Pada dasarnya, manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang sempurna. Kesempurnaan itu, terwujud dalam bentuk akal. Tak semua makhluk memilikinya.
Meski demikian, manusia bukan tanpa cela. Ia memiliki sisi-sisi lemah. Kemelaratan biologis, demikian sejarawan dunia, Yuval Noah Harari menyebutnya.
Setidaknya ada dua kemalaratan biologis yang menjadi ancaman purba bagi sejarah panjang umat manusia. Sebagaimana diuraikan dalam prolognya di buku masterpiecenya, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, kemalaratan itu menyerupa kelaparan dan wabah penyakit.
Virus Corona yang saat ini melanda Tiongkok dan sejumlah negara, tak lain perwujudan nyata dari kemalaratan biologis kita ini. Begitu rentan dengan adanya penyakit epidemik.
Sejarah telah mencatat bagaimana manusia berperang dari masa ke masa dengan bakteri dan virus yang melumpuhkan, bahkan membasmi, spesies manusia. Pada 1330 misalnya, meletus suatu tragedi yang dikenal dengan nama Maut Hitam. Tragedi yang disebabkan oleh bakteri yang menumpang kutu Yersenia petis itu, melanda Asia Timur atau Tengah, lalu ke Eropa, Afrika Utara hingga ke daerah pesisir di Samudra Atlantik.
Ada 75 juta sampai 200 juta orang meninggal akibat bakteri tersebut. Jumlah itu, setara dengan seperempat populasi Eropa dan Asia pada masa itu. Di Inggris sendiri tercatat 4 dari 10 orang yang meninggal akibat penyakit tersebut. Populasi Inggris turun drastis, dari 3,7 juta jiwa sebelum wabah menjadi 2,2 juta jiwa setelahnya.
Pada 1520, kembali terjadi ledakan teror dari epidemi baru yang lebih mengerikan. Cacar alias smallpox namanya. Seorang budak Afrika bernama Fransisco de Egula yang dibawa oleh bala tentara Spanyol ke Meksiko yang membawa virusnya.
Fransisco menggigil kala tiba di Kota Cempoallan. Ia pun meninggal karenanya. Namun, tak sampai sepuluh hari, seluruh kota telah terjangkiti. Beberapa bulan kemudian menyebar ke berbagai penjuru Meksiko. Bahkan, Kaisar Aztec, Cuitlahuac, meninggal karena campak. Ia meninggal bersama 8 juta jiwa penduduk Meksiko lainnya dalam tempo tak lebih dari 10 bulan.
Ada juga “Flu Spanyol” yang melanda negeri matador itu pada 1918. Dalam waktu beberapa bulan saja, sekitar setengah miliar populasi dunia ambruk oleh virus tersebut. Di India, virus tersebut membunuh 5 persen populasi (15 juta jiwa), di Tahiti ada 14 persen penduduk yang tewas, di Samoa bahkan membunuh 20 persen penghuninya.
Di seluruh dunia, wabah ini menewaskan 50 hingga 100 juta jiwa dalam waktu kurang dari satu tahun. Melebihi korban perang dunia pertama yang hanya menewaskan 40 juta jiwa selama lebih dari 4 tahun.
Kala alat transportasi semakin canggih dan mobilitas manusia semakin cepat, wabah virus menjadi ancaman yang tambah mengerikan di era modern ini. Namun, seiring perkembangan zaman, ilmu medis yang dikuasai manusia juga semakin meningkat.
Jika kita bandingkan penanganan virus dari masa ke masa, dalam dua dekade terakhir, jauh lebih efisien. Secara komparatif, korban yang jatuh bisa diminimalisir. SARS, misalnya, yang melanda dunia pada 2002/2003. Saat itu, timbul kepanikan dunia akan timbulnya tragedi Maut Hitam Kedua. Namun, berhasil ditangani hingga tam sampai menewaskan seribu orang.
Begitu juga dengan wabah Ebola pada 2014 silam. Otoritas kesehatan dunia menyebut wabah tersebut sebagai “darurat kesehatan publik terburuk yang pernah ada dalam masa modern”. Akan tetapi, pada awal 2015, WHO menyatakan virus tersebut telah bisa dijinakkan. Bahkan, pada Januari 2016 dinyatakan tuntas. Virus tersebut, mampu dilokalisir hanya di Afrika Barat saja. Korbannya pun tak signifikan jika dibandingkan epidemi di masa silam.
Dari catatan sejarah tersebut, kami optimis penanganan Virus Corona ini, akan berlangsung dalam waktu yang tak lama. Korban pun bisa diminimalisir. Pencegahan juga sedang masif dilakukan.
Akan tetapi, ada satu kutipan menarik dari Yuval tentang kemalaratan biologis manusia ini.
“Bioteknologi memungkinkan kita mengalahkan bakteri dan virus, tetapi pada saat yang sama mengubah manusia sendiri menjadi ancaman yang tak ada presedennya,” tulisnya.
“Alat sama yang memungkinkan para dokter dengan cepat mengidentifikasi dan mengobati penyakit-penyakit baru juga memungkinkan militer dan teroris merekayasa penyakit yang lebih mengerikan dan penyakit kiamat,” lanjutnya lebih menohok.
“Karena itu, sangat mungkin epidemi besar akan terus membahayakan manusia pada masa depan hanya jika umat manusia sendiri menciptakannya, demi kepentingan ideologi kejam. Era ketika manusia berdiri tak berdaya di hadapan epidemi alamiah mungkin sudah usai. Namun, kita bisa saja masih keliru,” pungkasnya.
Suatu hal yang patut direnungkan!