Ustadz Rahmat Baequni pernah bercerita, “Ketika Samiri mengembara ke seluruh dunia dia sampai di segitiga Bermuda, sebuah area lepas pantai samudera Atlantika yang menghubungkan tiga titik, Florida-Puerto Riko-Bermuda, segitiga ini adalah tempat di mana Azazil membangun istananya dari kristal cahaya. Itulah kenapa siapapun yang lewat sana (akan) hilang. Sebetulnya tidak hilang, (tetapi) ada cuma tertutup kristal cahaya.”
Saat mendengar beliau melanturkan kisah tersebut kami justru teringat pada budaya tutur pada masa klasik. Pada kurun abad ketiga sampai sepuluh Hijriyah, di samping ulama ahli hadis yang tsiqah menyampaikan secara verbal riwayat-riwayat yang sahih ada pula mereka yang memodifikasi hadis sedemikian rupa sehingga terkesan dramatis untuk dituturkan kepada khalayak. Beberapa pakar hadis pun sempat mendapati para pencerita yang berdusta menggunakan hadis Nabi SAW seraya mencatut nama mereka dalam sanad.
Al-A‘masy misalnya, suatu ketika beliau memasuki Bashrah dan melihat seorang pencerita yang tengah membual di dalam masjid seraya mencatut namanya. Al-À‘masy pun menuju ke tengah halaqah kemudian asik mencabuti bulu ketiak. Si pencerita memprotes kelakuan beliau dengan bilang, “Wahai Syaikh, apa tidak malu? Kami sedang mengajar dan anda melakukan hal semacam itu?”
“Apa yang kulakukan dalam hal ini lebih baik daripada apa yang kau kerjakan itu,” jawab al-A‘masy.
“Bagaimana bisa?”
“Karena aku mengerjakan sunnah sementara engkau berdusta. Aku adalah al-A‘masy dan tidak pernah aku menyampaikan kepadamu satupun yang engkau katakan.”
Kejadian di atas kami nukil dari kitab Tahdzir al-Khawash min Akadzib al-Qushshash karya Imam al-Suyuti. Selain menerangkan perihal riwayat yang mengutuk para pendusta hadis, dalam kitab ini beliau juga menyantumkan berbagai kisah yang dibualkan oleh para pencerita tersebut. Serupa dengan yang dialami Sulaiman bin Mahran al-A‘Masy, Imam Ahmad pun dalam catatan Imam al-Suyuti juga pernah menjumpai pencerita yang mahir membual.
Suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in salat di masjid daerah al-Rushafah, daerah di sisi timur sungai Tigris, di situ mereka berdua mendapati seorang pencerita sedang angkat bicara di hadapan khalayak. Pencerita tersebut berkata, “Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in telah menyampaikan kepada kami, keduanya berkata; ‘Abd al-Razzaq telah menyampaikan kepada kami dari Ma’mar dari Qatadah dari Anas, beliau berkata; Rasulullah SAW telah bersabda: barangsipa berkata la ilaha illa Allah maka dari setiap kata darinya muncul burung berparuh emas berbulu berlian…”
Jadilah Imam Ahmad bin Hanbal menoleh kepada Yahya bin Ma’in dan Yahya menoleh kepada Ahmad dan berkata kepadanya, “adakah engkau menyampaikan hadis tersebut?” Yang ditanya menjawab, “Demi Allah aku tidak pernah mendengar hadis tersebut kecuali saat ini.”
Ketika pencerita itu selesai berkisah ia mengambil jeda untuk duduk sejenak, Yahya bin Ma’in pun memanggilnya. Ia datang dengan baik. Imam Yahya menanyainya, “siapa yang menyampaikan padamu hadis tersebut?” Ia menjawab, “Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in.”
“Aku Yahya bin Ma’in dan ini Ahmad bin Hanbal. Kami tidak pernah mendengar hal ini sama sekali dalam hadis Rasulullah SAW, jika demikian pastinya kebohongan bukanlah atas kami.”
Ia bertanya, “Anda Yahya bin Ma’in?”
“Betul,” jawab Imam Yahya.
“Aku tidak pernah mendengar bahwa Yahya bin Ma’in dungu, tidak pernah kusaksikan kecuali saat ini,” si pencerita menimpali.
“Bagaimana engkau bisa tahu kalau aku bodoh,” Imam Yahya coba menangkis.
Tidak kehilangan akal si pencerita menjawab, “Seakan di dunia ini tidak ada Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hanbal kecuali kalian berdua. Aku telah mencatat tujuh belas Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in.”
Imam Ahmad pun menutupi wajahnya dengan lengan baju seraya berkata kepada Imam Yahya, “Biarkan dia berdiri.” Si pencerita pun berdiri seakan mengolok kepada keduanya.
Syaikh Mushthafa bin Husni al-Siba‘i menyatakan dalam kitabnya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami bahwa kebanyakan pencerita tidak takut kepada Allah SWT. Beliau menuturkan bahwa yang mereka cari sebenarnya adalah agar orang-orang di majelisnya dapat menangis, takjub akan apa yang mereka sampaikan, sampai-sampai mereka berani menceritakan kebohongan kemudian menisbatkannya kepada Nabi SAW.
Apa yang dikatakan Syaikh al-Siba’i di atas menjadi peringatan keras untuk para pembicara yang hobi bercerita, agar tidak menyampaikan kebohongan kemudian menisbatkannya pada Islam. Berjubah ulama namun telanjang tanpa ilmu dari para ulama kemudian menyatakan bahwa ceritanya adalah menurut ulama bahkan Nabi SAW. Semoga kita terlindung dari para pencerita yang rajin membual. Wallahu a‘lam.
*Analisis ini hasil kerjasama Islami.co & Maarif Insitute*