Sejak dirilis pada 20 Agustus 2020, film Jejak Khilafah di Nusantara menuai banyak kritik dari berabagai kalangan. Mulai dari sejarawan, ahli politik Islam, hingga para ulama. Profesor Peter Carey mengkiritik beberapa klaim sejarah.
Pertama, tidak ada bukti pada dokumen-dokumen di Arsip Turki Utsmani yang menunjukkan bahwa ‘negara’ Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak (1475–1558), utamanya raja pertamanya, Raden Patah (bertakhta, 1475–1518), memiliki kontak dengan Turki Utsmani. Kesultanan yang ada di Pulau Jawa tidak dianggap sebagai vassal atau naungan Turki Utsmani, termasuk juga bukan wakil sultan-sultan Utsmani di Jawa.
Kedua, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Turki Utsmani dan Kesultanan Yogyakarta yang didirikan pada tahun 1749, dalam hal hierarki sebagaimana dimaksud di dalam poin nomor dua, termasuk tidak ada bukti dokumen sejarah yang menunjukkan bahwa panji ‘Tunggul Wulung’ adalah ‘bukti’ bahwa Yogyakarta adalah wakil dari Turki Utsmani di Jawa, berdasarkan penelitian kearsipan Dr. Kadi yang telah lama meneliti dokumen-dokumen Turki Utsmani di Arsip Utsmani di Istanbul.
Selain itu, Dr Moch Syarif Hidayatullah yang menulis disertasi mengenai surat-surat Kesultanan Aceh untuk meminta aliansi kepada Pemerintah Turki Usmani di abad XIX. Menurutnya, Turki Utsmani dalam suratnya malah menolak permintaan Kesultanan Aceh agar masuk menjadi bagian dari Turki Utsmani. Dua kali Aceh meminta itu tetapi tidak ada yang digubris.
Di sisi lain, Ustadz Ahong juga mengkritik pandangan Hafidz Abdurrahman yang diwawancarai dalam film tersebut. Hafidz Abdurrahman berpendapat bahwa sunnah Nabi dan sunnah Kulafahaurrasyidin yang dimaksud dalam hadis ‘alaikum bi sunnati wa sunnatil khulafa al-rasyidin adalah sistem khilafah. Tentu penafsiran demikian ini tidak memiliki dasar pijakan yang jelas. Oleh karena itu, ada beberapa poin kritikan dari Ustadz Ahong sebagaimana terdapat dalam video ini.