Memiliki anggota tubuh yang bisa berfungsi sempurna adalah merupakan suatu nikmat yang tidak terkira. Cara mensyukurinya adalah dengan menggunakan fungsi anggota tubuh kita dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah dengan menggunakannya menerima ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Bagi orang yang memiliki pendengaran dan penglihatan normal misalnya, ia tidak diperkenankan mengulur-ulur waktunya untuk mengerjakan sholat setelah mendengarkan adzan dan atau melihat sudah masuknya waktu sholat. Hal ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Lalu bagaimana dengan seorang tunanetra (buta) sekaligus tunarungu (tuli), apakah mereka masih wajib menjalankan sholat?
Menjawab hal ini mungkin perlu kita urai terlebih dahulu. Apakah kedua difabilitas tersebut terjadi semenjak ia baru lahir atau setelah dia baligh. Jika hal itu terjadi setelah dia baligh maka ia memungkinkan mengenal sholat dan tata caranya. Sehingga ia masih tetap diwajibkan sholat.
Hal ini sesuai tuntunan Nabi dalam hadisnya yang mengharuskan orang tua agar mengajarkan anak-anaknya sholat sebelum baligh melalui riwayat Abu Dawud.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak-anakmu sholat setelah mereka memasuki usia tujuh tahun, dan pukullah mereka (karena meninggalkan sholat) bila sudah menginjak usia 10 tahun. Dan pisahkanlah tempat tidur mereka.“
Hal ini ditekankan oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zein.
بِخِلَاف من طَرَأَ عَلَيْهِ ذَلِك بعد الْمعرفَة فَإِنَّهُ مُكَلّف
“Berbeda hukumnya bagi orang yang mengalami tunanetra dan tunarungu setelah mengetahui (hukum-hukum syara) maka sesungguhnya ia mukallaf (diwajibkan sholat).”
Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Al-Bujairimi dalam Syarah al-Bujairimi alal Khatib.
أَمَّا الطَّارِئُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ التَّمْيِيزِ فَكَالْأَصْلِيِّ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ التَّمْيِيزِ وَلَوْ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَعَرَفَ الْحُكْمَ تَعَلَّقَ بِهِ الْوُجُوبُ اهـ اج.
“Adapun jika kondisi (tunanetra dan tunarungu) itu datang setelah tamyiz,walaupun menjelang baligh dan telah mengetahui hukum (permasalahan) sholat, maka yang bersangkutan terkena kewajiban.”
Lalu bagaimana jika kecacatan yang ia alami terjadi semenjak ia lahir?
Imam Nawawi dalam Syarh Kasifatus Saja menjelaskan bahwa orang tunanetra dan sekaligus tunarungu tidak wajib sholat.
فلا تجب الصلاة علي من خلق أصم أعمى ولو ناطقا
“Tidak diwajibkan sholat bagi orang yang dari lahir mengalami tunanetra sekaligus tunarungu walaupun ia bisa berbicara.”
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas, secara umum dikatakan bahwa orang yang mengalami dua difabilitas tersebut tidak diwajibkan shalat.
Namun dalam kitabnya yang lain, Nihayatuz Zain, Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan lebih rinci terkait alasan tidak diwajibkannya shalat bagi kaum tersebut.
وَمن نَشأ بشاهق جبل وَلم تبلغه دَعْوَة الْإِسْلَام غير مُكَلّف بِشَيْءوَكَذَا من خلق أعمى أَصمّ فَإِنَّهُ غير مُكَلّف بِشَيْء إِذْ لَا طَرِيق لَهُ إِلَى الْعلم بذلك وَلَو كَانَ ناطقا لِأَن النُّطْق بِمُجَرَّدِهِ لَا يكون طَرِيقا لمعْرِفَة الْأَحْكَام الشَّرْعِيَّة
“Siapa yang tumbuh dan tinggal di puncak gunung dan orang tersebut tidak tersentuh da’wah islam (karena tidak terjangkau), maka mereka tidak terkena hukum wajib. Begitu juga orang yang dilahirkanan dalam keadaan tunanetra dan tunarungu, mereka tidak terkena kewajiban, dikarenakan tidak ada cara untuk menyampaikan da’wah kepadanya walaupun ia bisa berbicara. Karena mampu berbicara bukanlah cara untuk mengetahui hukum-hukum syara’.”
Dengan demikian bisa kita ambil kesimpulan bahwa sebenarnya yang menjadikan tunanetra dan tunarungu tidak diwajibkan shalat adalah ketidakmampuannya dalam menerima dakwah kerena difabilitas yang dialaminya. Jika ada metode atau cara lain yang mampu mengenalkan dakwah kepada penyandang difabilitas ini maka ia tetap mukallaf. Wallahu A’lam.