Beberapa tahun terakhir saya bersama rekan-rekan di Alvara Research Center mengamati dan melakukan kajian serius tentang apa yang kami sebut sebagai Islam Kota. Pengamatan yang kami lakukan bermula dari kegelisahan terhadap perubahan wajah islam yang beberapa tahun terakhir mulai mengeras dan mulai kehilangan jati diri ke-Indonesian-nya.
Kami mulai membuka data-data sekunder terkait pola pergeseran demografi dan geografi penduduk Indonesia, dan kami menemukan data yang menarik bahwa sejak tahun 2011 penduduk Indonesia yang tinggal di kota lebih banyak dibanding yang tinggal di desa.
Kenapa informasi penting? Perbedaan antara kota dan desa bukan sekedar perbedaan geografis saja tapi lebih jauh dari itu adalah perbedaan karakter, pola pikir, mental, gaya hidup, dan lain-lain. Orang kota cenderug invidualis, sementara orang desa komunalis. Orang kota cenderung berpandangan terbuka, sementara orang desa tertutup. Orang kota cenderung menempatkan materi diatas segalanya, sementara orang desa tidak, dan masih banyak perbedaan-perbedaan yang lain.
Berbekal data BPS kami mulai menghitung dan memprediksi tahun 2020, dengan asumsi 56.7% penduduk Indonesia berada di kota, jumlah umat islam yang tinggal di kota hampir 137 juta jiwa, sementara yang tinggal di desa 104 juta jiwa. Trend ini akan terus berlanjut, penduduk yang tinggal di kota – termasuk umat islam – akan semakin membesar.
Gb1. Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia 2020 Berdasarkan Agama
Sumber: BPS diolah oleh Alvara Research Center
Kembali ke soal karakter masyarakat kota tadi maka kita bisa lihat corak keberagaman muslim kota yang cocok dengan karakter tersebut laku keras dikalangan muslim kota. Sebagai contoh ritual-ritual yang bersifat individual lebih laku dibandingkan dengan ritual-ritual keagamaan yang “rame”, ritual-ritual yang “boros biaya” banyak dihindari. Masyarakat kota juga biasanya lebih suka sesuatu yang simbolik, karena itu simbol-simbol agama yang menunjukkan kesalehan banyak kita lihat di muslim kota.
Simbol-simbol agama itu berkorelasi dengan konsumerisme dikalangan muslim kota, kesadaran terhadap produk halal meningkat meskipun juga sering kebablasan, gerai dan toko pakaian muslim dan hijab merebak bak cendawan di musim hujan. Acara-acara TV juga dibanjiri berbagai hal yang berbau “islami”
Lalu apakah ritual keagamaan yang “rame” akan punah di perkotaan?
Berkaca pada hasil survei Alvara Research Center tahun 2015 ritual-ritual keagamaan yang “rame” seperti tahlilan dan maulid masih banyak dilakukan lakukan oleh muslim kota, lebih dari 80% muslim kota masih melakan ritual tahlilan dan maulid, dan 67% masil melakukan ziarah ke makam ulama.
Ciri masyarakat kota yang berpikiran terbuka dan rasional menyebabkan kompoisisi persentase ritual yang individual dan “rame” akan sangat dinamis. Pertarungan ide dan gagasan seputar keabsahan masing-masing ibadah ini akan terus terjadi. Adanya internet dan social media menjadikan diskursus seputar hal ini semakin kuat dan masif. Social media dan internet adalah panggung terbuka, siapa yang menguasai social media dan internet akan menguasai publik kota.
Kehadiran social media juga menjadikan sebagian umat Islam kota menjadi galak, mereka seakan menemukan ruang tanpa batas untuk menghakimi dan menyesatkan umat Islam yang lain, wajah Islam kota menjadi beringas dan penuh angkara murka. Untuk itu kita perlu menghadirkan kembali islam yang ramah dan santun, kita perlu menghadirkan “Gus Mus – Gus Mus” lain sebanyak-banyaknya di social media dan internet agar wajah islam kota kembali ke jati diri ke-Indonesia-an kita.
Wajah Islam Indonesia kedepan akan sangat ditentukan bagaimana orang kota memahami dan menghayati apa itu Islam. []
*Tulisan ini juga dimuat di blog pribadi penulis