipandang sebagai dinamika betapa globalnya dunia sepakbola. Jauh sebelum booming-nya K-Pop Wave di dunia, Sepakbola telah melihat asia sebagai pasar potensial untuk mengekspansi pasar atau industri.
Jumlah penduduk dunia asal Asia yang besar dianggap akan mendatangkan uang yang besar ketimbang hanya mengandalkan fans asal benua Eropa saja. Tidak lama lalu, saat tahun baru Imlek beberapa klub, mayoritas asal Italia, mengubah nama punggung pemain mereka memakai aksara Hanzi. Tentu hal ini bukan hanya terkait soal penghormatan belaka, tapi bersisian dengan soal ekonomi jua.
Entah terkait atau tidak dengan fenomena gemerincing keping uang yang menggiurkan klub Eropa, Asia dengan segala kebudayaannya juga sekarang sedang mewabah di dunia. Indonesia yang kita tempati ini juga tidak ketinggalan dalam merespon fenomena ini dengan peran dan posisi tersendiri.
Saya memang bukan orang yang jatuh hati pada budaya K-pop, namun wabah ketertarikan terhadapnya menjangkiti tidak sedikit dari teman hingga keluarga. Ariel Heryanto menyebutkan masyarakat Indonesia menemukan keasyikan dari kegiatan menjelajahi dan mengungkapkan identitas baru, yaitu sebagai orang asia yang modern dan kosmopolitan.
Ariel juga turut menegaskan fenomena ini memiliki banyak irisan, diantaranya tendensi dari sebagian kelas menengah dalam mengejar tren global dalam budaya konsumen, berkurang secara mencolok ketegangan terhadap minoritas Tionghoa, dan kebangkitan Islamisasi. Tiga hal ini menjadi irisan yang paling jernih dalam gelaja Gelombang Korea atau Korean Wave di Indonesia.
Disebutkan bahwa faksi konsumen paling besar terhadap budaya Korea adalah perempuan, yang bisa dibagi dua kelompok, yaitu perempuan pekerja dan kelompok cewe yang lebih muda. Ciri serupa dari dua kelompok tersebut adalah berasal dari anggota kelas menengah, berpendidikan atau masih menempuh perguruan tinggi, daya beli menengah untuk hiburan, dan kiblat transnasional dalam konsumsi dan gaya hidup. Diasumsikan juga mereka terpapar budaya Korea sejak bangku kuliah, walau yang saya dapati di Banjarmasin malah sejak bangku sekolah.
Perbedaan dari dua kelompok tersebut adalah respon terhadap budaya Korea tersebut, di mana kelompok perempuan pekerja memiliki respon minimun karena kesibukan dan kesulitan mereka dalam mencari waktu, untuk tetap berhubungan dengan teman-teman mereka dan memuaskan hasrat mengikuti serial televisi terbaru atau berita tentang bintang televisi pujaan mereka.
Sedangkan, kelompok perempuan yang lebih muda justru berkelebihan waktu dan tenaga serta jaringan penggemar lokal yang luas untuk membentuk kelompok di kota mereka atau jaringan maya lintas-negara yang menjadi tempat mereka berbagi catatan, klip suara dan video.
Jelas sekali gelombang ini bukan hal yang receh atau kaleng-kaleng, terutama di Indonesia. Sebagaimana disebutkan di atas, irisan di fenomena Korea ini diantaranya adalah asianisasi. Saya setuju dengan pendapat Ariel yang melihat asianisasi ini sebagai sebuah proses yang melibatkan perubahan dan pengolahan ulang, apa yang sebelumnya dianggap secara stereotipe ciri budaya Barat.
Penggemar budaya Korea adalah contoh kelompok masyarakat yang mendominasi ruang publik sedang mengalihkan keterpesonaan mereka ke arah baru yaitu Asia. Untuk pertama kalinya, Barat tidak lagi menjadi satu-satunya pusat kiblat konsumsi budaya populer di Indonesia. Akhirnya fenomena ini juga mengakhiri dikotomi “Timur versus Barat” sebagai diskursus, kerangka pikir dan kiasan yang dijual di masyarakat, yang memiliki turunan narasi yaitu “Islam versus Barat”.
Fenomena model dakwah yang mengambil tema “Dehallyunisasi” yang baru-baru ini sedang ramai di kalangan anak muda muslim, baik di media sosial dan perjumpaan di hotel atau gedung pertemuan, telah menjadi anomali kesimpulan dikotomisasi di atas. Narasi Islam sebagai anti-Barat atau “bukan dari kelompok kita” terus diwartakan dengan model baru yang akrab dengan generasi milenial.
Dakwah ini memang lebih menekan para perempuan muda muslim yang diasumsikan sebagai kelompok paling terpapar, untuk kembali pada Islam yang tidak lagi mengidolakan atau “memuja” para Oppa, sebutan untuk bintang K-pop, karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Dakwah ini diawaki oleh tiga konten kreator muda yang cukup terkenal yaitu @fuadnaim, @hawariyyun dan @shifruun, telah mengadakan beberapa kota besar di Indonesia dan direspon antusias oleh kalangan anak muda muslim. Narasi dakwah yang diusung gerakan ini inheren pada dekonstruksi pemujaan terhadap Oppa, dengan memunculkan berbagai wacana negatif dari tradisi Hallyu, budaya pop Korea.
Beberapa contoh acapkali ditampilkan pada anak muda muslim seperti pelukan Oppa pada beberapa muslimah, atau pernyataan pemujaan berlebih pada Oppa hingga terguncangnya rahim. Dua fakta ini terus diglorifikasi sebagai bukti ketidaksamaan antara Islam dengan Korea, karena telah merusak generasi Islam yang seharusnya dekat dengan ajaran Islam.
Resepsi terhadap gelombang Korea yang sedang mewabah di Indonesia memang bukan sesuatu yang statis dan kaku, dakwah “dehallyunisasi” adalah contoh paling tepat, di mana mereka mengklaim menolak budaya K-pop, tapi di sisi lain pendakwahnya masih memakai beberapa atribut, tanda hingga fashion yang lekat dengan budaya K-pop.
Telah terjadi negosiasi antara budaya Asia, Islam, ekonomi, trauma pada Tionghoa hingga politik Post-Islamisme dalam gelembung K-pop di Indonesia. Jadi kita bisa melihat fenomena Asianisasi di masa sekarang tidak kalah kompleksitasnya dibanding dinamika transfer bintang asal Benua kuning di atas. Yang jelas, patut kita tunggu dinamika Islamisme yang turut andil membuka respon dan negosiasi baru atas budaya Korea tersebut.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin