Sekarang ramai lagi sekelompok santri yang menutup telinga saat mendengar musik ketika mereka hendak divaksin. Mengomentari kejadian tersebut, saya ingin mengomentari beberapa hal. Pertama, saya tak sepakat dengan orang yang menuduh para santri itu radikal. Istilah itu secara semantis-psikologis sensitif sebagaimana istilah kafir. Kalau kita tak senang orang lain kofar-kafir, kita jangan mudah radikal-radikul.
Kedua, teman-teman Muslim yang antimusik sampai menutup telinga ketika mendengar musik itu di antaranya menyandarkan pendapatnya pada praktik sahabat Ibnu Umar. Diriwayatkan dari Nafi, Ibnu Umar mendengar seruling. Ia langsung menutup kedua telinganya dengan jari-jarinya (HR Abu Daud).
Hadis ini dikomentari sendiri oleh penulis Sunan Abi Daud sebagai hadis munkar. Hadis munkar itu termasuk hadis yang sangat dhaif, tak dapat dijadikan dalil dalam beragama. Namun, ulama hadis kontemporer Syu’aib al-Arnauth menganggapnya sebagai hadis hasan, boleh diamalkan.
Syekh al-Azhim Abadi juga mengkritik pendapat Abu Daud yang menganggap hadis di atas sebagai hadis munkar, padahal menurutnya, para rawi hadis tersebut itu kredibel semua. Kita tahu di sini ulama hadis berbeda pendapat mengenai hadis menutup telinga saat mendengar musik.
Ketiga, Mengamalkan hadis di atas sebagai bentuk kehati-hatian adalah hal yang baik selagi tidak menyalahkan orang lain yang menganggap bermain dan mendengarkan musik sebagai suatu hal yang halal dan diperbolehkan.
Imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari, mencantumkan sebuah hadis yang menunjukan kebolehan bermain musik atau nyanyian karena Nabi SAW pernah meminta Sayidah Aisyah untuk menghadirkan seorang penyanyi dalam sebuah pernikahan orang Anshar.
Di Madinah, kaum Anshar terbiasa mendengarkan nyanyian dan mereka senang ketika mendengarkan nyanyian. Hadis dimaksud berasal dari Aisyah. “Sayidah Aisyah pernah menikahkan seorang perempuan dengan pemuda dari kalangan Anshar. Kemudian Nabi SAW berkata kepada Sayidah Aisyah, ‘Wahai Aisyah! Adakah bersama kalian nyanyian karena kalangan Anshar kagum dengan nyanyian (HR Bukhari).”
Menurut Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh yang mengutip Imam Izzuddin bin Abdis Salam, sejumlah sahabat, tabiin maupun sejumlah imam mujtahid berpendapat bahwa memainkan dan mendengarkan alat musik ini dibolehkan.