Beberapa hari ini linimasa media sosial saya dijejali pendakwah muda bernama Ustadz Koh Dennis Lim. Bersama pasangannya, Yunda Faisyah, sosok pendakwah muda ini mulai mendapatkan sorotan publik. Bahkan, Koh Dennis, begitu panggilan akrabnya, diundang beberapa program televisi hingga siniar para artis.
Sosok pendakwah muda beretnis Tionghoa ini juga cukup aktif di media sosial. Materi ceramahnya meliputi tema-tema yang relevan dengan anak muda seperti rezeki, mengaji, hingga pernikahan.
Saya sendiri pertama kali menjumpai konten terkait Koh Dennis di platform Tik Tok, sebelum siniar bersama Denny Sumargo viral di media sosial. Dalam konten tersebut, sosok Koh Dennis tampak sedang berfoto di atas panggung bersama pasangannya dan beberapa jemaahnya.
Menariknya, para jemaah, sebagian besar perempuan, sampai teriak histeris saat melihat “keharmonisan” dan “romantis” sang pendakwah. Selain itu, Koh Dennis juga disukai karena memiliki paras yang dinilai tampan oleh sebagian besar jemaah, khususnya di kalangan perempuan.
Selain faktor di atas, popularitas Koh Dennis akhir-akhir ini juga dipengaruhi oleh aspek perjalanan spiritual sang pendakwah. Sebelumnya Koh Dennis lebih banyak disangka sebagai mualaf, padahal dia berasal dari keluarga beragama Islam. Namun, perjalanan spiritual milik Koh Dennis lebih ditekankan pada kisah taubatnya pasca menjadi bandar judi.
Hari ini, kehidupan kelam Koh Dennis yang sudah dilalui tersebut lebih populer dengan sebutan “Hijrah.” Dalam satu atau dua dekade terakhir diksi “Hijrah” memang cukup populer untuk merujuk seseorang yang sedang/telah bertaubat atau berubah menuju lebih baik. Beberapa pentolan gerakan “hijrah” dari beragam latar belakang pun mulai populer dengan perjalanan spiritual seseorang.
Padahal, sebelumnya relasi kita dan pengalaman spiritual orang lain masih bersifat sangat personal. Kepindahan agama atau pengalaman bertaubat seseorang lebih banyak bersifat rahasia, atau paling tidak menjadi konsumsi publik.
Mengapa perubahan ini terjadi?
Teknologi media, mulai dari televisi hingga media sosial, berperan besar dalam menggeser pengalaman atau perjalanan spiritual seseorang, yang sebelumnya bersifat sangat personal, menjadi komoditas yang bisa mendatangkan pundi-pundi dan atensi secara bersamaan. Televisi dengan beragam programnya biasanya merekam jika seorang artis atau tokoh publik berubah menjadi lebih agamis.
Bulan Ramadan biasanya menjadi momentum para tokoh publik tersebut berubah menjadi “lebih baik”. Dan, kisah atau pemberitaan perubahan mereka tersebut biasanya menjadi tayangan di beberapa program gosip atau berita. “Artis A telah memakai jilbab” atau “Mantan Aktris panas telah memilih untuk menutup auratnya” adalah berita populer di media televisi beberapa waktu lalu.
Satu dekade terakhir, kisah atau pengalaman tersebut semakin diminati publik. Lebih Jauh, fenomena ini semakin besar dan mulai mengkristal menjadi sebuah gerakan, yang tidak lagi didominasi para artis atau tokoh publik. Kata “Hijrah” pun mulai menggantikan istilah “Taubat” yang lebih dahulu dikenal untuk menyebut fenomena yang serupa. Entah kenapa ini bisa menjadi terjadi.
Fenomena “hijrah-nya” Koh Dennis hanyalah lanjutan dari sekian tokoh yang mendapatkan atensi publik Muslim. Namun, saya melihat atensi masyarakat atas pengalaman atau perjalanan spiritual hari ini, di antaranya, sangat dipengaruhi oleh kemunculan media sosial. Koh Dennis bisa diselaraskan dengan fenomena yang cukup populer akhir-akhir ini, yakni selebriti internet.
Dulu, media televisi melihat dan menjadikan kisah perjalanan spiritual para artis sebagai komoditas ekonomi, sehingga bisa mendatang pundi-pundi dari iklan atau bayaran program. Para artis pun mendapatkan benefit ekonomi lainnya, seperti menjadi bintang iklan atau membuat brand fashion sendiri.
Sedangkan, media sosial membuat kesempatan tersebut tidak lagi hanya “dikuasai” para publik figur belaka. Media sosial sering disebut wadah demokratis yang menyediakan ruang kepada siapa saja untuk mendapatkan atensi publik. Dengan kata lain, layanan jejaring sosial memberikan wadah terbuka dan setara kepada siapa saja, tanpa ada intervensi orang atau pihak lain.
Secara umum, fenomena Koh Dennis yang kita nikmati di beragam media ini, khususnya televisi dan media sosial, selaras dengan klaim tersebut. Namun Angga Prawadika Aji, akademisi asal Surabaya, tidak sepenuhnya setuju atas informasi tersebut.
Dalam buku “Manusia Paling Dipuja di Seluruh Dunia,” Angga menyebutkan bahwa popularitas selebriti internet sangat bergantung pada niche (ceruk) bidang dan media yang digunakan.
Angga juga menambahkan kondisi tersebut merupakan buah dari pengguna internet sangat terfragmentasi, bergantung pada situasi serta nilai-nilai sosio kultural, minat, dan perkembangan platform media yang ada.
Crystal Abidin, akademisi asal Australia, menyebutkan untuk menjadi populer di dunia internet diperlukan modal sosial. Modal sosial yang disebutkan Abidin mengacu apa yang disebutkan oleh Pierre Bourdieu, filsuf asal Perancis, yakni aset-aset sosial milik individu (pendidikan, kecerdasan, gaya bicara, gaya berpakaian, apa yang ditampilkan di media sosial, dan lain sebagainya) yang digunakan proses mobilitas sosial di masyarakat.
Dalam fenomena Koh Dennis, “Hijrah” adalah modal sosial yang dapat menarik atensi publik dan impressi warganet di media sosial.
Mengapa demikian?
Menurut Abidin, di antara faktor yang dapat mempengaruhi kenaikan popularitas seseorang di internet adalah eksotisme dan keistimewaan. Jika eksotisme lebih menekankan pada kemampuan selebriti internet menampilkan sesuatu yang “berbeda,” dalam arti menyentuh wilayah yang belum pernah terpikirkan oleh publik.
Sedangkan, keistimewaan merujuk pada reaksi masyarakat atas pencapaian dan prestasi individu yang dianggap melebihi kemampuan manusia biasa. Dengan kata lain, atensi publik diperoleh oleh selebriti internet dengan menonjolkan kemampuan spesial di ranah umum yang biasa ditemui sehari-hari.
Jika kita amati lebih dalam, “Hijrah” menghadirkan keduanya sekaligus. Sebab, pengalaman spiritual yang dijalani dan dialami oleh seseorang, termasuk Koh Dennis, memiliki unsur sesuatu yang berbeda yang belum pernah “dirasakan” atau “terpikirkan” oleh publik. Ditambah, keberagamaan publik sehari-hari lebih melihat proses “taubat” sebagai sesuatu yang luar biasa.
Koh Dennis, bersama para artis lainnya, mengkapitalisasi keduanya sehingga mereka mendapatkan atensi publik dan impressi warganet. Di titik inilah pergeseran pengalaman atau perjalanan spiritual tidak lagi sekedar cerita atau kisah yang mengilhami orang lain, namun di saat bersamaan ia menjadi bagian dari faktor seseorang mendapatkan atensi dan impressi publik.
Oleh sebab itu, beberapa artis, juga para pendakwah populer, menjadikan “Hijrah” sebagai modal sosial (plus ekonomi) yang dapat “menjaga” popularitas mereka di ruang publik. Bahkan, mereka tidak hanya mendapatkan pundi-pundi rupiah saja, di saat bersamaan mereka menjadi “otoritas” yang memiliki “jemaah” mereka sendiri yang dapat menghubungkan dengan masa kenabian.
Maka, tak mengherankan jika akhir-akhir ini beberapa artis, termasuk Koh Dennis, didaulat menjadi “otoritas.” Mereka telah mengubah wajah keberislaman dengan beragam ekspresi dan tradisi baru yang mereka perkenalkan, termasuk soal “hijrah” sebagai pengalaman spiritual.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin