Pembunuhan Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas, menjadi episode terbaru dari konflik yang panjang dan tak kunjung reda antara Israel dan organisasi Palestina tersebut. Meski peristiwa ini mencuri perhatian dan menambah daftar panjang kematian pemimpin Hamas, dampaknya terhadap keberlanjutan dan ideologi Hamas tampaknya tidak akan signifikan.
Hal ini diungkap oleh Jonathan Gornall dalam salah satu tulisannya yang berjudul What kind of future awaits Hamas after the killing of Ismail Haniyeh in Tehran? yang dimuat di Arabnews (7/8).
Menurut Gornall, serangkaian pembunuhan terhadap pemimpin Hamas beberapa kali dilakukan, searah dengan itu banyak juga yang jadi target dan tewas. Salah Shehadeh dihancurkan oleh bom F-16 di Gaza, Ahmed Yassin dihabisi dengan misil dari helikopter saat pulang dari shalat subuh. Namun, seperti hydra dalam mitologi, setiap kepala yang terpotong akan digantikan dengan yang baru. Hamas tetap berdiri, mengakar pada gagasan yang mereka perjuangkan.
Namun demikian, efek dari aksi-aksi tersebut sering kali tidak berdampak besar pada kemampuan organisasi itu untuk terus beroperasi. Ini karena Hamas bukan sekadar sekumpulan individu; ia adalah sebuah ideologi yang lebih besar, menyusuri jalan panjang perjuangan politik dan militer yang mendalam. Oleh karena itu, keberadaan Hamas tidak akan bergantung pada satu individu saja.
Ahron Bregman, mantan perwira militer Israel dan akademisi di King’s College London menyebut, jika ingin mengalahkan Hamas, Israel harus memberikan gagasan yang lebih baik, yaitu negara Palestina yang merdeka.
“Jika Israel ingin mengalahkannya, mereka harus menawarkan gagasan yang lebih baik, seperti sebuah negara Palestina. Tanpa itu, Hamas akan terus ada dan bangkit untuk pertempuran berikutnya,” ujar Bregman dikutip dari artikel Gornall.
Menurut Gornall, penggantian Haniyeh oleh Yaya Sinwar sebagai pemimpin menunjukkan kapasitas organisasi ini untuk beradaptasi dan berevolusi. Meskipun kehilangan pemimpin adalah sebuah kemunduran, Hamas terbukti mampu mempertahankan kesinambungan dan agenda politiknya. Ini menegaskan bahwa perjuangan Hamas tidak hanya terpusat pada satu figur, melainkan pada sebuah jaringan ideologi dan strategi yang lebih luas.
Di sisi lain, pembunuhan ini berpotensi memicu ketegangan yang lebih besar di wilayah tersebut. Konflik yang mungkin melibatkan kekuatan regional seperti Iran dan Hezbollah dapat meningkat, memperburuk situasi yang sudah tegang. Israel, dengan strategi pembunuhan yang sudah lama diterapkannya, lebih sering meraih kemenangan taktis ketimbang solusi strategis yang menyeluruh. Pembunuhan seorang pemimpin mungkin tampak sebagai kemenangan jangka pendek, tetapi dalam konteks yang lebih luas, hal ini sering kali tidak mengubah peta kekuatan secara signifikan.
Untuk mengatasi eksistensi Hamas secara efektif, diperlukan solusi politik yang lebih mendalam daripada sekadar menghapus satu demi satu pemimpinnya. Masa depan Hamas akan menjadi arena pertempuran ideologi dan politik yang berlanjut, dengan perjuangan untuk tetap relevan baik secara politik maupun militer. Sejarah menunjukkan bahwa hanya dengan pendekatan yang lebih holistik dan dialog yang lebih konstruktif, jalan menuju perdamaian yang berkelanjutan bisa lebih dekat dijangkau.
(AN)