Tuhan Tersenyum

Tuhan Tersenyum

Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu? Dalam kitab suci tak saya temukan dua hal itu. Begitu juga dalam hadis nabi. Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas.

Tuhan Tersenyum

Don't take your organs to heaven Heaven knows we need them here.
 
Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu? Dalam kitab suci tak saya  temukan  dua  hal  itu.  Begitu juga dalam hadis Nabi. Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian  saya masih  randah,  kata  orang  Minang. Tapi kalau soalnya cuma "adakah khatib yang melucu, atau marah," saya punya data.
 
Di  tahun  1978,  seorang  khatib  melucu   di   masjid   UI Rawamangun. Akibatnya, jemaah yang tadinya sudah liyep-liyep jadi  melek  penuh.  Mereka  menyimak  pesan  Jumat,  sambil senyum. Tapi khatib ini tak cuma menghasilkan senyum itu. Ia diganyang oleh khatib yang naik mimbar Jumat berikutnya.
 
"Agama bukan barang lucu," semburnya. "Dan tak perlu dibikin lelucon. Mimbar Jumat bukan arena humor. Karena itu, sengaja melucu dalam khotbah dilarang …"
 
Vonis jatuh.  Marah  khatib  kita  ini.  Dan  saya  mencatat "tambahan"  larangan  satu  lagi.  Sebelum  itu  demonstrasi mahasiswa sudah dilarang "yang berwajib".  Senat  dan  Dewan dibekukan.  Milik  mahasiswa  yang tinggal satu itu, "melucu buat mengejek diri sendiri", akhirnya dilarang juga.
 
Kita memang perlu norma. Tapi juga perlu kelonggaran.  Maka, saya  khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa tahu, di rumah Allah hal itu tak  sopan.  Buat  jemaah  yang suka  menguap  macam  saya,  karena jarang setuju dengan isi khotbah, belum adanya larangan itu melegakan.
 
Saya dengar Komar  dikritik  banyak  pihak.  Soalnya,  dalam ceramah  agamanya  ia melucu. Tapi Komar punya alasan sahih. Ia, konon, sering mengamati sekitar. Di  kampungnya,  banyak anak muda tak tertarik pada ceramah agama.
 
"Mengapa?" tanya Pak Haji Komar.
 
"Karena isinya cuma sejumlah ancaman neraka."
 
Wah  … Itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna humor dalam ceramahnya. Dan remaja pun pada hadir.
 
Saya suka sufisme. Di sana Tuhan dilukiskan serba ramah. Dan bukannya  marah melulu macam gambaran kita. A'u dibaca angu,tidak bisa. Dzubi jadi  dubi,  tidak  boleh.  Khotbah  lucu, jangan.  Lho?  Bukankah alam ini pun "khotbah" Tuhan? Langit selebar itu tanpa tiang, bulan bergayut tanpa  cantelan  dan aman,  apa  bukan  "khotbah" maha jenaka? Apa salahnya humor dalam agama?
 
Di tahun 1960-an, Marhaen ingin hidup mati di belakang  Bung Karno.  Dalam  humor,  saya  cukup  di  belakang Bung Komar. Artinya, bagi saya, humor agama bikin sehat iman. Dus, tidak haram jadah.
 
Di  Universitas  Monash  saya  temukan striker: "Jangan bawa organmu  ke  surga.  Orang  surga  sudah  tahu  kita   lebih memerlukannya  di  sini".  Imbauan  ini  bukan  dari Gereja, melainkan  dari  koperasi  kredit.  Intinya:   kita   diajak berkoperasi. Dengan itu kita santuni kaum duafa, kaum lemah.
 
Ini  pun "khotbah" lucu. Dalam kisah sufi ada disebut cerita seorang gaek penyembah patung. Ia  menyembah  tanpa  pamrih. Tapi  di  usia  ke-70  ia  punya  kebutuhan penting. Doa pun diajukan. Sayang, patung itu cuma  diam.  Kakek  kecewa.  Ia minta pada Allah. Dan ajaib: dikabulkan.
 
Bukan   urusan  dia  bila  masalah  kemudian  timbul,  sebab Allah-lah, bukan dia, yang diprotes oleh para malaikat.
 
"Mengapa ya, Allah, Kaukabulkan doa si kakek? Lupakah Kau ia penyembah patung? Bukankah ia kafir yang nyata?"
 
Allah  senyum.  "Betul,"  jawabnya,  "Tapi  kalau bukan Aku, siapa akan mengabulkan doanya? Kalau Aku pun diam, lalu  apa bedanya Aku dengan patung?"
 
Siang  malam  aku pun berdoa, semoga humor kaum sufi ini tak
dilarang.
 
—————
Sumber: Tempo 27 Oktober 1990