Wahabisme dan Abduhisme mendakwahkan ide yang sama, yaitu penolakan keduanya terhadap praktek takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC) yang berkembang di masyarakat Islam. Keduanya tak terlalu menyukai kuburan, tarekat, dan hal-hal tabarruk lain. Dua-duanya juga tak menyukai tasawuf dan tarekat.
Beda antar keduanya adalah; sekiranya wahabisme berbasis pada tekstualisme, maka Abduhisme bertumpu pada Rasionalisme. Karena bersandar pada tekstualisme, maka pengikut Muhammad ibn Abdil Wahab itu cenderung kaku dan rigid. Mereka ingin membawa Islam ke belakang, dalam suasana zaman abad ke 7.
Karena bertumpu pada rasionalisme, maka pengikut Muhamad Abduh lebih luwes dan dinamis. Beda dengan wahabisme, abduhisme ingin membawa Islam dalam konteks kemodernan. Islam hendak dihadirkan dalam tampilan abad ke dua puluh satu bukan abad ke tujuh.
Dalam konteks keindonesiaan, abduhisme itu tumbuh subur di Muhammadiyah. Di lingkungan Muhammadiyah, karya-karya Abduh lebih populer ketimbang karya Ibn Abdil Wahab. Bahkan generasi awal Muhammadiyah dikisahkan suka membaca majalah pembaharuan Islam Mesir, al-urwah al-utsqa.
Karena itu, tak sepenuhnya benar jika ada pengamat yang mengidentikkan orang-orang Muhamadiyah dengan orang-orang Wahabi. Cara berfikir orang-orang Muhammadiyah banyak dipengaruhi cara berfikir Muhammad Abduh. Sementara orang-orang wahabi jelas followers Muhammad ibn Abdil Wahab.
Alangkah jauhnya jurang perbedaan antara Wahabisme dan Abduhisme Muhammadiyah.