Uang Berasal dari Video Joget Tik-Tok, Haruskah Dizakati?

Uang Berasal dari Video Joget Tik-Tok, Haruskah Dizakati?

Uang Berasal dari Video Joget Tik-Tok, Haruskah Dizakati?

Sebagaimana yang kita semua alami, lebaran kemarin sangat dipenuhi oleh teknologi. Dan sebagaimana yang juga kita tau, bahwa lebaran adalah momen pertemuan lintas generasi.

Ceritanya, ada seorang laki-laki berusia kurang lebih 55 tahun. Ia menjabat sebagai ketua badan amil zakat tingkat kota dari salah satu ormas terkemuka di Indonesia. Untuk merespon digitalisasi, ia membuat akses sedekah via crowdfunding yang terintegrasi dengan website badan amil zakat di tingkat pusat.

Tujuannya, supaya memperbesar peluang orang bersedekah dan membebaskan para dermawan dari batasan lokasi dan bentuk uang. Melalui platform itu, pengguna e-wallet apapun dapat bersedekah ke badan amil zakat tersebut.

Sebagaimana momen lebaran pada umumnya, suasana rumah selalu meriah berkat anak-anak dan remaja muda. Tapi, kegiatan lari kesana kemari sampai menyenggol gelas hingga pecah sudah semakin minim. Orang-orang tua sadar bahwa itu berbahaya. Anak-anak lebih baik duduk anteng. Maka diberikanlah kartun edukasi di Youtube agar suasana tidak riweuh.

Para remaja muda, bersemangat main bareng Mobile Legend. Sebagian lain, ada yang duduk hening scoll Instagram. Sementara sebagian lainnya, ada yang joget-joget dan berunding soal koreografi apa yang layak dicoba.

Suasana itu menarik perhatian pak ketua amil zakat. Ia menghampiri ponakan-ponakannya yang sedang merancang koreografi, dan menanyakan soal apa yang sedang mereka lakukan?

“Kami sedang membuat video Tik-Tok”, jawab salah seorang ponakan. Ditanya soal apa manfaatnya, mereka menjawab bahwa Tik-Tok dapat mendatangkan uang.

Salah satu ponakannya (usia 17 tahun) yang paling jago main Tik-Tok pun menjelaskan panjang lebar soal bagaimana Tik-Tok dapat dimonetisasi dan berapa potensi nominal yang mungkin didapatkan dari hasil konversi durasi menonton (watching time) dan konversi jumlah penonton (viewers).

Mendengar potensi itu, pak ketua amil zakat pun teringat dan menceritakan soal crowdfunding badan amil zakatnya kepada si ponakan. Ia penasaran, bagaimana cara agar monetisasi Tik-Tok dapat dialirkan ke crowdfunding-nya. Si ponakan pun akhirnya mengajarkan pak ketua amil zakat soal seluk-beluk Tik-Tok.

Sebagai pamungkas, ia mengatakan bahwa saldo Tik-Tok perlu dialihkan lebih dulu ke e-wallet agar kemudian bisa disedekahkan di crowdfunding badan amil zakat. Dan, tidak lupa bahwa yang terpenting dari semua itu adalah: menginstall aplikasi Tik-Tok.

Sepuluh hari setelah lebaran, kami bertiga―saya, pak ketua amil zakat dan si ponakan―bertemu lagi di salah satu rumah kerabat. Sejak obrolan saat lebaran kemarin, pertemuan mereka berdua kini lebih cair. Pak ketua amil zakat bercerita pada si ponakan bahwa ia telah berhasil menyumbangkan Rp.350.000 dari Tik-Tok ke crowdfunding-nya. Pak ketua amil zakat mengatakan “selama bisa digunakan untuk sedekah, apapun harus dimanfaatkan. Kan lumayan, cuma gini doang [nonton video TIK-Tok] tapi dapet uang.”

Singkat cerita, si ponakan pulang lebih dulu. Sementara saya dan pak ketua amil zakat masih lanjut bertamu. Ia yang biasanya sibuk dengan grup Whatsapp dan Facebooknya, kini mulai tergantikan oleh Tik-Tok. Sambil menunggu istrinya ngobrol dengan tuan rumah, pak ketua amil zakat scrolling dari satu video ke video lain.

***

Bagaimana seharusnya fenomena itu dilihat? Apakah harus pakai kacamata fiqh? Ataukah pakai kacamata tasawuf? Atau sudah cukup begitu saja bahwa tak ada masalah sama sekali? Atau, kalau memang salah satu dari kacamata fiqh dan tasawuf bisa diaplikasikan, maka bagaimana membedahnya? Adakah khazanah pesantren yang dapat membedah kasus pak ketua amil zakat yang notabenenya adalah sebuah anomali?

Di Indramayu―sebagaimana potret etnografisnya dapat kita temukan di novel Kelir Slindet (2019) milik Kedung Dharma Romansa―mudah untuk menemukan seorang telembuk (pelacur) yang menyedekahkan hartanya untuk pembangunan Masjid.

Kacamata fiqh mungkin akan mengatakan bahwa uang sedekah itu tak sepatutnya diterima karena berasal dari kegiatan menjual diri. Tapi kacamata tasawuf akan mengatakan bahwa bertanya soal sumber penghasilan adalah sesuatu yang kurang etis, dan setiap niat baik harus diterima, karena tidak satu pun dari kita yang tau bahwa boleh jadi ada satu kemuliaan yang tak kasat mata di baliknya.

Artinya, dalam kasus telembuk, domain permasalahannya dapat diidentifikasi dengan jelas. Fiqh menggaris bawahi soal ‘sumber dan cara mencari’ uang. Sementara, tasawuf menggarisbawahi dimensi etika sosial. Sedangkan kasus pak ketua amil zakat adalah tidak termasuk dalam dua kategori itu.

Kasus pak ketua amil zakat adalah representasi bagaimana kapitalisme digital mendefinisikan ulang pengertian ‘sumber uang’ dan ‘etika sosial,’ yang evolusinya masih belum begitu terintegrasi dengan perdebatan fiqh ataupun tasawuf.

Dalam perbendaharaan fiqh analog, ‘sumber uang’ adalah barang dan jasa. Di samping itu, fiqh sangat memperhatikan soal bagaimana kedua hal itu dipraktikkan. Sedangkan kapitalisme digital bekerja bukan berdasarkan barang atau jasa. Tapi market of attention, atau persaingan merebut perhatian orang dalam menatap layar.

Akan tetapi, durasi hanyalah poin permukaan dari market of attention, sedangakn poin substansinya adalah kognisi. Durasi yang dipertukarkan, pada dasarnya, adalah ‘kognisi’ yang kita relakan untuk dipertukarkan dengan monetisasi. Fakta telah menunjukkan bahwa media sosial punya dampak kognitif yang mengakar sampai batang otak dan meregulasi ulang bagaimana kita merasakan sensasi hubungan sosial.

Ketika seseorang memberikan durasi perhatian yang berlebihan, fiqh dapat mengatakan bahwa “ini makruh”. Dan tasawuf pun mungkin akan bersepakat dengan fiqh karena ada hal lain yang lebih bermanfaat untuk dilakukan selain nonton video.

Tapi, ketika yang ditonton adalah video-video ceramah, bukan video goyang pinggul, atau ketika monetisasi itu diarahkan untuk tujuan-tujuan baik, seperti sedekah atau membangun masjid misalnya, vonis yang diberikan oleh fiqh atau tasawuf mungkin akan melunak, atau bahkan dapat dinegosiasi ulang. Dengan kata lain, market of attentionpunya kelenturan ketika berhadapan dengan fiqh atau tasawuf.

Fiqh peduli soal konten apa dan bagaimana teknologi digunakan. Tapi market of attention tak peduli, karena tujuan awalnya adalah untuk memastikan bahwa semua orang terpaku pada layar. Market of attention akan menyesuaikan sajian konten berdasarkan keingian si pengguna. Mau ceramah atau goyang pinggul, market of attention tak peduli, selama konten itu dapat menarik perhatian pengguna untuk ‘menginvestasikan’ waktu dan kognisinya terhadap platform.

Itulah yang membedakan market of attention dengan market of prostitution ataupun market of analog economy. Market of prostitution tak bisa mengubah komoditasnya, market of attention bisa. Market of analog economy tak bisa mengubah teknis prosedurnya, market of attention bisa.

Di mata fiqh, prostitusi tetap haram meski teknik marketingnya sesuai kaidah jual-beli. Uang hasil mengurangi timbangan tetap haram meski yang dijualnya adalah barang halal.

Di market of attention, kalau konten goyang pinggul adalah makruh, maka bisa diganti konten ceramah. Kalau menonton video selama 8 jam adalah membahayakan kesehatan, maka bisa dicicil perhari.

Hal ini salah satunya disebabkan karena basis market of attention yang berasal dari non-materi. Sehingga, market of attention―kalau ditinjau dari kacamata fiqh jual-beli ataupun sedekah analog―seakan tak memiliki sesuatu yang membahayakan atau merugikan secara ekonomi. Meskipun, dalam hal ini, pegiat kajian budaya media dapat protes berat karena dianggap mengabaikan dampak budaya yang ditimbulkan dari market of attention.

Dalam konteks jual-beli dan sedekah, basis materi sangat menentukan konsep ikhlas. Ketika muncul market of attention yang berbasis non-materi sebagai sumber sedekah, maka ‘ikhlas’ dapat mengalami dekonseptualisasi.

Bayangkan jika, misal cita-cita membangun masjid, membangun pondok, atau apapun yang dianggap mulia, dapat terselenggara berkat monetisasi kapitalisme digital. Orang tak perlu mencari materi, cukup menukar waktu dan kognisinya agar mendapat monetisasi.

Efek domino-nya, anggaplah misal dalam kurun waktu 50 tahun kedepan, market of attention dapat menjadi logika baru bagi institusi pendidikan ataupun keagamaan. 50 tahun kedepan, tidak mustahil jika badan amil zakat ataupun divisi keuangan pesantren cukup membuat konten-konten yang dapat menarik perhatian sebagai ‘tambang’ finansial untuk memenuhi kebutuhan yang ada―proposal pendanaan mungkin akan menjadi teknik yang ketinggalan.

‘Gratis’ dan mudah. Namun, hanya karena basis market of attention adalah non-materi (bit), bukan berarti tak ada biaya yang perlu dibayar. Logika market of attention perlu dibayar dengan harga: tak ada lagi minat terhadap baca tulis, derasnya penurunan kognisi, menguatnya semangat kerecehan, menguatnya naluri ekshibisionisme, dan menurunnya tradisi menulis. Biaya-biaya inilah yang perlu dimasukkan sebagai pertimbangan tambahan ketika melihat keinstanan monetisasi media sosial.

Apa yang dilakukan pak ketua amil zakat dapat menjadi budaya baru. Tidak menutup kemungkinan bahwa akan muncul sebuah istilah baru, ‘akun jariyah’, yakni akun yang didedikasikan untuk sedekah; tidak menutup kemungkinan bila esok peminta jariyah di pinggir jalan akan ditatap sebagai sesuatu yang usang; tidak mustahil bila esok semua orang akan ikhlas karena tak ada basis materi yang dikorbankan; tidak menutup kemungkinan bila esok, institusi pendidikan, agama atau institusi apapun yang membutuhkan biaya, akan mengejar viralitas.

Apa hukum sedekah dari hasil mengorbankan kognisi?