Selepas dukungan Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi kepada Joko Widodo, merebaklah buzzer politik di media sosial (medsos) yang dulu mengidolakan TGB berbalik menghujat. Ini berbahaya karena netizen kita mentalitasnya latah. Mudah meng-iya-kan, tanpa mau menerima penjelasan membantah hal-hal yang terlanjur di-iya-kan.
Ngeri-ngeri sedap kelatahan kita karena orang Indonesia memiliki intensitas interaksi di internet tinggi disaat minat bacanya rendah. Kalaupun membaca itu sebatas ciutan-ciutan di beranda medsos. Pertanyaannya, dengan jarangnya mengisi pengetahuan dari literatur yang cukup komprehensif, isi komentar netizen itu berasal dari mana? Akun buzzer, potongan video, ataukah website-website tanpa redaksi yang jelas?
Islam mengajarkan kita untuk pandai-pandai memilih guru (sumber pengetahuan) karena semua yang kita lakukan, termasuk berkomentar akan dimintai pertanggungjawabannya.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Israa :36)
Prof. Quraish Shihab menafsirkan bahwa al Israa ayat 36 dengan seruan Allah agar kita tidak mengikuti perkataan atau perbuatan yang tidak kita ketahui. Jangan pula kita berucap, “Aku telah mendengar,” padahal sebenarnya kita tidak mendengar; atau “Aku telah mengetahui,” padahal kita tidak mengetahui. Sesungguhnya, pada hari kiamat, nikmat yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggungjawaban dari pemiliknya atas apa-apa yang telah diperbuatnya.
Prasangka Buruk dan Ketidaktahuan Kita
Di era-tik tok ini, ada tukang gorengan yang sukanya menggoreng isu dan memanfaatkan ketidaktahuan kita tentang berbagai hal untuk memunculkan prasangka buruk.
Prasangka ini dapat terbentuk dari sosialisasi dan internalisasi terus menerus oleh keluarga, pihak sekolah, teman-teman, atau medsos sekalipun. Tujuan dari pembentukan prasangka cenderung untuk melakukan ujaran kebencian. Tak peduli rekam jejak positif yang dibuat objek ujaran kebenciannya, penggoreng isu akan tetap membuat kita menghakimi orang atau kelompok terbaru.
Baca juga: Tuan Guru Bajang dan Propaganda Arrahmah.com dan media sejenisnya
Dalam ilmu psikologi, Dr. Sigmund Freud mendefinisikan benci sebagai pernyataan ego (ke-akuan) yang ingin menghancurkan sumber-sumber ketidakbahagiaannya.Salah satu mekanisme yang dilibatkan kebencian berupa pertahanan diri dengan mengatribusikan kebencian ke orang lain. Sebagai contoh, mereka mungkin melihat orang lain sebagai sosok yang agresif, penuh kebencian, dan berbahaya.
Kebencian yang lahir dari prasangka cenderung berupa cocokologi dan tidak memiliki bukti empiris, biasanya hanya berupa paparan informasi hoaks yang dilakukan dengan intensitas yang sering. Orang yang tidak suka berdasarkan prasangka jika diajak berdiskusi akan memberikan sumber referensi melalui potongan video, gambar meme atau screenshot website abal-abal.
Allah sendiri menyerukan kita agar menghindari perilaku berprasangka, bahkan prasangka disamakan dengan memakan bangkai saudara sendiri. Ngeri, cuy.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang” (Al-Hujurât : 12).
Menurut Prof Quraish Shihab, bersangka buruk di hati tidak sebatas sampai di situ, ada kecenderungan terus menjalar sehingga membuat kita mengatakan kata-kata yang tidak patut dan melakukan perbuatan yang tidak layak dilakukan.
Menjadi Islami dengan Melawan Prasangka Buruk
Boleh-boleh saja kita belajar dengan media digital, namun tentu kita tidak boleh kehilangan nalar kritis. Kritis terhadap sumber informasi, tema informasi bahkan penyampai informasi adalah seni belajar yang baik.
Kata Jhon Dewey, berpikir kritis atau berpikir replektif adalah perimbangan yang aktif, persistent (terus-menerus) dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pangetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya.
Baca juga: Tuan Guru Bajang dalam Pusaran Politik Islam
Islam mengajarkan melakukan konfirmasi (Tabayyun) untuk setiap informasi yang kita terima dalam surah Al Hujarat ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian”
(al-Hujurat : 6).
Permasalahannya siapa yang bisa mengetahui seseorang itu fasiq atau tidak? Dalamnya lautan bisa diukur, tapi dalamnya iman dan perasaan yang dipendam lama siapa yang bisa mengukur?
Yuk, bersama-sama kritis terhadap informasi yang kita dapat terutama jika untuk mengarahkan untuk suka atau tidak suka. Wallahu ‘alam