Pro kontra Perpu Kebiri masih berlangsung, namun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 telah disetujui presiden. Perpu ini menggantikan Pasal 81 UU Perlindungan Anak 35/2014, intinya memberikan hukuman tambahan pidana mati, seumur hidup, pidana penjara paling singkat 10 tahun (Ayat 5), pengumuman identitas pelaku (Ayat 6), kebiri kimia dan pemasangan cip (Ayat 7) bagi pelaku kekerasan seksual yang menyebabkan korban luka berat, gangguan jiwa, terkena penyakit menular, terganggu atau rusaknya alat reproduksi dan/atau korban meninggal.
Ayat 7 dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun setelah pidana pokok dilaksanakan (Pasal 81 A ayat (1)). Hukuman juga ditambahkan 1/3 dari ancaman pidana bila perkosaan dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang memiliki hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga pendidikan, aparat yang menangani perlindungan anak atau perkosaan dilakukan oleh lebih dari satu orang.
Membandingkan Perpu dan UU Perlindungan Anak, terlihat Perpu fokus pada pemberatan hukuman. Memang, sampai kapanpun perkosaan adalah pelanggaran HAM berat, pelaku harus mempertanggungjawabkannya dimuka hukum. Alasan mabuk, dorongan nafsu, sakit, kesurupan, bahkan hilang ingatan sekalipun adalah alasan yang tidak bisa diterima. Karena pada dasarnya manusia dapat mengendalikan emosi, hawa nafsu, dan akalnya melalui kontrol kemampuan diri. Demikian narasi bukti dari Douglas Derryberry dan Marjorie A. Reed dalam Anxiety-Related Attentional Biases and Their Regulation by Attention Control.
Sayangnya, hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan justru tidak dibahas secara detail dalam Perpu. Paska kejadian, harus difokuskan pada kondisi korban dan keluarganya. Seperti NR, 14 tahun, diperkosa 5 orang laki-laki ketika pergi mengaji. Korban justru diusir oleh kepala kampung dan warga Dusun Jangan Asem, Sidoharjo. Koran di(ter)paksa tinggal di kandang bebek. Korban tentu menanggung beban bertubi-tubi. Padahal tidak seorangpun menginginkan perkosaan.
Dilain pihak, seperti pelaku kriminal lainnya, pemerkosa melakukan analisa/kalkulasi. Umumnya, pelaku akan mencari korban yang posisinya lebih rendah, bodoh, miskin, lebih rentan darinya. Sehingga dia berharap nantinya keluarga korban tidak banyak menuntut atau melakukan perlawanan balik (Lalumiere, ‘The Cause of Rape’).
Lantas bagaimana tanggung jawab pemulihan yang mestinya berjalan? Apa yang dialami NR potensi dialami oleh perempuan lain. Karenanya sistem sosial dan dukungan komunitas harus berjalan, Komnas Perempuan menyebutnya sebagai Pemulihan Dalam Makna Luas (PDML) dimana tanggung jawab pemulihan tidak hanya terfokus pada korban, tetapi juga keluarga, komunitas/masyarakat, dan Negara.
Bagi saya, skema perlindungan sosial harus memasukkan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan seksual. Sehingga pemulihan tidak hanya terbatas selama proses peradilan tetapi juga keberlangsungan hidup korban setelah kejadian. Karena jaminan atas hal itu sudah tercantum dalam Konstitusi UUD 1945.
Selain itu, tindakan preventif dan pertanggungjawaban pelaku harus difikirkan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan 146 Pasal sejatinya cukup komprehensif. Pelaku didefinisikan sebagai perseorangan atau kelompok yang terorganisair ataupun tidak, menyuruh, melakukan, turut membantu terjadinya kekerasan seksual. RUU memperhatikan relasi kuasa antara pelaku dan korban yang menjadi faktor terjadinya kekerasan seksual, sehingga diharapkan tidak ada tafsir berbeda antara aparat hukum. Definisi perkosaan (Pasal 8 Pemidanaan), diperluas tidak hanya penis-vagina tetapi termasuk memasukkan benda apapun ke dalam vagina, anus, dan mulut korban. 15 bentuk-bentuk kekerasan seksual terumuskan dalam Pasal 5, 6, 7, 9, 10, dan 11. Larangan/kontrol atas tubuh dan praktik budaya/tradisi yang melanggar hak asasi perempuan dijamin dalam Pasal 7.
Perempuan disabilitas/kelompok berkebutuhan khusus lainnya dilindungi Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 20 huruf (o) seperti penerjemah dalam peradilan dan layanan pendampingan khusus, dan korban yang tinggal/berada diluar negeri (Pasal 33). PDML bagi korban dimulai dari tingkat keluarga, komunitas/masyarakat tempat korban tinggal, dan negara (termasuk selama proses dan pasca peradilan berlangsung) dimana pembiayaan masuk dalam APBN/APBD (Pasal 34-39). Restitusi dimintakan pada pelaku bersamaan dengan tuntutan jaksa dan bukan uang damai, sepenuhnya digunakan untuk pemulihan korban. Jika tidak ada itikad baik dari pelaku dimintakan uang paksa dan jika pelaku tidak mampu, pemberatan pemidanaan, bukan dibayarkan negara (Pasal 92).
Ide dasar penghormatan terhadap tubuh perempuan, tercermin dari larangan pelecehan seksual mulai dari bentuk verbal (bersiul) dan tulisan yang dapat dipidana paling lama dua tahun. Bila dilakukan oleh pejabat publik hukuman mulai dari tindakan administrasi hingga pidana. Hukuman maksimal yakni seumur hidup (Pasal 5-11).
Upaya penghapusan kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan bagi korban, penindakan dan rehabilitasi pelaku yang menjadi tanggung jawab negara, korporasi, dan lembaga masyarakat dengan melibatkan peran keluarga dan komunitas. Salah satu pelibatan komunitas, misalnya bila sanksi adat sudah dijatuhkan tidak menghilangkan sanksi pidana (Pasal 95). Siapa yang akan melakukan monitoring dan evalusai atas pelaksanaan UU ini nantinya? Yakni Komnas Perempuan (Pasal 132–135) sebagai lembaga HAM nasional bermandatkan isu spesifik. Pada akhirnya, memang tidak bisa ditunda, RUU P-KS harus segera disahkan.
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Geotimes, dimuat ulang atas persetujuan penulis