Tujuan Ibadah Haji Menurut al-Qur’an dan Hadis (Bag. 2)

Tujuan Ibadah Haji Menurut al-Qur’an dan Hadis (Bag. 2)

Tujuan Ibadah Haji Menurut al-Qur’an dan Hadis (Bag. 2)
haji dan umroh

2. Menegaskan Keesaan Tuhan atau Memantapkan Tauhid

Saat menginjakkan kaki di tanah suci, talbiyah merupakan bacaan yang sering dilafalkan jemaah haji, terutama setelah niat ihram:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ

Artinya:

Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.”

Kalimat ini sekaligus menjadi bukti bahwa tujuan utama beribadah haji adalah untuk memenuhi panggilan Tuhan, bukan untuk kepentingan politik, pencitraan nama baik, ingin mendapatkan popularitas, atau pun tujuan negatif lainnya. Bila terlintas dalam lubuk hati tujuan selain Allah, buang jauh-jauh niat buruk tersebut sebelum menunaikan ibadah haji. Mantapkan dalam hati kita, ibadah haji  dilakukan hanya semata-mata karena Allah SWT. Allah SWT berfirman:

وَإِذْ بَوَّأْنا لِإِبْراهِيمَ مَكانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُود            

Artinya:

“Ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud” (QS Al-Haj: 26).

Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir kenamaan, menjelaskan  ayat ini sebagai kecaman dan peringatan bagi orang kafir Quraiys yang mengakui Tuhan selain Allah SWT. Bahkan, mereka menaruh sesembahannya di dekat ka’bah. Dulu ada banyak patung dan berhala yang dipajang orang kafir di dinding ka’bah, mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar.

Semua patung-patung tersebut mereka puja dan sembah. Perilaku ini tentu sangat bertentangan dengan tujuan awal pembangunan ka’bah. Sejak masa Nabi Ibrahim, ka’bah dibangun untuk beribadah kepada Allah dan sekaligus mengeesakan-Nya. Oleh karena itu, saat Nabi Muhammad menguasai kota Mekah, ka’bah mulai dibersihkan dari patung dan sembahan orang kafir. Ia kembali difungsikan sesuai dengan tujuan pembangunannya, yaitu sebagai tembah ibadah orang-orang beriman.

Kendati berhala sudah tidak ada lagi di sekitar ka’bah, namun perlu diketahui bahwa syirik tidak hanya dalam bentuk penyembahan berhala, patung, ataupun makhluk lainnya. Ibnu Qayyim mengatakan, “Syirik itu juga terdapat pada niat dan kehendak. Syirik ibarat lautan yang tak bertepi dan sangat sedikit orang yang berhasil darinya. Siapa yang beramal bukan kerena Allah dan tidak meniatkan ibadah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, berati dia telah melakukan kesyirikan dalam niat dan kehendak.”

Syirik niat memang sulit dihindari dan sedikit orang yang bisa mengindarinya. Dibutuhkan usaha maksimal agar ibadah yang kita lakukan sesuai dengan tujuan awalnya, yakni pengabdian terhadap Allah SWT. Sebaiknya, sebelum melaksanakan haji, pastikan terlebih dahulu niat awal mengerjakannya bukan karena harta atau pun orang lain.

Ibadah haji yang tidak didasarkan keikhlasan tidak bernilai apa-apa di mata Allah SWT. Sekalipun mulut kita melafalkan talbiyah, melakukan thawaf, sa’i, dan ritual haji lainnya,  semuanya itu tidak ada gunanya bila niatnya tidak ikhlas

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT mengatakan:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Artinya:

Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku tidak butuh terhadap orang-orang musyrik atas kesyirikan yang mereka lakukan. Barangsiapa yang menyekutukan Aku dengan sesuatu yang lain, akan Ku tinggalakan ia bersama kesyirikannya” (HR Muslim).

Hadis ini menunjukan bahwa Allah SWT tidak butuh ibadah yang dilandasakan pada kesyirikan. Bahkan, ibadahnya tidak diterima jika diniatkan bukan untuk Allah SWT. Untuk menghindari syirik niat, Rasulullah SAW selalu berdoa agar dihindari dari riya atau apapun yang dapat memalingkan niat. Dalam hadis riwayat al-Bukhari, beliau berdoa:

اللَّهُمَّ حَجَّةٌ لَا رِيَاءَ فِيهَا، وَلَا سُمْعَةَ

Artinya:

“Ya Allah, semoga ibadah haji (kami) bukan karena riya dan bukan karena harga diri” (HR Bukhari).

Orang yang beribadah haji karena ikhlas pada Allah SWT, niscaya haji tersebut akan berdampak besar terhadap praktik ibadah haji yang akan dilakukannya. Kalau kita lihat, semua ritual ibadah haji mesti didasari keikhlasan. Dengan demikian, niat awal mengerjakan ibadah haji sangat penting. Melalui ibadah haji kita akan memahami betapa besarnya kekuasan Allah SWT,  Dia Maha Besar dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Sekalipun dalam ibadah haji terdapat ritual mencium hajar aswad, tapi tujuan mencium batu tersebut adalah bukti kepatuhan kita terhadap Allah SWT. Batu tidak akan dapat memberi manfaat dan keberkahan kepada manusia kecuali atas izin Allah SWT. Karenanya, ketika Umar bin Khatab ingin mencium hajar aswad, beliau mengatakan:

إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ، مِثْلُكَ لَا يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَكَ لَمَا قَبَّلْتُكَ

Artinya:

“Demi Allah, sesungguhnya aku tahu kalau kau tidak akan memberikan mudharat dan manfaat, andaikan rasul tidak menciummu, tentu aku juga tidak akan pernah menciummu” (HR Bukhari).

Demikian pula ketika menyembelih hewan kurban, penyembelihan itu pun diniatkan untuk Allah SWT. Penyembelihan ini sangat erat hubungannya dengan ibadah haji. Bahkan ia merupakan pelengkap dan penyempurna ibadah haji. Apabila dahulu masyarakat jahiliah menyembelih hewan kurban untuk berhala, maka umat Islam melakukannya demi Allah SWT semata.

Selain memberi manfaat kepada orang banyak, terutama fakir miskin, penyembelihan hewan kurban ini sekaligus bentuk ketaatan dan kepatuhan seorang hamba kepada Sang Maha Pencipta. Allah SWT berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Artinya:

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” (QS Al-Haj: 34).

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah SWT memerintahkan untuk menyembelih hewan kurban sembari berzikir kepada-Nya. Penyembelihan tersebut sebagai bentuk syukur atas nikmat dan rezeki yang telah diberikan-Nya.

Berdasarkan ayat ini pula, Allah SWT menegaskan kepada umat Nabi Muhammad bahwa Tuhan yang patut disembah hanyalah satu. Baik umat terdahulu ataupun sekarang Tuhan mereka tetap sama, yakni Allah SWT. Oleh karena itu, saat menyembelih hewan kurban niatkan demi Allah SWT dan perbanyaklah zikir.

Apabila direnungi lebih dalam, hampir semua ritual yang dilakukan jemaah haji tujuannya adalah untuk menegaskan keesaan Tuhan dan memantapkan keyakinan seorang hamba terhadap Sang Pencipta. Dengan demikian, ibadah haji mesti dilandaskan pada keikhlasan.

Keyakinan terhadap Tuhan tidak sempurna kecuali dengan keikhlasan dan Allah SWT juga tidak akan menerima amalan hamba-Nya yang tidak tulus mengerjakannya. Dia tidak melihat seberapa banyak amalan yang kita lakukan, tapi seberapa ikhlas kita mengerjakannya. Inilah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya:

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Artinya:  

“Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS Hud: 7).

Menurut penafsiran Ibnu Katsir, maksud amalan baik (ahsanu ‘amala) dalam ayat di atas ialah amalan yang dilandaskan keikhlasan. Orang yang mengerjakan banyak ibadah atau amalan, belum tentu semua ibadah yang dijalankannya dinilai baik oleh Allah SWT.

Meskipun banyak beramal, tapi tidak ikhlas mengerjakannya, amalan itu tidak ada gunanya di hadapan Allah SWT. Karenanya, untuk mendapatkan haji mabrur, kita mesti memperbaiki niat terlebih dahulu. Singkirkan jauh-jauh niat buruk yang terbesit dalam hati kita. Tanamkan dalam lubuk hati bahwa tujuan dan maksud ibadah haji hanyalah memenuhi panggilan Tuhan, mengesakan-Nya, dan memantapkan keyakinan terhadap-Nya.