Membaca dan menelusuri buku “Travelling Home: Essays on Islam in Europe” karya Abdal Hakim Murad ini membawa pikiran saya berkelana dan mengembara ke masa lalu Islam di Indonesia. Memang secara khusus buku ini berbicara tentang Islam di Eropa, dan lebih khusus lagi tentang Islam di Inggris, tempat penulis dilahirkan pada 1960. Namun, situasi sosial, politik, budaya dan keagamaan di Eropa yang diceritakan oleh Murad dalam buku ini, begitu juga respons kaum Muslim di sana terhadap berbagai perkembangan sosial di sana, secara otomatis membawa kita pada bagaimana Islam datang dan berkembang di Indonesia beberapa abad silam: kita pernah melewati masa-masa itu.
Secara harfiah, judul buku ini bisa diartikan “Pulang ke Rumah: esai-esai tentang Islam di Eropa”. Namun, pemilihan kata “travelling” mengandung implikasi makna yang lebih luas dan kompleks. Kata travelling, alih-alih going, atau returning, atau coming back, sejatinya menggambarkan paparan buku ini. Dengan kata travelling, penulis ingin menggambarkan bahwa proses “pulang” tidak semudah pengucapan kata itu sendiri. “Pulang” atau kembali ke rumah merupakan proses yang panjang, berat, dan melelahkan. Secara harfiah, kata travelling berarti bepergian atau mengembara. Namun dari genealogi bahasa, kata ini diserap ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-14 dari bahasa Perancis kuno “travail” yang berarti “bekerja keras” atau “siksaan”. Jadi, sesungguhnya travelling home yang digambarkan Murad dalam buku ini merupakan proses yang melelahkan dan penuh tekanan.
Jika hanya “pulang” tentu perjalanannya tidak akan melelahkan dan penuh siksaan. Namun, perjalanan pulang ke rumah harus menjadi perjalanan yang nyaman, nikmat, dan memberi kebahagiaan. Dan proses yang ditempuh untuk sampai pada kepuasan itu meniscayakan kerja keras yang melelahkan. Agar bisa pulang dengan nyaman, kita mesti merenungkan muasal kita, tanah air tempat kita berpulang. Kita juga harus memikirkan moda transportasi apa yang akan digunakan untuk pulang, siapa saja yang bisa diajak pulang, dan, yang lebih penting, bagaimana situasi terkini tempat kita berpijak dan bersiap-siap untuk pulang. Karena itulah buku ini membawa kita mengembara menjelajahi berbagai aspek kehidupan umat Islam di Eropa, sejarah, politik, ekonomi, budaya, dan tentu saja fikih serta tasawuf.
Buku ini bertutur tentang bagaimana umat Islam di Eropa, khususnya di Inggris menghadapi berbagai tantangan yang dapat menghambat atau bahkan memusnahkan Islam dari benua Eropa. Namun, di sisi lain, jika tantangan itu bisa dihadapi dengan baik, Islam akan berkembang pesat di sana. Laporan Pew Research 2017, misalnya, menunjukkan bahwa Muslim Inggris, yang saat ini berjumlah 4,1 juta, akan meningkat menjadi 13,4 juta pada 2050. Negara-negara Eropa lainnya pun menunjukkan statistik serupa. Salah satu tantangan yang dihadapi komunitas Muslim di Eropa adalah menguatnya Islamofobia, ketakutan yang berujung pada kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslim.
Ketakutan ini dipicu oleh meningkatnya pengangguran, terorisme, dan identitas nasional yang goyah. Ketakutan ini dipicu pula oleh kehadiran “Yang Lain” yang bukan kulit putih. Di Belgia, kaum populis Flemish tidak ragu menyebut pendatang Muslim sebagai “jenis infeksi Covid” yang harus dilawan dengan “antibodi” asli. Filip Dewinter, tokoh senior Vlaams Belang (partai Flemish terbesar kedua pada 2019), menyerukan ditutupnya perbatasan Belgia. Lalu, sambil memegang Al-Quran, ia menginstruksikan parlemen untuk menghentikan imigrasi Muslim. Ia bahkan menyatakan bahwa “Islamofobia adalah wajib”. Upaya ini dilakukan dengan secara bertahap membatasi tunjangan negara dan hak-hal warga negara. Kemudian pemerintah membuat area khusus imigran di kota-kota untuk memperketat pengawasan. Kemudian Islam akan dilarang karena dianggap “anti-Belgia dan anti-Eropa”. Fenomena seperti itu menguat di negara-negara Eropa lainnya.
Ada beberapa tantangan lain yang dibahas dalam buku ini, termasuk di antaranya menguatnya ateisme, bangkitnya kalangan nasionalis populis, pesatnya perkembangan teknologi informasi, sistem ekonomi global yang rumit dan sulit diprediksi, dan lain-lain. Kaum Muslim di Eropa merespons tanggapan itu dengan sikap dan jalan yang berbeda. Sebagian mereka memilih untuk diam, pasrah, dan berharap Tuhan menurunkan pertolongannya sehingga Islam Islam tetap bertahan bahkan berkembang di Eropa.
Sebagian lainnya menanggapi dengan melakukan tidnakan balas dendam (tsa’r). Kelompok ini melawan diskriminasi, stigmatisasi, dan tekanan yang dialami kaum Muslim dengan tindakan kekerasan dan teror. Dan Murad menawarkan jalan dan cara lain untuk pulang, yaitu menjadi Muslim Tradisional. Menjadi muslim tradisional berarti menjadi Muslim sejati sebagaimana para salaf shalih. Kaum Muslim di Eropa sesungguhnya bukanlah orang asing, karena Rasulullah telah menegaskan bahwa “seluruh muka bumi adalah (masjid) tempat sujud”. Di mana pun muslim berada maka tempat itu menjadi tanah airnya. Karena itulah setiap Muslim harus berintegrasi, menyatu, dan berpadu dengan tanah tempatnya dipijak. Setiap muslim harus berpadu dengan tradisi (‘âdah) dan adat istiadat (‘urf) lokal. Karena itulah, bagi Murad, cara baca Al-Quran (qirâ’ah) dan azan seharusnya bersifat lokal, bukan hasil impor dari Timur Tengah.
Meskipun ayahnya seorang imigran Pakistan, Abdal Hakim Murad sendiri adalah warga asli Inggris karena ia dilahirkan di London pada 1960. Ia masuk Islam saat berusia 19 tahun, kemudian menjalani masa dewasanya sebagai pelajar di Universitas Cambridge dan Universitas Oxford, dan setelah itu menjadi pengajar di Universitas Harvard dan Universitas Cambridge. Meskipun buku ini banyak berbicara tentang migrasi (hijrah) dan imigran (muhajirun), perjalanan pulang yang dimaksud Murad dalam buku ini bukanlah perjalanan fisikal yang melintasi batas-batas geografis. Perjalanan pulang yang dimaksudkan dalam buku ini adalah perjalanan pulang kembali ke jatidiri yang sejati. Ia mengajak setiap muslim, di Eropa khususnya, untuk kembali ke diri dan menemukan jatidiri sejatinya. Seorang Muslim adalah pancaran rahmat dan kasih sayang Allah. Bahkan, seluruh semesta adalah manfestasi keindahan Allah. Setiap fenomena menampilkan wajah-wajah Allah. Karena itulah, alih-alih membalas keburukan dan permusuhan kelompk lain dengan kekerasan dan permusuhan yang sama, Muslim harus merespons dengan memberikan yang lebih baik (idfa‘ bi al-lati hiya ahsan).
Salah satu catatan menarik dari buku ini adalah bagian yang kemudian memicu pikiran saya mengembara ke masa lalu Islam di Indonesia. Sepertinya Murad memiliki pemahaman yang cukup baik tentang perkembangan Islam di Indonesia. Baginya, kaum Muslim di Indonesia berhasil menempuh jalan pulang dengan damai, nyaman, dan indah. Muslim di Indonesia tidak kehilangan jatidirinya sebagai penganut ajaran Muhammad dan sekaligus tidak menolak tradisi serta adat istiadat lokal. Secara khusus ia menyebut salah satu organisasi keagamaan di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama ketika membahas tentang harmoni Islam dan lingkungan hidup. Ia bilang bahwa hijau adalah warna Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di dunia, yang berkomitmen pada Islam tradisional yang berlandaskan welas asih, kearifan lokal, dan kesucian alam. Dan ketika membahas budaya lokal, Murad menyatakan:
“Seni Islam menampilkan cara yang beragam dalam merayakan prinsip ini. Namun, ada beberapa benang merah yang menonjol. Jauh dari Mekkah, di Jawa, misalnya, di makam-masjid Sunan Kudus atau Gunung Jati, kita dapat menikmati kejeniusan dan penerapan universal Al-Quran terhadap hal-hal primordial. Di tempat-tempat ini tidak ada unsur Arab sama sekali, tetapi visi Al-Quran tetap dijunjung tinggi dengan cemerlang. Tempat-tempat itu tampak seperti tempat suci kuno, lokasi kebijaksanaan abadi dan kesunyian inisiasi yang terintegrasi secara harmonis ke dalam ekosistem tropis di sekitarnya; dan ini membuat mereka menjadi wadah yang sempurna untuk salat, yang, sebagaimana dicatat oleh Rod Blackhirst, dirancang sebagai ritual geometris dan kosmis universal.” (hal. 279)
Karenanya, saya melihat bahwa tantangan yang dialami Muslim di Eropa seperti sekarang sesungguhnya pernah dialami dan dihadapi dengan sukses oleh Muslim di Indonesia. Islam masuk di Indonesia melalui jalan damai, kemudian berkembang pesat di antaranya dengan dukungan tarekat (tasawuf) dan fikih yang akomodatif terhadap budaya lokal. Karenanya, sangat mengherankan jika kemudian di masa sekarang muncul kelompok-kelompok tanfir al-din Indonesa yang justru ingin menjadikan Islam sebagai satu-satunya kebenaran dengan suara yang tunggal (monovokal). Kelompok tanfiri ini seakan-akan hendak menumpas keberhasilan para salaf shalih di Indonesia yang mewariskan kepada kita Islam tradisional yang inklusif dan penuh dengan welas asih.