Ulama dan Perubahan Iklim di Indonesia: Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam

Ulama dan Perubahan Iklim di Indonesia: Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam

PPIM UIN Jakarta merilis hasil riset bertajuk “Ulama dan Perubahan Iklim di Indonesia: Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam”

Ulama dan Perubahan Iklim di Indonesia: Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam

Jakarta, islami.coPusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta meluncurkan hasil riset bertajuk “Ulama dan Perubahan Iklim di Indonesia: Integrasi Isu Perubahan Iklim dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam” pada Kamis (4/7/2024) di Hotel Ashley, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Riset Ulama dan Perubahan Iklim ini merupakan hasil kerjasama antara PPIM UIN Jakarta dengan Greenpeace Indonesia melalui kampanye ‘Ummah for Earth’.

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memahami signifikansi, relevansi, dan potensi memasukkan topik-topik perubahan iklim dan lingkungan hidup atau Climate Change Education (CCE) ke dalam kurikulum pendidikan Islam.

Dimasukkannya CCE ke dalam kurikulum pendidikan Islam dilakukan dalam rangka mempersiapkan para pemimpin agama di masa depan dalam mengatasi tantangan lingkungan secara efektif.

Didin Syafrudin selaku Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta mengatakan, peran penting pendidikan dalam membentuk masa depan bumi dan seisinya semakin mengemuka di era yang penuh dengan tantangan lingkungan.

“Di era yang penuh dengan tantangan lingkungan yang tiada duanya, dan seruan mendesak untuk melakukan upaya terpadu dalam memerangi perubahan iklim, peran penting pendidikan dalam membentuk masa depan planet kita semakin mengemuka,” ujarnya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, meliputi diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) sebanyak 14 kali dan wawancara di lima perguruan tinggi Islam dalam rentang tiga bulan.

“Penelitian kami telah mengungkap beberapa tantangan yang menghambat integrasi isu CCE ke dalam pendidikan tinggi Islam,” ungkap Testriono, peneliti UIN Jakarta.

Di antara tantangan-tantangan yang ditemukan adalah tidak adanya mata kuliah mata kuliah khusus tentang CCE, pelembagaan CCE di perguruan tinggi yang masih terbatas, rendahnya komitmen dan motivasi pemimpin perguruan tinggi Islam terhadap CCE, dan kurangnya keselarasam CCE dalam misi dan tujuan perguruan tinggi.

“Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, kami mengusulkan strategi ganda yang mencakup pendekatan jangka pendek dan jangka panjang,” beber Testriono.

Dalam jangka pendek, pemangku kepentingan di perguruan tinggi Islam dapat memasukkan topik CCE ke dalam mata kuliah yang relevan dan tersedia, mengadakan lokakarya perubahan iklim untuk mendidik para dosen tentang isu-isu CCE, serta menyusun dan mengembangkan modul CCE untuk dosen universitas.

Selain itu, para pemangku kepentingan juga dapat mengambil strategi yang berupa memberdayakan organisasi mahasiswa untuk melakukan advokasi aksi iklim di kampus.

Sementara itu, dalam jangka panjang, para pemimpin di perguruan tinggi dapat mengembangkan mata kuliah khusus yang berfokus pada CCE dalam kurikulum perkuliahan.

Strategi tersebut mencakup advokasi kerangka kebijakan yang kondusif bagi integrasi CCE, melibatkan pimpinan perguruan tinggi untuk menyelaraskan dengan CCE, dan mendirikan Pusat Pendidikan Perubahan Iklim yang berfokus pada penelitian dan advokasi.

Rahma Shofiana selaku Ummah for Earth Project Lead Greenpeace Indonesia memaparkan, di tengah laju krisis iklim yang semakin cepat, kesadaran semua pihak untuk melakukan aksi iklim sangatlah diperlukan.

“Agar pengetahuan iklim menjadi kerangka modul pembelajaran, sehingga melahirkan pemimpin muslim yang berinisiatif ke dalam tindakan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan untuk mengatasi krisis iklim,” pungkasnya.