Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya berjudul al-Imam as-Syafii wa Ta’sis al-Idiyulijiyyah al-Wasathiyyah (Imam As-Syafii Peletak Dasar Ideologi Moderat) menyatakan bahwa Imam Syafii (w. 204 h), Imam Abu Hasan al-Asy’ari (w. 330 h), Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 h) adalah tiga sarjana muslim yang memiliki peranan penting dalam sejarah peradaban Islam. Mereka dikenal sebagai pioneer mazhab moderat dalam Islam.
Berikut ini ulasan singkat mengenai tiga tokoh sarjana Islam garis depan pengusung moderatisme dalam sejarah pemikiran Islam.
Imam Syafii
Imam Syafii dilahirkan di Gaza Palestina pada tahun 150 H. Tidak ada yang meragukan kecerdasannya. Ia telah hafal al-Quran di usia tujuh tahun dan hafal kitab al-Muwaththa karya Imam Malik saat usianya menginjak umur sepuluh tahun. Imam Syafii adalah pendiri madzhab fikih Syafii yang memadukan antara pemeliharaan atas teks-teks yang tsawabit (baca: qath’i) serta mendialogkan teks-teks yang mutaghayyirat (dzanni) dengan realitas.
Nashr Abu Zayd mengatakan bahwa Imam Syafii adalah peletak moderatisme dalam fikih. Selain pendiri madzab fikih Syafii, ia juga dikenal luas sebagai ulama yang pertama kali menulis karya dalam bidang ushul fikih, di mana ia menulis kitab Ar-Risalah yang berisi tentang “petunjuk” memahami teks-teks keagamaan.
Abu Hasan Al-Asy’ari
Abu Hasan Al-Asy’ari adalah pendiri madzhab Asy’ari yang dilahirkan di Bashrah tahun 260 H. Sebagaimana diketahui, sebelum bermadzhab Ahlussunah wal jamaah, ia merupakan tokoh Muktazilah dan berguru kepada Abu Hasan Ali al-Juba’i. (18)
Imam Asy’ari merupakan tokoh yang dikenal memiliki sifat rendah hati, pemalu, wira’i dan perilakunya yang baik. Ia merupakan tokoh moderat dalam bidang akidah. Moderatisme yang dilakukan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari adalah dalam penggunaan nash dan akal yang proporsional.
Abu Hamid al-Ghazali
Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah menuturkan bahwa Imam al-Gazali bukan hanya merupakan seorang tokoh pendiri Ilmu Tasawuf. Bahkan ia mampu mengompromikan pendapat-pendapat para sufi sebelumnya, menjelaskan tentang dasar-dasar tasawuf, etika-etika dalam tasawuf, serta memaparkan metode dan urgensinya.
Dalam hal ini Ibn Khaldun mengatakan:
“Sebagian para sufi (sebelum al-Gazali) telah menulis karya tentang jalan atau metode sufisme. Sebagian lain menulis tentang asketisme sebagaimana al-Harits al-Muhasibi (w. 243 H), sementara Imam al-Qusyairi (w. 465 H) dan As-Suhrawardi (w. 587 H) dan sufi-sufi lainnya menulis tentang etika jalan menuju sufisme dan pengalaman spiritualnya. Sedangkan Imam al-Gazali (w. 505 H) dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulumudin, justru mengulas semuanya. Di dalam ihya’, menurut Ibn Khaldun, al-Gazali menulis tentang asketisme, iqtida’, etika dan tindak laku para sufi serta menjelaskan istilah-istilah yang digunakan mereka secara detail. Pada titik ini, ilmu tasawuf di tangan al-Gazali menjadi sebuah disiplin ilmu yang mapan dan independen. Al-Ghazali (minal Burhan ilal Irfan rihlah al-bahts, 35)
Dalam sejarah pemikiran Islam, kata Nashr Hamid, moderatisme Islam dalam bidang syariat-fikih dibangun kokoh oleh Imam Syafii, dalam teologi diusung oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari, dan bidang pemikiran-filsafat oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali. (2007: 87)