Pemerintah Indonesia, di bawah Presiden Jokowi, telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tentang pemberian izin usaha pertambangan (IUP) mineral dan batu bara bagi organisasi massa (ormas) keagamaan tanpa melalui proses lelang (30 Mei 2024). Langkah ini masih terus memicu kontroversi dan protes dari berbagai kalangan masyarakat Muslim.
Kebijakan tersebut semakin memperkuat penilaian aksi dan target iklim yang dilakukan pemerintah Indonesia masih sangat tidak memadai atau dikategorikan sebagai “Critically Insufficient” (Climate Action Tracker, 2023). Penilaian itu sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah tidak berkomitmen terhadap “Paris Agreement”, sebuah perjanjian internasional terhadap mitigasi, adaptasi, dan finansial perubahan iklim yang diadopsi pada 2015.
Akankah Gerakan Lingkungan Berbasis Islam di Indonesia Masih Menjanjikan Dalam Mengurangi Laju Krisis Iklim di Tengah Konsolidasi Kekuasaan Jokowi?
Sebagaimana teori fungsionalisme yang dinyatakan Emile Durkheim (1912), bahwa agama dapat menjadi sarana integrasi sosial, ekspresi kolektif, dan penguatan solidaritas. Dalam konteks ini, agama dipandang sangat memungkinkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat Muslim secara luas untuk bertanggung jawab dalam melestarikan alam.
Dalam riset “Religious Environmental Actions” (REACT), yang sedang saya lakukan bersama tim peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), kami menemukan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ormas keagamaan Islam telah memainkan perannya untuk meningkatkan kesadaran moral mengenai pentingnya pelestarian lingkungan bagi masyarakat Muslim di Indonesia. Mereka telah berkontribusi dalam mengartikulasikan etika lingkungan keagamaan untuk mengatasi ancaman krisis ekologi global, seperti bencana alam, polusi, dan perubahan iklim.
Kita memang patut berbangga atas upaya-upaya yang telah dilakukan oleh ormas-ormas keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang terlibat dalam mengarusutamakan dan mengadvokasi isu-isu lingkungan.
Dalam mengampanyekan pelestarian lingkungan, mereka juga telah berkolaborasi dalam menginisiasi berbagai forum konferensi dan deklarasi tokoh-tokoh keagamaan untuk menyuarakan pentingnya peran agama dalam mengatasi krisis iklim baik di tingkat nasional maupun internasional.
Ormas-ormas Islam di Indonesia juga telah mengembangkan praktik baik melalui beragam proyek sosio-ekologis, sebagaimana dapat disaksikan dengan program-program lingkungan bernuansa Islami seperti eko-dakwah, eko-masjid, eko-pesantren, eko-ramadhan, penanaman pohon bersama, pengelolaan sampah, perubahan transisi energi, dan program-program lingkungan lainnya.
Untuk menunjukkan komitmen keprihatinan terhadap masalah lingkungan, salah satu ormas keagamaan Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, misalnya, mendirikan beberapa lembaga khusus, seperti Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Muhammadiyah, Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) ‘Aisyiyah, dan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Sementara NU juga mendirikan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI- NU).
Kedua ormas Islam tersebut juga menjadi anggota aktif dari organisasi peduli lingkungan seperti Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia, Humanitarian Forum Indonesia (HFI) Indonesia, dan Muslim for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC).
Meski aktivisme Green Islam terus berkembang, gerakan lingkungan yang diinisiasi oleh ormas-ormas Islam tersebut masih dapat dikategorikan sebagai proyek sosio-ekologis berskala kecil. Mereka belum mampu memainkan peran sebagai pengawas untuk menantang agenda pembangunan negara yang masih bergantung pada ekstraksi sumber daya alam, bahan bakar fosil, dan deforestasi, yang mengakibatkan percepatan laju krisis iklim di Indonesia. Sebaliknya, mereka masih tidak berdaya.
Kasus terbaru yang menegaskan situasi tersebut dapat disaksikan dari absennya suara penolakan ormas keagamaan Islam terhadap ekspansi perkebunan sawit yang merampas hutan adat Papua seluas 36.094,4 hektare oleh korporasi dengan izin negara.
Mirisnya, sebelumnya pemerintah Indonesia telah melakukan pembiaran deforestasi di tanah Papua yang luasnya mencapai 765,71 hektare hanya dalam rentang periode Januari-Februari di tahun ini.
Di tengah defisit demokrasi dan konsolidasi kekuasaan di era Jokowi, disertai dengan lemahnya kekuatan partai oposisi, ormas keagamaan Islam telah menjadi sasaran empuk kooptasi.
Pemberian IUP mineral dan batu bara, khususnya terhadap ormas keagamaan Islam, hanya akan membungkam kelompok pengawas potensial dari masyarakat sipil Islam. Padahal masyarakat berharap bahwa ormas-ormas keagamaan yang memiliki jutaan pengikut Muslim itu, seperti NU dan Muhammadiyah, seharusnya memainkan peran signifikan untuk menjadi watchdog groups, yang dapat mengawasi agenda pemerintah untuk merealisasikan percepatan transisi energi hijau.
Melihat kedekatan dan sikap anti kritik NU terhadap pemerintahan Jokowi belakangan ini sekaligus menandakan bahwa kelompok ormas Islam turut berperan dalam melakukan pembiaran terhadap sistem ekonomi politik yang eksploitatif dan konsolidasi kekuasaan yang didominasi oleh hubungan antara kekuasaan dan oligarki.
Situasi ini juga dapat dikaitkan langsung dengan dukungan Pengurus Besar NU (PBNU) terhadap rencana pemberian IUP kepada ormas keagamaan dan sikap cepat tanggap mereka untuk menjadi ormas agama paling pertama yang mengajukan izin usaha pertambangan kepada pemerintah.
Meski NU telah meminta izin tambang mineral dan batu bara kepada pemerintah, kita masih perlu menyisakan ruang sempit optimisme bagi Muhammadiyah. Ormas keagamaan tersebut kini belum secara tegas memutuskan apakah akan mengajukan atau menolak kesempatan pemberian IUP dari pemerintah. Meski demikian, telah senter tersebar kabar juga bahwa Muhammadiyah akan menerima pemberian izin usaha pertambangan tersebut.
Sementara itu, kita perlu mengapresiasi atas sikap ormas agama lain, seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), yang mewakili umat agama minoritas Katolik dan Kristen Protestan di Indonesia. Mereka secara kompak menegaskan tidak akan mengajukan IUP yang diberikan oleh pemerintah.
Lalu, masihkah ada sedikit ruang untuk optimisme?
Untuk memastikan agar pemerintah dapat merealisasikan transisi energi berkeadilan di Indonesia, hal itu mungkin akan bergantung pada konsistensi dan resistensi gerakan masyarakat sipil Islam lainnya.
Diharapkan bahwa organisasi-organisasi sayap yang berafiliasi dengan NU dan Muhammadiyah masih peduli terhadap isu kritis ini dan segera menyatakan sikap tegas untuk menolak pemberian IUP demi menjaga independensi dan komitmen moral keagamaan mereka dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang berkelanjutan.
Alasan kedua untuk tetap optimis adalah fakta bahwa kita masih memiliki gerakan masyarakat sipil peduli lingkungan yang berani menantang agenda pemerintah yang masih tidak berkomitmen pada aksi iklim global.
Kemunculan kelompok-kelompok gerakan lingkungan berbasis Islam seperti Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Kader Hijau Muhammadiyah (KHM), dan Ummah For Earth, yang memiliki konstituen akar rumput yang kuat serta jejaring aktivis pro-lingkungan terkemuka di Indonesia, menandai masih adanya sebuah harapan untuk mencegah pembiaran kerusakan lingkungan.
Melindungi hak-hak sosial individu warga negara membutuhkan lebih dari hanya sekadar kemarahan dan ketakutan. Untuk memeroleh hak hidup yang layak, sehat, dan berkelanjutan di masa depan, kita harus berusaha lebih keras untuk menuntut keadilan iklim.
(AN)