“Ngapain mau nutup diri di rumah, kalau waktunya mati ya mati.” “Korona adalah tentara Allah yang dikirim kepada orang-orang kafir.” Ucapan-ucapan tersebut terdengar begitu sumbang akhir-akhir ini. Namun bagi kita yang menganut paham Asy’ariyah, yang terbiasa menempatkan tangan Tuhan atas segala perkara, pemahaman dari ucapan-ucapan tersebut terdengar lebih familiar.
Tapi apakah hanya di zaman kita muncul pernyataan-pernyataan seperti itu? Apakah hanya seorang ustaz lokal fundamentalis yang berpikir tentang ini? Terakumulasi pandangan keagamaan yang membentang jauh di dalam penyataan yang sangat sederhana itu. Bahkan di masa awal Islam, di masa awal orang-orang mengenal wabah pandemi, di masa itulah ucapan-ucapan tersebut terlontar.
Tak ada pemikiran yang lahir tanpa konteks dan peristiwa. Dan begitulah perdebatan dimulai. Berawal dari masa kekhalifahan Umar bin Khattab setelah wabah menghalangi langkah ekspansinya, berlanjut ke perdebatan tentang takdir, meluas ke seluruh permasalahan tentang posisi Tuhan dalam kehidupan. Di sanalah, bagi sebagain cendekiawan, bermula perdebatan tentang dan melahirkan ilmu kalam.
Di antara semua wabah yang terus muncul, salah satu yang sangat memengaruhi peradaban Islam adalah apa yang disebut dalam sejarah sebagai Wabah Amwas atau Amawas. Penyebutan ini merujuk ke desa kecil bernama Amwas yang terletak di Palestina antara Yerussalem dan al-Ramlah. Wabah ini menyerang tentara Arab yang sedang berada di Amwas pada bulan Muharram dan Safar pada tahun 638 dan 639.
Sebanyak 25.000 pasukan yang meninggal dan wabah tersebut meluas ke seluruh daerah Syiria, Irak dan Mesir. Epidemi ini diawali oleh bencana kelaparan al-Ramadah yang mengantarkan penduduk dari Syria hingga Palestina ke dalam kepungan wabah. Kelaparan, pada masa itu, merupakan penyebab munculnya wabah lantaran imunitas dan ketersediaan pangan yang menurung, juga tikus yang terinfeksi wabah dan menyerang persediaan pangan serta bersarang dekat sumber air masyarakat.
Peristiwa ini terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dan Syria berada dalam kontrol gubernur Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Mendengar kabar merebaknya wabah, Umar memerintahkan Abu Ubaidah untuk kembali ke Madinah. Namun dia memilih bertahan di Syria. Ini membuat Umar hendak menjemput langsung Abu Ubaidah dan melakukan perjalanan sampai ke Saragh di mana keduanya bertemu.
Umar lalu mengadakan musyawarah yang dihadiri oleh petinggi dari kalangan Muhajirin dan Ansar. Namun tak ada kata sepakat yang tercipta. Umar, dengan mengutip sebuah hadis tentang larangan Nabi Muhammad untuk memasuki daerah yang sedang terjangkit wabah, memilih untuk mundur. Namun Abu Ubaidah bersikeras untuk tetap bertahan dan tidak melarikan diri dari takdir yang telah digariskan Tuhan.
“Bayangkan jika engkau berdiri di sebuah lembah, satu sisinya hijau oleh padang rumput dan sisi lainnya kering kerontang. Di sisi mana pun kau akan mengikat gembalamu, itulah takdir yang digariskan Tuhan kepadamu. Engkau tentu akan memilih sisi yang hijau.” Begitulah Umar bin Khattab mengajak Abu Ubaidah untuk memindahkan tentaranya ke daerah yang lebih aman. Umar sendiri memilih untuk kembali ke Madinah yang tidak terpapar wabah. Dalam riwayat lain yang serupa, kalimat Umar berbunyi, “Menghindari satu takdir menuju takdir Tuhan yang lain.”
Pertemuan singkat di Saragh tidak hanya menyiratkan tentang bagaimana kecerdasan Umar, tetapi menggambarkan bagaimana sikap kaum muslimin dalam menghadapi wabah, bahkan juga memengaruhi perkembangan perdebatan tentang takdir dan ilmu kalam. Peristiwa itu adalah salah satu perdebatan pertama yang direkam dalam sejarah.
Meski kesemuanya bersandar pada teks Al-Quran dan hadis, namun ada tiga pendapat yang menyeruak dalam pertemuan itu: (1) wabah merupakan rahmat sekaligus jalan untuk mati syahid bagi orang-orang yang beriman serta azab bagi orang-orang kafir; (2) seorang Muslim hendaknya tidak memasuki daerah terpapar wabah, namun jika terlanjur berada di dalamnya hendaknya tidak keluar; (3) wabah tidak mungkin menular, sebab hanya Allah yang bisa membuat seseorang sakit atau sembuh.
Pendapat pertama merupakan turunan dari keyakinan yang bertahan lama dalam masyarakat Yahudi dan Kristen, bahwa segala musibah adalah teguran dari Tuhan. Wabah Amwas turun kepada penduduk Syria karena mereka masih sering meminum minuman keras; dan sebab itu pulalah Umar memerintahkan Abu Ubaidah untuk memerangi mereka.
Kita tahu, sungguh banyak riwayat bagaimana para sahabat terdahulu berlomba-lomba untuk meregangkan nyawa dalam keadaan syahid. Maka mati terserang wabah, di masa itu, sama bahagianya dengan mati dalam medan perang. Begitulah kira-kira Abu Ubaidah memberikan ceramah kepada balatentaranya dan pada pertemuan dengan Umar bin Khattab di Amwas. Dengan begitu indah Ibn Asakir menuliskannya dalam sebuah puisi:
Ribuan nyawa pengendara kuda meregang di Amwas
Bersama wanita-wanita suci nan menawan
Mereka telah menemui Sang Kekasih
Dan Dia tak hendak mengadili
Mereka meninggal, tetapi tak ada wajah muram di Surga
Kami menahan sakitnya wabah, namun meregang nyawa
Dalam saat-saat paling bahagia
Ada perbedaan pemahaman yang begitu jauh antara kita hari ini, di tengah wabah, dengan Abu Ubaidah. Kematian, baginya, hanya sebatas suatu tahapan untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Dan kematian yang paling sempurna hanyalah mati syahid, salah satunya lewat wabah.
Derajat keimanan kita—jika memang demikian—sepertinya lebih memilih pada pendapat kedua: menjauh dari kota yang terserang wabah. Jika pun berada di dalamnya, setidaknya untuk tetap berdiam diri di rumah. Peristiwa serupa juga dialami oleh Abu Musa al-Asy’ari ketika suatu waktu orang-orang datang mengunjunginya di Kufah. Ia lantas menyuruh orang-orang itu bergegas pulang karena seseorang di dalam rumahnya terinfeksi wabah.
Langkah Abu Musa kelak menjadi jalan yang paling banyak dilalui orang-orang Muslim di masa wabah. Di dalam praktiknya terkandung bukan hanya masalah kewaspadaan, tetapi juga keikhlasan untuk menerima segala kondisi, yang kesemuanya berasal dari Tuhan. Abu Musa tidak hendak meninggalkan rumahnya dan Kufah, karena ia bisa saja menjadi carrier. Jika memang telah waktunya meninggal, ia akan meninggal dengan atau bukan karena wabah.
Abu Ubaidah, dalam sejarahnya, akhirnya luluh dan mengikuti pendapat Umar. Ia memindahkan tentaranyake dataran Hauran, namun tetap meninggal karena wabah al-Jabariyah beberapa waktu kemudian. Jabatannya sebagai gubernur digantikan oleh Muadz bin Jabal, namun juga meninggal bersama anaknya karena wabah. Amr bin al-As, yang baru saja menaklukkan Mesir, lalu memimpin orang-orang Syria menuju bukit dan terselamatkan dari wabah.
Banyak sahabat Nabi yang wafat dalam peristiwa wabah Amwas tersebut, yaitu Abu Ubaidah, Yazid bin Abu Sufyan, Muadz bin Jabal dan anaknya, al-Fadl bin al-Abbas, Abu Malik al-Anshari, al-Harits bin Hisyam, Abu Jandal, Uwais al-Qarni, serta Suhail bin Amr.
Baca juga Sahabat-sahabat Nabi yang Wafat karena Wabah
Dalam kesedihan yang mendalam, Umar bin Khattab menunjuk Muawiyah bin Abi Sufyan untuk menjadi gubernur Syria. Di sanalah Muawiyah menancapkan kekuasaannya hingga kelak mendirikan sebuah dinasti yang bertahan selama ratusan tahun.