MUI mengharamkan vaksin Measle-Rubella (MR), tapi membolehkan vaksinasi MR.
Lah gimana bisa gitu? Haram tapi boleh? Gimana maksudnya?
Iya. Sesuatu yang haram, dalam kondisi tertentu, boleh dikonsumsi tanpa ia kehilangan status haramnya. “Boleh” ya, bukan “halal”. “Boleh” tidak sama dengan “halal”.
Gimana sih?
Babi! Apa stempel untuk daging babi? Haram (untuk muslim). Boleh gak Anda makan daging babi? Boleh … hanya jika Anda dalam kondisi terpaksa. Darurat. Tapi kebolehan Anda makan babi dalam kondisi darurat tidak lantas hukum babi jadi halal.
Apa status hukum vaksin MR? Haram. Karena mengandung unsur babi. Boleh gak anak kita divaksin MR? Boleh. Kebolehan vaksinasi MR ini bukan karena vaksin MR itu halal, melainkan karena kondisi darurat.
Apa kondisi daruratnya?
“Sejauh ini belum ada vaksin MR yang benar-benar bebas dari unsur enzim babi, sementara ada potensi efek negatif jika tidak dilakukan vaksinasi MR.” Begitu kira-kira menurut rilis berita.
Sebenarnya sesederhana dan selogis itu logika MUI terkait vaksin MR: haram alias tidak halal, tapi boleh karena darurat.
Dan logika MUI itu sudah sesuai pola pikir islami. Kaidah fikhiyyah menyatakan:
الضرورات تبيح المحظورات
“Keadaan-keadaan darurat membuat hal-hal terlarang menjadi boleh.”
Sekali lagi: boleh–bukan halal.
Tapi sebagian orang hanya terpaku pada status haram vaksin MR yang dikeluarkan MUI. Sebagian orang heboh dengan status hukum “tidak halal” vaksin MR yang difatwakan MUI. Akhirnya kukuh tidak mau memvaksinasi-MR-kan anaknya.
Padahal MUI juga membolehkan vaksinasi tersebut.
Lho, tapi ini kan perkara akidah. Akidah gak bisa ditawar-tawar. Gak bisa dikompromikan. Mau MUI membolehkan kek, tapi kalau gak sesuai akidah, mau apa lagi coba?!
Akhi, ukhti … Hukum seputar babi, termasuk vaksin MR, itu bukan persoalan akidah. Itu persoalan fikih. Jadi lihatlah soal itu dengan nalar fikih.
***
Tapi Anak saya tampak sehat-sehat saja. Insyaallah ke depan juga akan sehat. Insyaallah.
Amin. Semoga demikian. Akhi, ukhti … Bagi Allah, menjadikan anak Anda sehat atau sakit di masa mendatang itu hukumnya “jaiz”, bukan “mustahil” atau “wajib”. Allah berkuasa menjadikan anak Anda sehat atau sakit. Dan kuasa Allah melampaui kuasa dan upaya kita, manusia, makhluk-Nya. Artinya, sehat atau sakit anak Anda di masa mendatang itu masih berupa kemungkinan, bukan kepastian atau kemustahilan. Di masa mendatang, Anak anda belum tentu pasti sakit, juga belum tentu mustahil sakit.
Saat masih berupa kemungkinan, apa yang harus dilakukan? Antisipasi. Dan antisipasi lebih relevan untuk kemungkinan buruk, bukan? Kalau kemungkinan baik tidak perlu diantisipasi. Malah mesti disambut.
Jadi, lihatlah vaksinasi MR dari sudut itu: sebagai antisipasi kemungkinan buruk yang bisa saja menimpa anak Anda.
Dalam ushul fikih, pola pikir semacam itu disebut “sadd al-dzari’ah” (سد الذريعة) yang secara sederhana berarti “menutup jalan yang berpotensi mengantarkan pada hal-hal buruk”. Dan dalam ushul fikih, “sadd al-dzari’ah” sama seperti Alquran dan hadis: sebagai sumber hukum Islam. Hanya saja posisinya jauh di bawah Alquran-hadis.
Dan andai pun setelah Anda melakukan upaya-upaya itu tapi anak Anda di masa mendatang tetap sakit, minimal Anda telah melakukan sesuatu yang benar. Di luar itu, itu bukan kuasa kita.
***
Ya tapi kan Allah yang punya kuasa. Anak kita kelak sehat atau penyakitan itu ketentuan Allah, bukan ketentuan vaksin. Percaya dan tawakal saja pada Allah.
Akhi, ukhti …
Soal tawakal, kutipan Imam al-Ghazali dalam “Ihya” ini bagus sekali. Kira-kira begini:
“Tawakal bukanlah engkau tak bawa bekal lalu pasrah kepada Allah. Tawakal adalah engkau bawa bekal lalu pasrah kepada Allah, bukan kepada bekal.”
Kutipan itu bisa divaksinasi-MR-kan:
“Tawakal bukanlah Anda menolak vaksin lalu Anda pasrahkan kondisi anak Anda kepada Allah. Tawakal adalah Anda memvaksinasikan anak Anda lalu Anda pasrahkan kondisi anak Anda kepada Allah, bukan pada vaksin.”