
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyatakan kesiapan untuk merelokasi seribu warga Gaza ke Indonesia. Dalam narasi publik, langkah ini dipresentasikan sebagai bagian dari misi kemanusiaan. Namun dalam politik internasional terutama dalam konteks penjajahan struktural yang telah berlangsung selama puluhan tahun di Palestina tidak ada kebijakan yang netral.
Solidaritas bukan sekadar soal niat baik melainkan soal posisi dan pemahaman terhadap struktur kekuasaan global yang bekerja secara senyap.
Dalam konteks inilah intervensi Achille Mbembe menjadi penting. Dalam bukunya yang berjudul Necropolitics (2011) menyatakan bahwa kekuasaan modern tidak lagi cukup dipahami melalui lensa biopolitik seperti yang dikemukakan Michel Foucault. Kekuasaan tidak hanya mengatur kehidupan melainkan semakin ditentukan oleh kemampuannya dalam memproduksi kematian.
Necropolitics adalah cara kekuasaan mendefinisikan siapa yang hidup dalam kondisi yang layak siapa yang hidup dalam penangguhan dan siapa yang dibiarkan mati secara perlahan atau brutal. Mbembe menulis bahwa koloni adalah laboratorium asli dari politik kematian dan dalam konteks ini Gaza menjadi ilustrasi konkret dari ruang di mana hidup dan mati tidak dipisahkan oleh hukum melainkan oleh dominasi militer permanen.
Ketika Indonesia sebagai negara pascakolonial menyatakan niat untuk merelokasi warga Gaza maka pertanyaannya bukan apakah itu baik atau buruk secara moral, melainkan apakah tindakan itu memperkuat atau melawan logika necropolitik yang sedang dijalankan atas Gaza oleh kekuasaan kolonial Israel.
Di bawah necropolitics kekuasaan tidak perlu membunuh secara langsung. Ia cukup menciptakan kondisi di mana kehidupan tidak mungkin berlangsung. Ia cukup menghancurkan rumah rumah sakit pasokan listrik dan akses pangan.
Ia cukup mendorong eksodus tanpa menyentuh satu pun tubuh dengan peluru. Maka ketika negara lain menawarkan relokasi kekuasaan kolonial telah mencapai tujuannya yaitu membuktikan bahwa Gaza bukan lagi tempat hidup. Yang dilakukan Indonesia dalam hal ini adalah memberi legitimasi baru terhadap penghapusan ruang itu.
Yang diperjuangkan rakyat Palestina bukan semata hidup tetapi hidup di dalam tanah yang menjadi bagian dari sejarah dan identitas mereka. Mereka tidak berjuang agar bisa dipindahkan ke tempat aman tetapi agar tempat yang mereka tinggali hari ini tidak dideklarasikan sebagai ruang mati.
Dalam kerangka necropolitik Gaza bukan hanya zona konflik tetapi zona kematian yang diadministrasikan. Di sinilah kekeliruan fundamental Presiden Prabowo tampak. Ia membaca krisis Palestina dengan kacamata belas kasihan bukan sebagai proyek geopolitik kolonial yang sedang berlangsung.
Ia melihat tubuh tubuh yang terluka tetapi tidak melihat bagaimana ruang dan waktu sedang dihancurkan secara sistematis. Ia mencoba menyelamatkan kehidupan tetapi dengan cara yang memisahkannya dari tanah yang membuat hidup itu politis.
Relokasi warga Gaza ke Indonesia adalah tindakan yang secara tidak langsung mengafirmasi bahwa perjuangan atas tanah telah berakhir.
Bahwa kemenangan kolonial bisa disempurnakan dengan cara yang tampak seperti penyelamatan. Dan dalam logika necropolitik inilah kekuasaan modern bekerja.
Tidak ada lagi pembunuhan yang kasar yang ada adalah pengelolaan ruang dan waktu yang membuat hidup tak mungkin berlangsung. Ketika seribu warga Gaza diterima oleh Indonesia maka yang dikukuhkan bukan hanya pengungsi tetapi kematian politik. Tubuh yang dipindahkan dari Gaza menjadi tubuh yang kehilangan hak atas klaim sejarah. Ia masih hidup tetapi telah tercerabut dari narasi. Ia masih bisa berjalan tetapi tidak lagi memiliki arah.
Presiden Prabowo dalam hal ini gagal membaca bahwa kemanusiaan yang tidak dikaitkan dengan perjuangan atas ruang hanya akan menjadi alat dari kekuasaan kolonial itu sendiri.
Necropolitics adalah sistem yang menjadikan belas kasihan sebagai bentuk tertinggi dari pengendalian. Ketika negara menyelamatkan tubuh tetapi membiarkan tanah dihancurkan maka yang dihasilkan bukan pemulihan tetapi penghapusan yang dikelola.
Relokasi menjadi instrumen pengelolaan kematian karena ia tidak menyelamatkan sejarah. Ia hanya mengatur distribusi tubuh dalam dunia yang sudah disusun berdasarkan ketimpangan kekuasaan. Dalam dunia seperti ini tidak ada tindakan yang tidak politis. Bahkan penyelamatan bisa menjadi bagian dari genosida ketika ia dijalankan tanpa kehendak untuk mempertahankan tempat.
Sebagai negara yang pernah dijajah Indonesia seharusnya lebih peka terhadap logika kematian yang dibungkus sebagai penyelamatan.
Indonesia seharusnya tahu bahwa kolonialisme tidak selalu hadir dengan kekerasan tetapi bisa bekerja melalui retorika kemanusiaan. Sejarah bangsa ini dibentuk oleh perlawanan terhadap pengusiran terhadap dislokasi terhadap pembuangan.
Maka ketika Indonesia hari ini menawarkan pembuangan yang dilembutkan menjadi relokasi Indonesia sedang mengkhianati sejarahnya sendiri. Ini bukan soal satu kebijakan. Ini soal cara berpikir. Negara pascakolonial yang tidak membaca struktur akan selalu menjadi kaki tangan kekuasaan global bahkan ketika niatnya adalah untuk membantu.
Yang dibutuhkan rakyat Gaza hari ini bukanlah visa keluar tetapi jaminan bahwa tempat mereka tidak akan dihapus dari peta. Mereka tidak butuh pelarian mereka butuh pengakuan. Mereka tidak minta diselamatkan dari tanah mereka sendiri mereka minta agar tanah itu tidak dijadikan kuburan permanen. Dan Indonesia sebagai negara yang mengklaim berdiri di sisi Palestina harus memahami bahwa dalam konflik ini menyelamatkan tubuh dengan memindahkannya adalah bentuk lain dari pembiaran atas kematian ruang.
Mbembe menyebut bahwa dalam necropolitics kekuasaan tidak hanya membiarkan tubuh mati tetapi juga membuat hidup menjadi tidak layak dijalani.
Gaza adalah ekspresi dari bentuk kekuasaan ini. Ketika Indonesia mengambil warga Gaza dan memisahkannya dari tanahnya maka Indonesia menjadi bagian dari pengelolaan kematian itu. Tidak dengan senjata tetapi dengan birokrasi. Tidak dengan penjajahan tetapi dengan pengurusan kemanusiaan. Namun hasil akhirnya tetap sama yaitu penghapusan atas tempat yang seharusnya dipertahankan.
Jika Presiden Prabowo ingin menunjukkan komitmen terhadap perjuangan Palestina maka yang harus dilakukan adalah menolak relokasi. Bukan karena tidak peduli tetapi justru karena peduli.
Karena yang dibutuhkan Palestina bukan tempat baru tetapi dunia yang menolak untuk menghapus tempat lama mereka. Relokasi bukan solusi. Relokasi adalah konfirmasi bahwa kematian politik telah diterima. Dan negara yang memilih jalur ini sedang menandatangani secara simbolik bahwa penjajahan telah selesai dan kemenangan kolonial bisa dirayakan bersama dengan penyelamatan yang tampak simpatik tetapi sejatinya nihil.
Virdika Rizky Utama, Direkytur Eksekutif PARA Syndicate dan Dosen Hubungan Internasional President University.