Pernah gak sih, kamu kepikiran kalau animasi Upin & Ipin tuh gak cuma sekadar hiburan buat anak-anak?
Ternyata, di balik tingkah lucu si dwi-kembar bocil ini, ada anggapan kalau serial ini sebenarnya adalah bentuk propaganda dari Malaysia. Lho, kok bisa?
Upin & Ipin memang bercerita tentang dua anak kembar yang masih TK, tinggal di sebuah kampung di Malaysia. Mereka hidup bareng keluarga dan teman-temannya, dengan keseharian yang sederhana dan penuh canda tawa.
Dalam perkembangannya, gaya hidup yang sederhana itu bikin serial Upin & Ipin gampang banget diterima oleh penonton di Indonesia dan Malaysia.
Diplomasi Budaya atau Propaganda?
Dudy Heryadi, Dosen Hubungan Internasional di FISIP Universitas Padjadjaran, bilang kalau animasi ini punya cerita yang ringan dan membumi. “Kalau dilihat dari kacamata Hubungan Internasional, serial ini cocok banget buat jadi alat diplomasi budaya Malaysia. Bisa mempererat hubungan antara kedua negara,” katanya kepada CNN Indonesia.
Tapi, Dudy juga punya pandangan lain. Menurut dia, popularitas Upin & Ipin bisa juga jadi alat propaganda. “Serial ini bisa dipakai Malaysia buat menyebarkan klaim budaya mereka yang sering kali bersinggungan dengan Indonesia,” ujar Dudy.
Beberapa budaya yang sering muncul di Upin & Ipin termasuk lagu Rasa Sayange, keris, dan wayang kulit. “Jadi tentu saja akan digunakan oleh mereka untuk (mendapatkan) sebesar-besarnya keuntungan,” tambahnya.
Sengketa Budaya yang Panjang
Malaysia dan Indonesia emang sering banget ribut soal klaim budaya. Contohnya, Malaysia pernah mengklaim lagu Rasa Sayange sebagai milik mereka, dan itu bikin marah warga Indonesia. Lagu dari Maluku ini dipakai buat promosi turisme Malaysia di tahun 2007, bahkan jadi pembuka Sea Games 2017 di Malaysia.
Tapi, menurut Dudy, Indonesia gak perlu langsung marah-marah kalau ada budaya Nusantara yang diakui pihak lain. “Pemerintah harus pintar-pintar merespons propaganda Malaysia. Harus cari cara supaya bangsa Indonesia lebih mengenal budayanya sendiri,” kata Dudy.
Upin & Ipin, Simbol Persahabatan
Di sisi lain, Nor’Anira Haris, dosen Seni dan Budaya serta Koordinator Bidang Penulisan Kolej Pengajian Seni Kreatif UiTM Selangor Malaysia, melihat Upin & Ipin sebagai lambang kemiripan antara Indonesia dan Malaysia.
“Cerita Upin & Ipin punya kemiripan bahasa, budaya, keseharian, dan nilai budaya dengan Indonesia. Gak heran kalau serial ini gampang disukai dan populer di kedua negara,” ujarnya.
Selain itu, ada tokoh Susanti yang pindah dari Indonesia ke Malaysia dalam serial ini. Menurut Anira, Susanti adalah simbol persahabatan antarnegara tetangga. “Ia memupuk multikulturalisme, pemahaman lintas budaya, dan narasi positif hubungan bilateral, yang membantu menciptakan identitas regional yang lebih inklusif dan harmonis,” katanya dalam korespondensi dengan CNN Indonesia.
Jadi, meskipun Upin & Ipin terlihat seperti serial anak-anak yang lucu dan menghibur, ternyata ada banyak lapisan makna dan kepentingan di baliknya. Apa kamu juga merasakan hal yang sama?
Mengutip Ilmuan Sosial Kritis
Melihat dari perspektif yang lebih luas, Upin & Ipin memang punya dua sisi. Di satu sisi, mereka tak ubahnya dua anak kembar yang membawa keceriaan dan nilai-nilai positif tentang persahabatan dan kehidupan sederhana.
Tapi di sisi lain, mereka juga bisa dilihat sebagai alat promosi budaya yang memiliki agenda tertentu, yang tidak selalu bermakna buruk.
Kita bisa belajar dari Upin & Ipin bahwa memahami dan menghargai budaya sendiri itu penting banget. Bukan cuma soal mempertahankan apa yang kita punya, tapi juga soal bagaimana kita bisa berbagi dan saling menghormati dengan tetangga kita.
Jadi, meskipun Upin & Ipin terlihat seperti serial anak-anak yang lucu dan menghibur, ternyata ada banyak lapisan makna dan kepentingan di baliknya.
Hal itu rupanya pernah juga disinyalir oleh dua pemikir ilmu sosial kritis dari Sekolah Frankfurt seabad lalu. Nama mereka adalah Theodor Adorno dan Max Horkheimer.
Keduanya membahas banyak isu global. Salah satunya adalah bagaimana produk-produk budaya yang distandardisasi dan homogen, seperti serial televisi, digunakan untuk menyebarkan ideologi yang mendukung kapitalisme dan status quo.
Dalam hal ini, Upin & Ipin bisa dilihat sebagai produk dari industri budaya yang tidak hanya menghibur tetapi juga menyampaikan pesan-pesan budaya dan ideologi tertentu.
Dengan popularitasnya yang tinggi, Upin & Ipin dapat menjadi alat untuk mempromosikan dan menyebarkan budaya Malaysia secara luas, sehingga mendukung agenda politik dan ekonomi Malaysia.
Hegemoni Budaya?
Hal senada juga menjadi salah satu konsentrasi bidang yang digeluti Antonio Gramsci, seorang ilmuan yang menjadi saksi ketika ideologi Nazi sedang lucu-lucunya hingga nyaris menjadi penguasa dengan dua kali perang dunia.
Gramsci berargumen bahwa kelas penguasa mempertahankan kekuasaan mereka melalui hegemoni budaya, yaitu dominasi nilai-nilai dan norma-norma yang diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang alami dan tak terelakkan.
Dalam konteks Upin & Ipin, serial ini dapat dilihat sebagai alat untuk menyebarkan nilai-nilai dan norma-norma yang mencerminkan ideologi dan budaya Malaysia.
Contohnya, dengan menyajikan kehidupan sehari-hari yang ideal dan harmonis di Malaysia, serial ini dapat mempengaruhi pandangan penonton tentang budaya dan masyarakat Malaysia secara positif, sehingga memperkuat hegemoni budaya Malaysia di kawasan regional, termasuk Indonesia yang cukup dekat dengan budaya Melayu.