Nabi Musa -dikisahkan- suatu hari marah besar. Apa pasal? Ini gegara umatnya, bani Israil, umat paling cerewet sejagat itu mengirimkan undangan pesta makan-makan.
Bukan buat sang Nabi saja. Tapi undangan itu ada dua, satu lagi untuk Tuhan. Bani Israil meminta Nabi Musa turut serta menyukseskan pesta syukuran sebagai bagian penyampai undangan kepada Tuhan.
Tentu saja sang Nabi muntab, sewot, kesal bukan buatan. Umat tak tahu diri itu apa ya mengira Tuhan itu seperti sosok tamu yang bisa datang, lalu icip-icip makanan, kemudian kasih sambutan, lalu pulang layaknya pejabat negara gitu?
Nabi Musa mengingatkan datangnya laknat dan siksa yang berat jika berfikir Tuhan itu seperti makhluk yang bisa disalami dan mengisi buku absen. Itu sama saja telah terjadi degradasi iman dan keyakinan. Bukankah umat-umat sebelumnya karena perilaku nir-keyakinan semacam itu sehingga dilumat oleh adzab?
Umat nabi musa kecewa dengan penolakan sang Nabi. Dengan bersungut-sungut mereka kembali pulang dengan diikuti pandangan masygul Nabi Musa.
Di tengah kegalauan itu, Tuhan menegur Nabi Musa. “Kenapa engkau melarang hamba-hamba-Ku mengundang-Ku? Kenapa engkau mengatakan Aku tak datang? Apa wewenangmu sehingga engkau yang memutuskan bahwa Aku datang ataukah tidak?”
Sang Nabi menunduk. Ia mendaras permohonan ampunan karena berlaku lancang, mendahului kehendak Tuhan. “Apakah Tuhan berkenan datang?” Tanya sang Nabi pelan.
“Katakan pada hamba-hambaKu! Aku akan datang pada pesta jamuan itu.”
Segera saja, sejak konfirmasi kehadiran Tuhan itu dipastikan, persiapan pesta dilakukan. Menu-menu segala rupa disiapkan. Minuman pun harus yang berkelas. Tidak boleh minuman sembarangan. Bukankah tamu kehormatan akan datang, harus disambut dan diperlakukan istimewa.
Maka, hari pelaksanaan pun tiba. Semua sudah bersiap sedia. Dresscodenya busana khusus. Panitia stand by di bagian masing-masing. Bagian keamanan harus tegas, tidak boleh ada orang sembarangan yang mendekat ke pesta. Para pembesar dan pejabat harus di dahulukan dalam pelayanan, baru setelah itu orang awam.
Persiapan hampir tuntas. Meja-meja prasmanan penuh makanan berbagai menu dan hidangan. Tanpa ada yang memperhatikan, seseorang dengan pakaian lusuh, tubuh penuh debu mendekat ke arah tenda pesta. “Tuan, bolehkah aku meminta sedikit makanan untuk mengganjal perutku yang kelaparan?,” serunya menghiba.
“Hai gembel sialan. Pergi kau.. Waduh.. Waduh, bisa gawat nih kalo panitia tahu ada pengemis nyelonong ke sini.” Penjaga keamanan menghardik seraya menyeret pengemis itu menjauh dari arena jamuan.
Karena didorong perihnya perut yang keroncongan, pengemis itu nekat berlari ke arah meja-meja prasmanan. Kontan saja suasana menjadi heboh. Orang-orang berteriak menyuruh pengemis itu pergi menjauh.
“Satu jam lagi pesta akan dimulai, dan kita sedang menunggu tuhan, pengemis itu akan mengotori tempat ini. Penjaga, tangkap dan seret pergi gembel itu.” Teriak sang ketua panitia.
Tak ayal, pengemis itupun kembali diseret keluar dan menjauh dari lokasi. Dengan menahan pedihnya rasa lapar dan kesedihan mendalam karena tak ada iba di hati manusia-manusia itu yang bersedia memberi barang sebungkus nasi atau sekerat roti. Pengemis itu lantas tertatih pergi menjauh. Hilang sudah harapan untuk bisa mendapat makanan dari pesta jamuan.
Satu jam berlalu, Tuhan belum datang. Panitia mulai berbisik antar sesama. Dua jam, tiga jam lewat sudah, Tuhan belum juga tiba. Hingga sore menjelang, Tuhan tidak juga kelihatan. Bani Israel mulai gelisah, mereka mulai menyangsikan informasi nabi Musa tentang kedatangan Tuhan.
Matahari terbenam, malam pun datang. Positif sudah, Tuhan tidak datang pada pesta jamuan. “Musa pastilah berdusta. Jika tidak, Tuhanlah yang berdusta,” Suara kasak-kusuk semakin mengemuka.
Tanpa dikomando, mereka berarak, berduyun, mendatangi kembali sang Nabi Musa. Massa demonstrasi ini semakin banyak. Mereka memprotes, kenapa Tuhan tak jadi datang tanpa konfirmasi.
Musa sang Nabi menunduk lemas. Sebagai seorang Kalimullah, orang yang bisa berbicara dengan Tuhan, merintih pelan. “Tuhan, umatku kini tak percaya padaku. Engkau yang sedianya datang pada pesta, ternyata tak tiba.”
Tuhan pun menjawab tanya Musa. “Wahai Musa, siapa bilang Aku tak datang? Aku hadir tepat sebelum pesta dimulai. Tapi umatmu itu tak mengenaliku. Aku tak diterima dengan baik, tapi aku ditolaknya mentah-mentah. Aku diseret dan diusir menjauh.”
“Wahai Musa, tidakkah mereka jumpai seorang pengemis miskin meminta makanan? Tahukah mereka, itu adalah hambaku. Dan aku bersama hamba-hambaku yang papa. Aku bersama hamba-hambaku yang miskin dan tak berdaya.”
“Aku telah melunasi janjiku untuk hadir. Tapi mereka mengingkari rahmatku dan menjauhi aku. Kini, tanyakan pada umatmu, siapa pendusta sebenarnya?.”
Jakarta, 12-07-2016.
teringat kembali satu hadits qudsi termaktub dalam kitab Nashaihul Ibad. “Ya Ibadi, Inni Ja’iun Fath’imuniy. Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya aku kelaparan, berilah aku makanan.”
“Ya Ibadi, Inni ‘arin faksauwniy. Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya kau telanjang, berilah aku pakaian.”