Tragedi Kabut Asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di beberapa titik di Indonesia, seperti di Sumatera dan Kalimantan kembali terjadi. Seperti yang sudah-sudah, bencana ini kemudian hanya mendapatkan solusi sementara dari pemerintah dan instansi terkait, seperti pembagian masker dan pemadaman titik api yang seringkali memakan waktu lama. Meski strategi pengendalian karhutla dan kabut asap sudah diupayakan, sayangnya, kejadian semacam ini terus berlangsung tiap tahun, dan bahkan telah mengakibatkan 40% wilayah hutan Indonesia hilang. Padahal dampak negatif kabut asap sangatlah luas, bukan hanya dari kesehatan saja tapi juga ekonomi, pendidikan, hingga transportasi.
Dari segi ekonomi, meluasnya tragedi kabut asap di beberapa titik Indonesia menyebabkan banyak wisatawan dan aktivitis bisnis terganggu, yang kemudian diperkirakan membuat negara rugi lebih dari Rp 7,3 triliun. Pekatnya asap yang menyelimuti wilayah Sumatera dan Kalimantan juga menaikkan angka penderita infeksi saluran pernapasan akut, pneumonia, asma, serta iritasi mata dan kulit. Tentu efek negatif kesehatan tersebut merambah pula pada kerugian akademik dan transportasi karena seluruh kegiatan belajar diliburkan dan banyak warga yang tidak dapat keluar rumah untuk bekerja secara optimal karena gangguan jarang pandang. Tak pelak, bencana asap tahunan yang terjadi, telah mengakibatkan mudarat berkepanjangan.
Anehnya, berbeda dengan gempa bumi atau tsunami yang kerap dikaitkan dengan azab/hukuman Allah karena maksiat dan dosa-dosa umat seperti zina dan khamr oleh para da’i populer, tragedi asap karena tindak tanduk manusia yang serakah dan seenaknya membabat hutan demi kepentingan pribadi justru jauh dari sorotan.
Padahal Al-Quran sendiri sudah sangat jelas menyebutkan bahwa manusia sebagai khalifah harus memakmurkan bumi. Memakmurkan bumi disini bukan hanya memanfaatkan hasil alam dan mendayagunakannya, tapi juga melestarikannya untuk menjaga keseimbangan alam.
Merujuk amanat tersebut, tentunya bisa disimpulkan bahwa tindakan membakar hutan dan lahan juga termasuk bagian dari perbuatan dosa dan maksiat. Nah, salah kaprahnya makna maksiat di kalangan umat menjadi sempit dan hanya diidentikkan dengan pelanggaran asusila.
Padahal arti kata maksiat itu luas, yakni jika kita durhaka pada Allah dengan melanggar larangan-larangan yang ditetapkan-Nya. Sehingga, sangatlah jelas bila pembalakan liar dan perusakan ekosistem pun tergolong maksiat karena menyalahi aturan Allah untuk menjaga keseimbangan alam.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, efek domino kemaksiatan pembakaran hutan secara membabi buta bisa berlanjut kepada bencana tambahan lainnya seperti pemanasan global, tanah longsor, dan banjir, karena hutan yang kita miliki nantinya tidak dapat memaksimalkan fungsi alaminya dengan baik.
Rentetan bencana yang bertubi-tubi melanda Indonesia tersebut diperparah dengan pemberian solusi yang tidak menyentuh akar masalah. Tiap kali tragedi seperti ini terjadi, umat hanya sibuk mengumpulkan donasi bantuan dan membagikannya bagi para korban.
Mengutuk pembakaran hutan dengan semena-mena dan melabelinya sebagai perbuatan haram dan melakukan tindakan preventif yang lebih komprehensif seperti melakukan reboisasi skala masal dan penegakan hukum terhadap pelaku individu dan oknum korporasi secara tegas, justru terlihat nihil di lapangan.
Bahkan karena sedikitnya umat Islam yang berkecimpung di bidang inovasi teknologi lingkungan, hingga saat ini kita hanya mampu bermimpi bahwa suatu saat nanti akan ada muslim di negeri ini yang mampu menemukan alat atau zat bubuk yang berfungsi untuk meredam kabut asap secara efektif dalam waktu singkat.
Kira-kira kapan itu akan terjadi? Entahlah, karena saat ini dakwah di mimbar-mimbar kita masih terlalu sibuk menebar ketakutan dan sedikit-sedikit menuding bid’ah. Sedangkan dakwah dan gerakan peduli lingkungan makin terkucilkan dan kemungkinan besar memang tertutup kabut asap.
Wallahu a’lam.