Wacana Libur Ramadan bagi Sekolah, Ideal Tidak bagi Indonesia?

Wacana Libur Ramadan bagi Sekolah, Ideal Tidak bagi Indonesia?

Wacana Libur Ramadan bagi Sekolah, Ideal Tidak bagi Indonesia?
(ilustrasi: Potret siswa sekolah)

Wacana libur Ramadan bagi sekolah kembali mencuat di tengah masyarakat Indonesia. Pemerintah saat ini tengah mempertimbangkan apakah kebijakan ini layak diterapkan kembali sebagai langkah adaptif dalam sistem pendidikan nasional.

Sebenarnya, gagasan ini bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1999, kebijakan libur Ramadan pernah diterapkan sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap bulan suci bagi umat Muslim.

Kebijakan tersebut berbeda dengan pendekatan yang diambil pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, di mana melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, libur Ramadan dikurangi menjadi hanya beberapa hari di awal dan akhir bulan untuk menjaga keberlangsungan proses belajar mengajar secara efektif.

Kini, dengan mencuatnya wacana penghidupan kembali kebijakan ini, ada sejumlah hal penting yang perlu dipertimbangkan secara mendalam. Kebijakan tersebut harus dirancang tidak hanya sebagai bentuk simbolis, tetapi juga sebagai upaya yang memberikan manfaat nyata dan berkelanjutan bagi seluruh peserta didik di Indonesia, tanpa terkecuali.

Nasib Murid Non-Muslim: Keberagaman yang Harus Dijaga dalam Kebijakan Pendidikan

Indonesia adalah negara yang dibangun di atas fondasi keberagaman agama, budaya, dan tradisi.

Keberagaman ini menuntut seluruh kebijakan publik, termasuk di bidang pendidikan, untuk dirancang secara inklusif, adil, dan responsif terhadap semua kelompok masyarakat, baik mayoritas maupun minoritas.

Dalam hal pendidikan, keberagaman ini seharusnya menjadi salah satu pertimbangan utama pemerintah untuk merancang kebijakan yang tidak hanya responsif terhadap kebutuhan mayoritas, tetapi juga menghormati hak-hak kelompok minoritas.

Ketika wacana penerapan libur Ramadan untuk sekolah mencuat, sebuah pertanyaan mendasar muncul: bagaimana kebijakan ini akan memengaruhi siswa non-Muslim?

Apakah siswa dengan latar belakang agama yang berbeda tetap merasa diakui dan dihargai, atau justru merasa terpinggirkan?

Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, kebijakan berbasis agama seperti libur Ramadan memiliki potensi untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan jika dirancang dengan inklusivitas. Sebaliknya, jika tidak dirancang dengan baik, kebijakan semacam ini dapat menjadi sumber ketegangan sosial yang justru merusak harmoni keberagaman yang telah dibangun.

Meminjam paparan Amartya Sen dalam Identity and Violence: The Illusion of Destiny (2006), Sen menjelaskan bagaimana identitas tunggal dapat memicu konflik dan kekerasan, terutama ketika sebuah kelompok merasa bahwa identitas mereka diabaikan atau direduksi.

Sen menekankan pentingnya pengakuan terhadap pluralitas identitas individu sebagai salah satu cara mendorong harmoni sosial dan menghindari konflik.

Dalam kerangka kebijakan pendidikan di Indonesia, prinsip ini cukup relevan diperhatikan. Gagasan tentang pengakuan terhadap keberagaman identitas dapat diterapkan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang menghormati keragaman agama, budaya, dan tradisi siswa.

Dalam pendidikan, pengakuan terhadap keberagaman ini tidak hanya menjadi bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia, tetapi juga alat untuk memperkuat solidaritas lintas identitas.

Pendidikan inklusif seharusnya menjadi kendaraan untuk mempersatukan berbagai identitas yang ada di dalam masyarakat, tanpa mengurangi hak kelompok tertentu.

Misalnya, salah satu solusi konkret yang dapat diambil oleh pemerintah adalah menyediakan program alternatif atau pengayaan akademik bagi siswa non-Muslim selama masa libur Ramadan.

Program semacam ini dapat berupa kelas tambahan, pelatihan keterampilan, atau proyek lintas budaya yang memungkinkan siswa dari berbagai latar belakang agama untuk tetap terlibat dalam proses pembelajaran.

Selain itu, program-program ini juga dapat dirancang untuk mendorong interaksi lintas agama dan budaya. Misalnya, siswa non-Muslim dapat diajak untuk mengikuti program lintas budaya yang memperkenalkan mereka pada tradisi Ramadan, seperti berbagi makanan buka puasa dengan teman-teman Muslim atau mengikuti diskusi interaktif tentang nilai-nilai universal dalam agama-agama berbeda.

Program seperti ini tidak hanya akan menjaga keterlibatan siswa non-Muslim selama masa libur, tetapi juga dapat memperkuat pemahaman lintas budaya yang sangat penting dalam masyarakat plural.

Dengan demikian, kebijakan libur Ramadan tidak hanya dapat dimaknai sebagai penghormatan terhadap tradisi agama mayoritas, tetapi juga sebagai peluang untuk memperkuat nilai-nilai pluralisme dan kebersamaan dalam pendidikan. Melalui pendekatan ini, libur Ramadan dapat menjadi lebih dari sekadar jeda waktu, melainkan sebuah kesempatan untuk memperkuat fondasi kebangsaan yang berdasarkan pada penghormatan terhadap keberagaman dan kesetaraan.

Belajar dari Tradisi Pesantren: Libur Ramadan sebagai Momentum Produktivitas

Dalam tradisi pesantren, libur Ramadan memiliki makna yang jauh berbeda dibandingkan dengan pengertian “libur” di sekolah umum. Alih-alih digunakan sebagai waktu istirahat dari kegiatan belajar mengajar, Ramadan di pesantren justru menjadi momen untuk meningkatkan intensitas pembelajaran agama. Waktu ini dimanfaatkan secara maksimal untuk mendalami berbagai aspek keilmuan keagamaan, terutama melalui pengajian kitab kuning. Intensitas pengajian kitab kuning meningkat signifikan, dari biasanya 2-3 kali sehari pada hari-hari biasa menjadi 5-6 kali sehari selama Ramadan.

Momentum Ramadan di pesantren juga sering digunakan untuk mengadakan program khusus, seperti ngaji pasaran, yaitu pengajian intensif yang biasanya membahas kitab-kitab tertentu secara lebih mendalam dan komprehensif.

Dalam ngaji pasaran, kitab yang biasanya dipelajari secara bertahap dalam waktu lama dapat diselesaikan dalam hitungan hari atau pekan. Kegiatan ini bukan hanya meningkatkan pemahaman santri terhadap materi yang diajarkan, tetapi juga melatih mereka untuk disiplin dan fokus selama proses pembelajaran.

Tradisi ini menunjukkan bahwa libur Ramadan tidak harus diartikan sebagai penghentian aktivitas belajar.

Sebaliknya, waktu libur justru dapat menjadi peluang untuk fokus pada dimensi lain dari pendidikan yang sering kali kurang mendapatkan perhatian dalam kegiatan sehari-hari, seperti pendidikan spiritual dan pengembangan karakter. Tradisi pesantren ini bisa menjadi inspirasi bagi pemerintah dan sekolah umum untuk merancang kebijakan atau program yang memanfaatkan libur Ramadan secara produktif.

Misalnya, sekolah-sekolah umum dapat mengadopsi konsep pengayaan agama selama Ramadan untuk siswa Muslim, seperti kajian Alquran atau diskusi nilai-nilai etika. Sementara itu, siswa non-Muslim dapat mengikuti program alternatif yang relevan dengan tradisi atau kebutuhan mereka, seperti pengembangan keterampilan, pengayaan budaya, atau pengabdian masyarakat. Dengan cara ini, libur Ramadan dapat menjadi waktu yang bermanfaat bagi semua siswa tanpa memandang latar belakang agama mereka.

Lebih jauh lagi, tradisi pesantren juga mengajarkan bahwa pendidikan tidak hanya terbatas pada pembelajaran formal di ruang kelas, tapi juga pengabian langsung di masyarakat.

Pendidikan dapat dan seharusnya mencakup berbagai dimensi kehidupan, termasuk dimensi spiritual dan sosial, yang sering kali terabaikan dalam sistem pendidikan modern. Oleh karena itu, kebijakan libur Ramadan dapat menjadi lebih dari sekadar waktu jeda bagi siswa, melainkan sebuah peluang untuk memperkaya pengalaman belajar mereka dengan pendekatan yang lebih holistik.

Kesimpulan

Wacana libur Ramadan di sekolah perlu dipertimbangkan secara matang agar tidak hanya menjadi simbol penghormatan terhadap tradisi agama mayoritas, tetapi juga mencerminkan inklusivitas dan keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia. Kebijakan ini sebaiknya dirancang dengan memperhatikan hak dan kebutuhan siswa dari berbagai latar belakang agama, serta diarahkan untuk memanfaatkan waktu Ramadan secara produktif bagi semua pihak.

Inspirasi dapat diambil dari tradisi pesantren yang memanfaatkan Ramadan untuk pengayaan spiritual dan pendidikan karakter. Sekolah umum dapat mengadopsi pendekatan serupa, seperti menyediakan program khusus bagi siswa Muslim dan program alternatif bagi siswa non-Muslim. Pendekatan ini dapat memperkuat pemahaman lintas budaya, membangun solidaritas, dan menciptakan pengalaman pendidikan yang holistik.

Melalui desain kebijakan yang inklusif dan strategis, libur Ramadan dapat menjadi lebih dari sekadar waktu istirahat. Ini bisa menjadi momentum untuk memperkaya pengalaman belajar dan memperkuat nilai-nilai pluralisme, kebersamaan, dan penghormatan terhadap keberagaman dalam sistem pendidikan nasional.