Trio Musisi Perempuan Ubah Stigma Islam di Barat, Kisah Voice of Baceprot di Panggung Heavy Metal Eropa 

Trio Musisi Perempuan Ubah Stigma Islam di Barat, Kisah Voice of Baceprot di Panggung Heavy Metal Eropa 

Voice of Baceprot membuktikan bahwa musik tak mengenal batas. Mereka mampu mendakwahkan wajah lain dari khazanah ekspresi keislaman kepada publik Barat, dengan bahasa Barat, dan menggunakan media budaya populer Barat.

Trio Musisi Perempuan Ubah Stigma Islam di Barat, Kisah Voice of Baceprot di Panggung Heavy Metal Eropa 
Para personil band heavy metal Voice of Baceprot saat perform di Glastonbury Festival 2024 (Sumber: akun instagram @voiceofbaceprot)

Voice of Baceprot lahir bukan hanya untuk menghibur, tapi juga untuk men-challenge stigma toksik yang meliyankan perempuan (muslim).

Jakarta, Islami.co – “Perempuan, pakai jilbab, kok main musik metal? Gak cocok!” begitu kira-kira cibiran yang kerap dialamatkan kepada trio musisi gen z, Marsya, Siti, dan Widi.  

Di tengah gempuran musik metal yang identik dengan maskulinitas dan wacana pemberontakan, muncul tiga gadis dari Garut, Indonesia. Jangan salah, mereka bukan band awam, melainkan Voice of Baceprot yang baru saja pentas di panggung festival musik Glastonbury (2024).

Penampilan VoB di Glastonbury enggak sekadar pertunjukan musik biasa. Mereka adalah kafilah band pertama dari Indonesia yang berkesempatan mengadu skill di festival musik paling ikonik di Inggris. 

Juga, sejumlah band dan musisi papan atas seperti Dua Lipa, Coldplay, Avril, Keane, dan sebagainya merupakan daftar lain yang tampil di Glastonbury.    

Sadar atau tidak sadar, VoB membawa pesan kepada warga dunia tentang toleransi dan bagaimana perempuan itu berdaya serta penuh semangat untuk melawan stereotip destruktif yang melekat pada perempuan dan hijab. 

Perempuan bukan Properti

Musik mereka yang penuh kritik sosial dan inspiratif itu rupanya mampu memukau para penonton dari berbagai latar belakang, menembus batas regional, budaya, dan agama.

Misalnya adalah lagu andalan mereka [Not] Public Property, yang dirilis tahun 2022. Lagu ini banyak terinspirasi dari pengalaman dan keresahan pribadi anggota VoB, terutama di ruang media sosial.

“Banyak yang mengatur-atur ke aku pribadi, seperti misalnya: Sitti, tubuh kamu lebih cocok pakai baju begini deh, jangan yang terlalu begini deh!” Demikian Euis Siti Aisyah menuturkan pengalaman pribadinya saat diwawancara Deutsche Welle.   

“Padahal aku pakai baju apa yang aku suka. Tubuh aku di antara bertiga memang yang paling berisi. Nah, jadi banyak beberapa orang yang menyarankan, Sitti, kamu jangan terlalu pakai baju yang terlalu ketat deh! Yang seperti itu,” lanjut Sitti, penggebuk drum VoB.

Hal senada juga disampaikan Firdda Marsya Kurnia (vokalis sekaligus gitaris VoB). Katanya, banyak orang yang sering mengatur-atur soal berat badan mereka. Tidak sedikit pula yang mengatakan sebagai artis internasional, mereka harus lebih memperhatikan bentuk tubuh.

“Kami juga disuruh menaikan berat badan, dan ada juga yang nyuruh menurunkan berat badan. Padahal kami nyaman dengan tubuh kami saat ini. Yang penting bagi kami adalah sehat dan nyaman,” ujar Marsya. “Tubuh kita, ya punya kita. Cuma kita yang punya hak untuk memperlakukan seperti apapun tubuh kita.” 

Sementara itu, pemain bass VoB, Widi Rahmawati curhat bagaimana orang-orang sering memperhatikan gerak-geriknya di atas panggung dan mencoba mengatur bagaimana seharusnya ia bergerak. 

“Misalnya saat saya menginjak-injak sistem audio. Satu kaki naik ke atas sistem kontrol audio itu, lalu ada yang komentar: Widi, kamu jangan menaikkan kaki ke alat sistem kontrol itu, dong! Itu jadi seperti mengangkang. Begitu kata mereka,” demikian Widi mengisahkan.

‘Dakwah’ dengan Bahasa Kaumnya

Pada awal mendirikan band, ketiga personel VoB masih berusia 14 tahun di tahun 2014. Perjalanan mereka pun tak selalu mulus. Pernah, mereka ditolak tampil karena penampilan VoB dianggap berbeda

Namun, hal itu tak menyurutkan langkah mereka. Tekad mereka membara. VoB menjadikan pengalaman itu sebagai bahan bakar semangat untuk berkarya lebih baik. Dengan bimbingan Pak Erza, mentor musik mereka, trio musisi itu berlatih keras, mengasah kemampuan, dan menuangkan ide-ide kritis mereka dalam lirik lagu. 

Kini, Voice of Baceprot telah membuktikan bahwa musik tak mengenal batas. Mereka mampu mendakwahkan wajah lain dari khazanah ekspresi keislaman kepada publik Barat, dengan bahasa Barat, dan menggunakan media budaya populer Barat.

Ikhtiar sungguh-sungguh mereka tak sia-sia. Penampilan energik VoB di berbagai festival musik bergengsi–sebelumnya pernah tampil di Wacken Open Air dan Colours of Ostravamenuai pujian dan kekaguman dari para penonton serta kritikus musik.  

Musik mereka yang penuh semangat dan lirik yang kritis mampu memukau para pecinta musik dari berbagai latar belakang.

“Kami ingin menunjukkan bahwa perempuan mampu melakukan apa pun yang mereka inginkan,” kata Widi. “Musik kami adalah suara kami, suara perempuan yang ingin didengar.”

Walaupun demikian, personil VoB mengaku kurang nyaman ketika popularitas mereka hanya diukur dari hijab yang mereka kenakan. 

“Yang kami tidak suka adalah ketika orang tuh lebih banyak membicarakan itu (hijab), menanyakan itu terus. Sementara, musiknya sendiri itu justru diabaikan,” Marsya bercerita.

“Kami di dunia musik untuk bekerja keras memperbaiki kemampuan (bermusik), bekerja keras untuk membuat karya yang bagus, dan untuk dikenal sebagai musisi, bukan dikenal sebagai yang hanya jual penampilan saja,” tandas perempuan usia 20 tahunan ini.