Ulama-ulama muslim tak akan dikenang jika ia tak memiliki karya. Sehebat apapun ulama tersebut, jika ia tidak memiliki karya, maka namanya akan hilang ditelan zaman. Namun sebaliknya, tidak hanya cukup memiliki satu-dua karya, banyak juga ulama muslim yang memiliki karya di atas 50an karya, bahkan ratusan.
Syekh Jamil al-Adzhim al-Dimasyqi bahkan menulis satu buah karya khusus yang menjelaskan hal ini. Ia menulisnya dalam kitab “Uqud al-Jauhar fi Tarajimi man Lahum Khamsuna Tashnifan fa Miatun fa Aktsar.” Nama-nama yang disebutkan oleh al-Adzhim al-Dimasqi ini dukutip oleh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya “Qimatuz Zaman ‘Indal Ulama.”
Beberapa ulama yang memiliki karya di atas 50 hingga ratusan tersebut adalah:
Pertama, Ibn Jarir at-Thabari.
Kedua, Ibn al-Jauzi.
Ketiga, an-Nawawi.
Keempat, Ibn Sina.
Kelima, al-Ghazali.
Keenam, Ibn Hajar al-Asyqalani.
Ketujuh, al-Badr al-Aini.
Kedelapan, al-Suyuthi.
Kesembilan, Ibn Taymiyah.
Kesepuluh, Ibnul Qayyim.
Kesebelas, Ali al-Qari.
Kedua belas, al-Munawi.
Ketiga belas, Abdul Ghani an-Nabilisi.
Keempat belas, Abdul Hay al-Laknawi.
Ulama-ulama tersebut memiliki karya dari 50 hingga lebih dari seratus. Abdul Fattah Abu Ghuddah bahkan tidak ingin menyebutkan karya-karyanya, karena takut mengambil pembahasan yang cukup panjang dibukunya.
Hal ini bisa jadi pengingat dan penyemangat bagi kita untuk berkarya sebanyak-banyaknya. Karena sekali lagi, manusia tidak akan dicatat namanya dalam sejarah jika ia tidak memiliki karya.
Wallahu A’lam.