“Meskipun pemahaman keislaman saya mungkin tidak sedalam (pendakwah. red) yang lain, senyatanya banyak Muslim tertarik untuk mendengarkan saya daripada mereka. Hal itu tentu saja karena saya adalah seorang mualaf dan mungkin satu-satunya orang Cina yang aktif di HTI”
Begitu kira-kira pengakuan Felix Siauw seperti dikutip Hew Wai Weng dalam “The Art of Dakwah” yang terbit di Jurnal Indonesia and The Malay World. Felix Siauw tidak sedang berbohong. Ia benar dengan pengakuannya. Benar bahwa Felix adalah pegiat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Benar pula bahwa ia merupakan salah satu ustaz seleb yang kondang.
Bahkan ia tidak hanya memiliki beragam platform media sosial dengan jutaan pengikut, tetapi juga terintegrasi dengan jejaring personal dan grup-grup yang satu frekuensi setamsil akun @hijablaila, @yukngajiid, @sahabaat.taat, @maujadibaik, dan sebagainya di instagram.
Rupanya, Felix cukup mengerti betul pasarnya. Kepada Hew Wai Weng, Felix mengaku kalau ia dengan sadar memang bertujuan menyebarkan ideologi HTI lewat dakwahnya, khususnya kepada para kelas menengah perkotaan, Muslim urban, para perempuan muda, dan mereka yang tidak cukup memiliki pengetahuan tentang agama.
Dan memang, kebanyakan dari golongan masyarakat itu merupakan pengguna aktif media sosial yang barangkali menghabiskan cukup banyak waktunya walau sekadar mengunggah, menyukai, atau membagikan ulang sebuah posting-an di Facebook, Twitter, atau Instagram.
Ternyata, Felix Siauw tidak sendiri. Belakangan semakin meriah saja kemunculan ustaz-ustaz lain yang mungkin statusnya tidak mualaf seperti Felix, tetapi mereka memiliki kemiripan dalam hal daya tarik.
Ada yang menarik karena faktor politik. Ada juga yang menarik karena materi ceramahnya memang menarik. Dan, yang paling populer adalah karena “hijrah”, bil khusus jika yang bersangkutan adalah seorang selebriti.
Tentu saja melihat kenyataan semakin banyak orang yang hijrah, belajar atau mendakwahkan Islam, kita patut bersikap apresiatif, kendati secara tidak langsung dan setelah melalui proses lumayan panjang, ia juga berkait-berkelindan dengan realitas politik masa lalu.
Ariel Heryanto dalam buku Identitas dan Kenikmatan mensinyalir kalau kebangkitan islamisasi telah telah terjadi menjelang berakhirnya rezim Orde Baru. Kelompok Islam yang sedianya dianggap ekstrem kanan, kemudian dirangkul dan dijadikan sekutu baru pemerintahan Soeharto untuk meneguhkan posisi politisnya yang saat itu tengah melemah.
Di masa-masa itu penggunaan jilbab semakin meriah. Dan, kelompok-kelompok Islam mulai menyatakan aspirasi politiknya secara terang-terangan tanpa perlu takut ditindas oleh penguasa. Di tataran ini, fenomena hijrah merupakan salah satu turunan dari fakta historis tersebut.
Maka, ketika beberapa waktu lalu Dahnil Anzar Simanjuntak bilang di twitter kalau “fenomena artis dan masyarakat urban berhijrah menjadi lebih dekat dengan ajaran Islam itu baik dan harus disupport”, saya sepenuhnya mendukung.
Apakah kita perlu membantah? Saya rasa tidak. Saya juga setuju dengan pemikiran Dahnil Anzar yang bilang kalau gerakan hijrah itu “jangan justru terus dicurigai dengan pelbagai tuduhan radikalisme dan intoleransi”.
Fenomena artis dan masyarakat urban berhijrah menjadi lebih dekat dengan ajaran Islam saya kira baik dan harus disupport jangan justru terus dicurigai dengan pelbagai tuduhan radikalisme dan intoleransi. Ustadz2 yg berhasil membimbing mrk pastilah ustadz baik dan alim.
— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) May 28, 2019
Saya pun percaya kalau “ustaz2 yang berhasil membimbing mereka pastilah ustaz baik dan alim”, seperti yang Dahnil Anzar katakan di tweet yang sama. Saya bahkan sangat yakin kalau pengetahuan Dahnil Anzar tentang agama, kebangsaan, dan sejarah Indonesia begitu mendalam sehingga ia punya otoritas berkicau demikian.
Hanya saja saya sedikit ragu, benarkah ia paham bahwa tidak selamanya yang mengatasnamakan dakwah atau gerakan Islam lainnya itu murni karena niat meneruskan misi Kanjeng Nabi Muhammad? Margin of eror-nya bahkan terkadang terlalu besar.
Ini bukan kecurigaan. Saya juga tidak ada kepentingan apa-apa untuk mencurigai Islam. Tapi, bukankah itu cukup logic? Apalagi di sebuah peradaban yang media maintream dicurigai, sedang pada saat yang sama melabuhkan kebenaran pada akun-akun anonim di media sosial.
Kutipan wawancara di awal tulisan ini hanyalah salah satu tamsilnya. Belum termasuk orang-orang seperti Sugi Nur, Mahaer Tuawilibi dan sebagainya yang seolah berdakwah tapi jiwa dan kediriannya sendiri terlampau ironi.
Tapi tak mengapa, dengan rekam jejak Dahnil Anzar yang demikian terpercaya, saya setuju padanya bahwa fenomena artis dan masyarakat urban yang berhijrah ini memang baik dan harus di-support. Tidak selayaknya juga mereka dicurigai seperti orang-orang mencurigai Ustaz Yusuf Mansuf atau Tuan Guru Bajang.
Lagi pula, gerakan hijrah yang dimaksudkan untuk tujuan politis atau gerakan ideologi kebencian yang secara nyata bertentangan dengan jati-diri dan paham kebangsaan kita, memang tidak selayaknya untuk dicurigai, tetapi harus ditolak, tentu saja.