Dalam buku “Mata Air Peradaban; Dua Millenium Wonosobo”, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberi sebuah pengantar yang menarik, ia mengulas secara singkat bagaimana sejarah pertemuan antara komunitas Hindu dan Budha di tanah Jawa. Pada abad ke-8 diceritakan orang-orang Sriwijaya yang beragama Budha datang ke pulau Jawa, di daerah pegunungan Dieng-Wonosobo kini, mereka menemukan kerajaan Kalingga Hindu.
Tanpa mengganggu kerajaan Hindu itu, mereka kemudian melanjutkan perjalanan hingga tiba di Kabupaten Magelang, tepatnya di daerah Muntilan sekarang. Mereka lalu mendirikan candi Borobudur di wilayah itu, orang-orang Budha ini sebagian tinggal di wilayah itu untuk merampungkan pembuatan candi, dan sebagian yang lain meneruskan perjalanan hingga ke Yogyakarta kini, lalu mendirikan kerajaan Kalingga Budha. Pada abad ke-9, mereka mendirikan candi Prambanan, yaitu candi yang menyatukan unsur agama Hindu dan Budha.
Dialog
Narasi singkat dari pengantar Gus Dur terhadap buku tersebut, hanya mencoba mengulik sisi sejarah dengan penjelasan yang jauh dari utuh, karena memang perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk mengetahui fakta sejarah yang ada. Namun demikian, pesan yang ingin disampaikan adalah, bahwa betapa sejak berabad-abad lampau, komunitas agama-agama di Indonesia, telah dapat hidup berdampingan, tidak saling mengusik, dalam nuansa saling menghargai dan saling menghormati. Dalam situasi seperti itu, dialog menjadi sebuah keniscayaan hidup bermasyarakat di tengah perbedaan yang ada, sehingga tak jarang melahirkan bentuk-bentuk ekletisme, seperti yang nampak dari uraian kisah di atas.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, dialog adalah jembatan yang menghubungkan antar manusia/masyarakat, ia menjadi jendela komunikasi untuk dapat melihat orang lain dari berbagai latar identitas, ruang saling bertukar informasi dan perspektif. Olehnya, sekaligus menjadi cermin yang membantu melihat diri sendiri dari cara pandang orang lain (outsiders) dan melihat orang lain dari cara pandang mereka tentang dirinya sendiri. Pada titik itu, dimungkinkan terciptanya kesalingpengertian dan tenggangrasa. Karena secara fungsional dialog menjadi katalisator bagi relasi antar golongan yang lebih mutualistik, dimana orang-orang berposisi setara dan dapat saling memberi dan menerima pendapat hingga kritik satu sama lain.
Dalam konteks historis, lewat dialog pula ide-ide kebangsaan (nasionalisme) mula-mulai tersemai, menjadi platform perjuangan kemerdekaan. Lahirnya Pancasila sebagai sebuah dasar negara, menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia yang majemuk dapat disatukan melalui perjanjian bersama, perjanjian yang lahir melalui poses dialog, diskusi, negosiasi hingga kompromi pelbagai eksponen kemerdekaan, dimana semua golongan diposisikan secara setara dan memiliki hak yang sama untuk mengungkapkan pikiran-pikirannya tentang negara Indonesia merdeka.
Sebagai falsafah dan ideologi yang digali dari gugus tradisi yang lahir dari rahim kebudayaan bangsa, kemudian hidup dalam urat nadi peradaban negeri, Pancasila merupakan sumbu yang menyerap berbagai dimensi idealitas dari ikhtiar spiritual-intelektual serta permenungan mendalam para kusuma bangsa. Olehnya, pancasila sekaligus menjadi suluh bagi peri kehidupan toleransi bangsa Indonesia yang majemuk.
Toleransi
Toleransi adalah piranti kebudayaan yang menjadi perekat batu bata kemajemukan yang membentuk bangunan kebangsaan Indonesia. Semangat toleransi pada gilirannya akan mengantar pada upaya mengetengahkan fakta kebinekaan, sebagai realitas yang harus diterima, kemudian dihidupkan sebagai diskursus, dikaji, dielaborasi, dan dihayati sebagai sumber khazanah ilmu-pengetahuan, karena kebinekaan itu menjadi tanda kekayaan spiritual-kultural-material yang dimiliki oleh bangsa ini.
Pudarnya toleransi akan berdampak pada surutnya semangat kebangsaan, hal itu mula-mula ditandai oleh munculnya hasrat membeda-membedakan orang lain atas dasar agama, keyakinan/pemahaman, suku dan golongan. Pembedaan itu biasanya berlanjut pada upaya mendelegetimasi mereka yang dianggap berseberangan dengan menggunakan otoritas-otoritas tertentu, seperti otoritas agama dan politik.
Wacana toleransi akan selalu hadir dalam mewarnai perjalanan sejarah bangsa ini, sebab sebagai bangsa yang dibentuk di atas kodrat pluralitas, isu identitas kolektif berbasis agama, suku dan sejenisnya yang diposisikan secara diametral, akan senantiasa menyeruak, khususnya di momen-momen perhelatan politik, kala politik identitas (identity politics), menjadi alat para politisi untuk meraih kepentingannya. Kepentingan politik yang dikangkangi hasrat untuk sekadar meraih kekuasaan, bukan untuk mengupayakan kemaslahatan. Hal tersebut, sekaligus menunjukkan rendahnya visi politik yang dimilikinya, karena dengan tega mengorbankan cita-cita bangsa yang multikultultural, demi untuk kepentingan elektoral yang sesaat.
Selain itu, di era digital saat ini, berbagai persoalan yang terjadi karena struktur sosial yang timpang, kerapkali dibelokkan menjadi isu dengan muatan sentimen SARA, isu itu kerapkali dibungkus dengan informasi dan data yang manipulatif. Ia lalu disebar dengan memanfaatkan utilitas media sosial, informasi yang tersebar dengan tingkat share yang tinggi, dapat diakses banyak orang hanya dengan sekali klik menggunakan ujung jemari. Efek viral yang ditimbulkannya, membuat informasi yang manipulatif tersebut mempengaruhi persepsi publik dalam merespons pelbagai persoalan yang terjadi.
Akibatnya problem rill soal ketimpangan sosial karena ketidakadilan struktural, dialihkan menjadi kisruh yang cenderung ingin memantik konflik SARA, hal tersebut lalu diolah menjadi bahan debat publik, subtansi persoalan menjadi terabaikan.
Sudah 72 tahun bangsa ini merdeka, realitas yang timpang di sana-sini adalah pekerjaan besar kita sebagai bangsa, dimana pemerintah harus berdiri paling depan untuk mengatasinya. Sebab, ketimpangan turut menyuburkan benih-benih intoleransi, dan itu tentu berdampak buruk bagi keutuhan NKRI.