Saya sesekali mengintip kelompok ‘pengajian’ WA istri. Beberapa kali geram dan kaget. Tak jarang isinya adalah upaya sistematis menyebarkan berita bohong, menyudutkan bahkan cenderung menyulut kebencian dan ketidaksukaan pada kelompok tertentu. Pelakunya? bukan menuduh, tetapi rata-rata para aktivis, simpatisan atau anggota partai ‘dakwah’. Mereka begitu aktif menyebarkan postingan yang sepertinya secara sistematis dan terkomando dari satu sumber. Tak jarang saya mendapatkan postingan yang sama di beberapa group WA hampir bersamaan.
Belum lagi kalau melihat video pengajian-pengajian di mesjid yang sekonyong-konyong berubah menjadi ajang menghujat, mengejek dan menjatuhkan dan menjelekan satu pihak. Melihatnya saya muak. Tapi juga sekaligus sedih: kenapa masih banyak orang yang mau mengundang dan mendengarkan orang seperti itu. Apa hanya karena berani berkata kasar, berjubah putih, bisa teriak-teriak dan mengutip satu dua ayat lantas ia menjadi panutan? Apa hanya karena beda pilihan politik lantas kita membenci orang sampai ubun-ubun?
***
Ketika kecil, sekitar akhir 80an atau awal 90an, saya masih ingat Ayah sering mengajak pergi ke Cirebon naik angkutan bak terbuka atau mobil angkutan pedesaan bersama-sama warga lain. Ayah mengajak saya pergi ke sebuah pengajian yang sangat terkenal di wilayah tiga Cirebon waktu itu: Hidayatullah. Pendirinya seorang Tionghoa mualaf dan pengusaha kaya bernama Yu Keng. Pengajiannya selalu ramai dan dihadiri ribuan orang. Pembicaranya datang dari ibu kota dan rata-rata kyai kondang.
Saya masih ingat, hampir semua pembicara yang diundang adalah para kyai ‘galak’ yang tak takut dan segan mengkritik Suharto. Saya belum terlalu mengerti. Tapi masih ingat para penceramah berbicara menggelegar diiringi pekik “Allahu Akbar”. Saking galak dan berani mengkritik Orde Baru, menurut cerita para tetua, pengajian Yu Keng sering ditongkrongi Panser ABRI.
***
Melihat bagaimana pengajian-pengajian berubah menjadi ajang disemaikannya kebencian, saya menemukan akar dan geneologinya pada pengajian yang dulu saya pernah ikuti di Cirebon itu. Jamaah cenderung senang kalau ada kyai ‘galak,’ atau lucu dan menghibur. Ngaji, dalam banyak kesempatan, telah menjadi panggung entertainment ketimbang tempat mencari ilmu. Kalau tidak lucu atau ‘galak’, jamaah mengeluh.
Tapi masalahnya, zaman sudah berubah. Pada zaman Orde Baru, semua kelompok, Muslim, Kiri, Sosialis, dan lain-lain, sama-sama digencet Suharto. Dan karena itu semuanya melawan dengan berbagai cara. Keterbukaan informasi tidak ada, transparansi tidak ada, saluran aspirasi sangat dibatasi, kritik dibungkam dan disumbat. Pengajian Yu Keng di akhir 80an hanya gejala kecil dari riak semangat anti rezim otoriter Orde Baru.
Sekarang kondisi jauh lebih baik. Ngigau kalau selalu bilang umat Islam digencet dan ditindas. Kalau di Hongkong atau Konggo, mungkin iya. Di Indonesia semua urusan umat Islam dimanjakan! Haji, pengadilan, waris, bisnis Islam, universitas, TK, Paud sampai SMA, rumah sakit, wakaf, investasi Islami semua difasilitasi negara. Digencet dari Hongkong!!
Kau bilang para ustad ditangkapi dan dipenjara oleh rezim yang anti Muslim, pro PKI dan Pro asing? Ustad yang mana? Di TV tiap hari para ustad masih ngasih ceramah. Kalau ada ustad dilaporkan karena mulutnya yang jorok dan busuk, itu bukan karena ustadnya. Itu lebih karena prilakunya berlebihan dan melampaui kewajaran.
Beredar pula informasi di WA yang sangat konspiratif: ada ratusan kader PKI masuk DPR, Kristen akan menguasai Indonesia lewat PDIP, K.H. Ma’ruf Amin akan diganti Ahok, antek-antek Yahudi siap menguasai Indonesia. Ya Allah…, Akhi, Ukhti, jangan ngigo, ah. Zaman sudah terbuka, semua relatif transparant. Semua bisa kita cek dan lihat. Bedakan mengkritik dengan menyebarkan fitnah dan berita bohong. Saya sepakat 1000% pemerintah sekarang harus dikontrol dan diawasi. Tapi caranya tidak dengan menjadi konyol.
Belakangan ada ustadzah karbitan berdoa ngancam Allah: kalau si B tidak terpilih tidak akan ada lagi yang menyembah-Mu. Ya Allah, ini penyanyi, salah minum obat apa? Sis, Bro, kita disuruh fokus pada keahlian masing-masing. Agama itu bukan urusan kesenangan di waktu senggang atau kegiatan tambahan di akhir pekan. Butuh ilmu alat, pengetahuan sejarah dan bahasa, metode ushul, dedikasi, kesungguhan, tanggungjawab dan kerendahan hati serta kejujuran untuk mempelajari agama.
Menjadi Penceramah, karenanaya, tidak cukup asal bisa ‘ngecap’ saja. Tidak bisa hanya karena anda mantan antivis MLM terus pakai jubah, bisa teriak-teriak, berani ngejek, dan hafal satu dua ayat dan ujug-ujug jadi ustad. Mal praktek agama selama ini, saya kira, karena banyak dokter, insinyur, aktivis MLM, penyanyi, hanya karea bisa satu dua ayat, lantas merasa bisa jadi ustad.
Ingat, dosis agama yang terlalu tinggi tapi tidak dibarengi ilmu yang benar memang bisa membuat orang ngigo, jantungan, tempramental bahkan suicidal.
Ayo kembalikan agama pada manhajnya, disinari budi pekerti, akal sehat dan kewajaran. Kalau bukan orang yang pernah dilatih dalam bidang keilmuan Islam yang mendalam, lebih baik diam dan mendengarkan.[]