Seseorang yang telah mengenakan pakaian ihram dan berniat ihram (muhrim) baik untuk haji dan umrah maka ia terikat dengan pantangan (larangan) ihram. Misalnya, bagi laki-laki tidak boleh memakai pakaian berjahit dan menutup kepala. Bagi perempuan tidak boleh menutup muka dan telapak tangan. Selain itu tidak boleh memakai wangi-wangian, melakukan akad nikah, bersenggama, mencabut/memotong rambut, kuku, dahan/ranting, serta berburu.
Sekalipun begitu ada tujuh kondisi yang membolehkan bagi seorang muhrim melanggar pantangan ihram. Dalam arti bahwa haji dan umrahnya tetap sah, akan tetapi dari tujuh halangan itu ada yang dikenai dam atau kafarat (denda) dan ada yang tidak. Berikut ini penjelasan lengkap dari kitab al-Tasywiq ilal Baitil Atiq karya Jamaluddin al-Thabari al-Syafii:
- Tidak memiliki kain ihram dan sandal (seperti ia memakai kain ihram yang terkena najis dan tidak ada cadangannya serta sandalnya hilang sementara yang ia miliki sandal sepatu). Orang yang melanggar pantangan ihram ini tidak dikenai dam maupun kafarat;
- mengidap penyakit yang telah didiagnosa ahli medis. Seperti tidak boleh kedinginan dan kepanasan (yang mengharuskan menutup kepala dll.), terdapat penyakit kepalanya seperti bernanah sehingga harus potong rambut, memakai perban dll.), memakai pembalut (pampers) bagi lansia atau pengidap diabetes kronis, dan sebagainya. Hanya saja orang ini terkena denda membayar dam yang telah ditentukan dalam hukum syara;
- Dalam kondisi tiba-tiba terdesak seperti tiba-tiba tersangkut dahan dan ranting yang harus dipatahkan. Tiba-tiba berhadapan dengan kalajengking, ular dan binatang lain yang membahayakan sehingga perlu dipukul hingga mati. Tiba-tiba bulu mata masuk ke mata sehingga harus dicabut, dan sebagainya. Orang yang melanggar ihram ini tidak dikenai sanksi;
- Lupa yang tidak menyebabkan berdosa dan menggugurkan sanksi seperti bersenggama dengan pasangan hidup yang sah maka tidak wajib membayar dam. Hanya saja lupa yang menyebabkan kerusakan/mematikan makhluk lain tetap dikenai dam. Seperti lupa memotong ranting yang menyebabkan tumbuhan layu, lupa membuhuh hewan, lupa mencabut rambut yang menyebabkan botak permanen;
- Tidak tahu hukum dan tidak ada orang lain yang menasehatinya. Misalnya perempuan membuka kaki dan pahanya saat berwudhu di tempat umum dsb maka ia tidak batal ihramnya dan tidak dikenai dam;
- Kondisi terpaksa yang menyebabkan pelakunya tidak dianggap berdoa. Misalnya seorang yang sedang tawaf berdesak-desakan yang menyebabkan kain ihramnya menyentuh dinding Kabah yang wangi. Kain ihramnya terkena semprotan penjual minyak saat menelusuri jalan pertokoan di sekitar Masjidil haram, dsb. Orang ini tidak dikenai dam maupun kafarat.
- Masih kecil atau kanak-kanak. Misalnya orang tua yang mengajak haji atau ihram anak laki-lakinya yang masih balita yang kemana-mana masih memakai pampers. Anak itu tidak terkena dam hanya saja menurut mazhab Syafii ia kelak setelah dewasa wajib meng-qadha hajinya.
Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat, khususnya bagi yang melaksanakan haji dan umrah. amiin.