Setelah disahkannya UU Cipta Kerja atau disebut Omnibus Law oleh DPR RI pada 5 Oktober lalu, saya jadi teringat ucapan Gus Dur 19 tahun silam yang mengatakan bahwa DPR seperti anak Taman Kanak-Kanak (TK). Ya, walaupun pada akhirnya beliau menyesali kata-katanya karena dianggap merendahkan anak TK yang suci, cerdas dan kreatif.
Meskipun anak TK itu suci, cerdas dan kreatif, tapi mereka jelas masih jauh dari kata mandiri dalam berpikir. Pikirannya sangat mudah dimanipulasi. Buktinya? Kita pasti pernah menjanjikan es krim atau permen pada anak kecil jika mau dan manut dengan apa yang kita perintah. Entah itu menyuruhnya berhenti menangis atau sekedar mengambilkan air minum dan lain sebagainya.
Bagaimana mungkin para wakil rakyat yang suci itu rela bekerja begadang semalam suntuk, bahkan pada malam minggu untuk tetap mengesahkan UU yang jelas-jelas ditolak dan membawa mudarat pada hampir semua elemen masyarakat? Ya, sudah pasti ada yang menjanjikan es krim dan permen pada DPR. Wong, biasanya anggota DPR itu lebih suka bolos kok kalau tidak ada yang memberi es krim. Eh.
Seperti anak TK, anggota DPR senang sekali bermain petak umpet. Masih segar di dalam ingatan saat RUU kontroversi seperti KPK ingin disahkan pada akhir periode DPR 2014-2019. Untung saja tempat persembunyiannya tidak terlalu dalam sehingga jurnalis, mahasiswa, buruh tani, rakyat miskin kota, akademisi dan elemen masyarakat lainnya bisa menemukannya. Lahir lah aksi #ReformasiDikorupsi yang menjadi pergerakan rakyat sipil terbesar setelah demo besar-besaran tahun 1998.
Rapat pengesahan RUU KPK saat itu akhirnya ditunda karena ketahuan oleh rakyat. Setelah rakyat kembali sibuk dengan kehidupannya masing-masing, diam-diam DPR periode baru mengesahkannya. Berlaku lah UU KPK yang sudah bisa kita saksikan saat ini membuat lembaga negara yang paling dipercaya itu jadi mandul.
Kemudian ada pula RUU Minerba yang disahkan dengan terburu-buru dengan memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 sebagai kamuflase agar pergerakannya tidak tercium oleh rakyat. Ekonom senior, Faisal Basri mengatakan pengesahan UU Minerba adalah pesta pora para elit karena hanya menguntungkan para bandar tambang.
Selain itu, DPR RI juga gemar sekali bermain kucing-kucingan. Sebelumnya, kita tahu bahwa rapat paripurna DPR untuk mengesahkan UU ini akan dilaksanakan pada tanggal 8 Oktober 2020. Serikat buruh sudah mengancam akan melakukan aksi mogok kerja pada tanggal 6 sampai 8 Oktober, tapi ternyata masyarakat berhasil digocek dan RUU itu disahkan pada tanggal 5 Oktober. Lucu betul tingkah anggota DPR kita, persis seperti anak TK yang menggemaskan.
Satu-satunya elemen masyarakat yang mendapat keuntungan dan manfaat besar dari beberapa RUU kontroversi ini hanyalah: pemilik modal. Besar kemungkinan kalau elemen ini lah yang menjanjikan es krim dan permen pada anggota DPR sehingga agendanya bisa dikebut. Pentolan Gerindra, Fadli Zon dan Menkopolhukan, Mahfud MD juga sepakat menyebut negara ini menjalankan sistem cukongkrasi. Biasa juga disebut sebagai oligarki.
Jelas saja para pemilik modal atau para oligark ini senang dan pesta pora, wong perizinan untuk berinvestasi dipermulus. Bagaimana pula tidak senang kalau masalah ketenagakerjaan berkurang?
Belum lagi kemudahan izin usaha tanpa memperdulikan faktor lingkungan, ancaman sanksi pidana yang hilang kalau terlambat membayar upah pekerja, pemotongan hari cuti, rentan PHK sepihak tanpa pesangon dan lain sebagainya. Banyak sekali kerugian yang akan dirasakan oleh rakyat.
Aneh sekali, di tengah kondisi sulit karena pandemi ini pemerintah lebih fokus untuk menyelamatkan para oligarki perampok uang dan SDA Indonesia dibandingkan rakyat jelata.
Eits, jangan keburu suudzon dan mengutuk DPR saja. Toh, UU Cipta Kerja ini sudah direncakanan oleh lembaga eksekutif, pemerintah. Jadi kekesalan rakyat ini sudah seharusnya jangan menyasar DPR saja, kalau mau adil dan memang harus adil, kritik juga harus disasarkan ke pemerintah juga sebagai inisiator UU Cipta Kerja yang tercela ini.
Seperti anak TK yang bandel dan bisa dikasih tahu, DPR dan pemerintah juga demikian. Tidak cukup hanya diberikan masukan oleh LSM, para pakar, mahasiswa, akademisi dan lain sebagainya. Mereka juga harus ditegur dengan cara yang lebih keras.
Toh, anak 10 tahun saja boleh dipukul (tanpa melukai) kalau tidak menjalankan kewajiban shalat. Boleh, dong, kita memukul para pemangku kebijakan yang usianya rata-rata sudah 10 kali lipat lebih dari anak TK. Tapi tentu memukul dengan cara-cara baik, tidak secara harfiah. (AN)